Tawuran Pelajar

150813220223-tawuran-pelajar-di-cianjur-seorang-siswa-tewas-bersimbah-darah

Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat.Prilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang.Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara.Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan menyelesaikan masalah?

Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor.Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma.Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran.Di tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak.Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.

Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa

Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata.Padahal “investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa.Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum.Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan.Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh.Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.

Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif.Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna.Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia.Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa.Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah.Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya.Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.

Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.

Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya.Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan?Itulah masalahnya.Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”.Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan.Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan.Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya.Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.

Sekolah yang Menyenangkan

Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkan, seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa.Pendidikan disesuaikan dengan ranah berpikir siswa.Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar.Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi.Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa.Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.

Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh.Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya.Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah.Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif.Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran.Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat.Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar.Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.

ANALISIS

Tawuran menjadi suatu kebiasaan dan trend dikalangan anak sekolah.Tanpa melihat dirinya masih berstatus pelajar dan masih memakai seragam sekolah, aksi tawuran ini sering dilakukan setelah jam pelajaran selesai. Konflik yang baru-baru ini sering terjadi pada remaja Indonesia merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Realita tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut.Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan, Mulai hal-hal sepele seperti senggolan kendaraan, rebutan pacar, saling ejek di jalan, kecemburuan sosial, kekalahan pertandingan olahraga, atau dendam lama yang turun temurun.

Adanya rasa kesetiakawanan dan solidaritas yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut. Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah.

Peranan sekolah sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat agar siswa tidak seenaknya keluyuran pada jam-jam pelajaran diluar sekolah, yang kedua peran bimbingan konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, membantu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah yang ketiga penyediaan fasilitas untuk menyalurkan bakat siswa. Contohnya menyediakan program ekstrakurikuler bagi siswa.Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler ini sekolah membutuhkan prasarana dan sarana seperti arena olahraga dan kesenian oleh karenanya pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas tersebut.Dari segi hukum juga pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksi hukum, berilah efek jera pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.

3 comments

  1. judul agak monoton, diubah biar jadi wow 🙂

  2. bagus her 😀

  3. bagus, bermanfaat, kriris, lanjutkan qaqa

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: