• Sunday, November 14th, 2021

 

1000 Masjid, 1 Jumlahnya
Oleh Agung Kuswantoro

Judul tersebut saya mengutip dari Emha Ainun Nadjib dari buku “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (2019). Ada sembilan catatan mengenai masjid.

Pertama, masjid itu ada dua macam yaitu masjid “ruh” dan “badan”. Masjid “badan” bisa itu berdiri tegak, sedangkan masjid “ruh” hanya bersemayam dalam hati.

Masjid “ruh” dan masjid “badan” tidak bisa dihilangkan salah satu dari keduanya. Misal, masjid “ruh” hilang/tidak melekat dalam hati, maka yang tertinggal hanya “batu” masjid. Demikian juga, jika bangunan masjid hilang/hancur, maka tinggallah masjid berupa “hantu”.

Kedua, pembuatan masjid terdiri dari batu, logam, dan nuansa hati. Hati menjadi penopang dari batu dan logam.

Ketiga, masjid “badan” yang berupa batu bata bisa berdiri dimana-mana. Sedangkan, masjid “ruh” itu, tidak menentu dimana tempatnya. Masjid “ruh” bisa tenggelam antara ada dan tiada, karena bersemayam dalam hati. Didalam masjid “ruh”, itulah kita akan diajarkan “nama” Allah. Didalam masjid “badan”, kita akan: berjalan kaki, bersujud, perlahan memasuki masjid, salat tahiyatul masjid, ber-‘iktikaf, bertakbir, dan bersembahyang.

Keempat, masjid “badan” itu berbiaya mahal, padahal temboknya bisa berlumut saat hujan. Sedangkan masjid “ruh” didapatkan dengan kebesaran nama Allah melalui berdzikir.

Masjid “badan” itu bisa: roboh/binasa karena sinar matahari, cat bisa mengelupas, genting bisa beterbangan karena angin putting beliung, dan tembok bisa ambruk karena gempa bumi. Sedangkan masjid “ruh” itu bisa mengabadi didalam hati, meskipun pisau mampu menikam, senapan mampu menembaknya dan politik mampu memenjarakannya.

Kelima, masjid “ruh” bisa dibawa kemana-mana, misal: ke pasar, sekolah, kantor, dan tempat rekreasi. Selain itu, bisa dihadirkan saat naik sepeda, berdesakan di bus, dan di manapun lokasinya. Sebab, masjid “ruh” adalah semesta raya.

Keenam, masjid “badan” itu berdiri tegak, tidak bisa digenggam dan tidak masuk kuburan. Sedangkan masjid “ruh” bisa mengangkat kita melampaui waktu dan “terbang” melintasi alam semesta, hingga “hinggap” atau “bernaung” dalam hati cinta-Nya.

Ketujuh, orang yang hanya memiliki masjid “badan” saat meninggal dunia kelak, berupa daging terkubur karena berharap pada bangunan masjid “badan”. Demikian juga orang yang menyombongkan masjid “ruh” akan “bergentayangan” dan berkeliaran tidak memiliki pijakan tanah, saat meninggal dunia orang tersebut.

Lalu bagaimana yang baik? Menyatulah dua masjid tersebut (masjid “badan” dan “ruh”). Dua masjid menyatu, jumlahnya: syariat dan hakikat menyatu dalam tarikat ke makrifat.

Kedelapan, meskipun di tempat kita ada 1000 masjid, atau 1.000.000 masjid, niscaya/sejatinya masjid jumlahnya hanya satu yaitu masjid yang menyatukan tarikat ke makrifat. Didalamnya pasti ada perbedaan, namun disitulah ada jalan menuju “kemesraan” nurani.

Kesembilan, hanya Allah sebagai muara dari sebuah masjid. Berapa pun jumlah masjid “badan” dan “ruh”, hanya Allah yang “pantas” dituju. Hayya ‘alal falah!

Semoga Andalah pemilik dari masjid “badan” dan “ruh” yang mampu menyatukan tarikat ke makrifat. Insya Allah.

Semarang, 13 November 2021
Ditulis di rumah jam 04.45 – 05.15 WIB.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply