• Sebagai Jawaban atas Pertanyaan Yang Terkandung dalam Essay “Mas Harto”

    Sebagai Jawaban atas Pertanyaan

    Yang Terkandung dalam Essay “Mas Harto”

    Oleh; Mohamad Taufiq Hidayat

    Universitas Negeri Semarang

    Bangunan Antropologi

    Berawal dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika. Kemudian terkumpul tulisan-tulisan para penjelajah tentang tempat yang didiaminya. Hingga kearah munculnya pengetahuan baru yang mempelajari masyarakat dan kebudayaan bangsa. Sampai pada kepentingan praktis kekolonialan dan yang terakhir berada pada tataran pemahaman akan keberbedaan serta usaha untuk membangun masyarakat. Begitulah perkembangan yang terjadi pada ilmu antropologi, dan pemahaman yang berkembang dimasyarakat dipahami sebagian hanya sampai pada sebagian fase dimana tiap fase tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda pula. Antropologi tidak hanya terpaku pada sesuatu masyarakat yang asing yang perlu dijadikan obyek penelitian.  Uraian mengenai keempat fase perkembangan ilmu antropologi tadi, perlu untuk mendapat suatu pengertian tentang tujuan dan ruang lingkupnya. Karena ilmu antropologi masih tergolong muda yakni baru berumur kira-kira satu abad saja, menyebabkan tujuan dan ruang lingkupnya masih merupakan suatu kompleks masalah yang sampai sekarang masih menjadi pokok perbedaan paham antara berbagai aliran yang ada dalam kalangannya sendiri [1].

    Semakin kompleksnya rana antropolgi juga tidak terlepas dari perkembangan dan perubahan yang begitu cepat pada masyarakat yang mengakibatkan ilmu antropologi juga harus menyesuaikan agar rananya pada bidang-bidang yang dulu tidak begitu saja tenggelam sebab inti dari antropologi bukannya mempelajari pada masyarakat yang dalam kondisi keterasingan melainkan terfokus pada obyek manusia dan masyarakatnya dimana tidak hanya pada persoalan fisik akan tetapi juga budaya. Begitulah yang terjadi pada antropologi sekarang seakan-akan begitu luas mempelajari masyarakat zaman dulu hingga sampai pada saat ini. Kompeksnya studi-studi antropologi menghasilkan apa yang namanya sub ilmu atau spesialisasi tersendiri dalam ilmu antropolgi, mulai dari antropologi psikologi (psychological anthropologi)[2], antropologi pembangunan (development anthropology)[3], antroplogi pendidikan (education anthropology)[4], bahkan antropologi politik (political anthropology)[5]. Timbulnya sub-sub ilmu antropologi membuka kesempatan berkembangnya profesi-profesi baru untuk para ahli antropologi (di luar profesi di perguruan atau dalam penelitian), yaitu profesi konsultan dalam pemerintah daerah maupun nasional, dalam pusat-pusat kesehatan ditingkat provinsi, dan dalam klinik psikiatri[6]. Antropolgi seolah-olah semakin meluat tapi memamng itulah yanng terjadi menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, lantas apa yang menjadi batasan-batasan dari antropologi. Batasan dari antropologi juga sama dengan pada displin ilmu lainnya yaitu pada ruang lingkupnya dan yang menjadi pembeda dalam pelaksanaannya adalah pada metodologi yang digunakan. Lagian semua disiplin ilmu juga pastinya tak lepas dari hubungan dengan disiplin ilmu lain. Ilmu antopologi serta sub-subilmunya juga mempunyai hubungan yang sangat banyak dengan ilmu-ilmu lain. Hubungan itu biasanya bersifat timbal balik. Antropologi perlu bantuan ilmu-ilmu lain itu, dan sebaliknya ilmu-ilmu lain itu masing-masing memerlukan bantuan antropologi[7]. Begitu juga terjadi pada ilmu-ilmu lainnya yang bergerak dibidang apapun.

    Antropolgi: Dinamis dan Adaptif Adalah Sifat Dari Kebudayaan

    Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sisitem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar[8]. Antropologi takpernah lepas dengan kajian kebudayaannya diman kebudayaan adalah tindakan manusia. Budaya dalam perkembangnnya juga akan mengalami perubahan dan penyesuaian pada tingkatan tersendiri. Dikatakan bahwa kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif sebab manusia tak pernah lepas dengan yang namanya perubahan. Perubahan diartikan sebagai keadaan atau kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Kita ketahui sebelumnya tidak ada suatupun yang tidak mengalami perubahan kecuali pada perubahan itu sendiri. Dalam perubahan tersebut juga biasanya manusia memerlukan penyesuain diri.  Menurut Ki Hajar Dewantara kebudayaan adalah buah budi dari hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam, yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup serta penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai[9]. Dari pengertian diatas menjadikan bukti jelas bahwa yang namanya budaya takkan lepas dari sifat dinamis dan adaptif sebab proses budaya saja sudah termasuk perubahan dan perubahan-perubahan tersebut diperlukan untuk survive terhadap alam dalam memenuhi kehidupannya. Contoh konkret bahwa kebudayaan bersifat dimamis dan adaptif terlihat jelas pada pola perkampungan masyarakat Flores. Desa-desa di Flores (Beo di Manggarai), dulu biasanya dibangun diatas bukit, untuk keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah, dan belakang. Walaupun pada masa sekarang susunan kuno itu sering sudah tak diperhatikan lagi, namun sisia-sisanya masih tampak pada desa-desa Flores zaman sekarang juga[10]. Bagiaman dulu masyarakat membangun rumah diatas bukit sebagai wujud adaptasi memepertahankan diri dari ancaman luar, lalu karena dimasa kini kebutuhan berbeda menjadikan masyarakt mengalami perubahan tidak semuanya membangun rumah di atas bukit seperti dulu.

    Antropologi Terapan dan Antropologi Murni Kaitannya dengan Dilema Antropolog dan Orientasi Calon Antropolog.

                Marzali (2002) mengatakan bahwa antropologi yang bersifat basic science, mempunyai tujuan untuk mengembangkan teori dan konsep antropologi. Sementara antroplogi terapan adalah satu bidang dalam ilmu antropologi tempat pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), dan sudut pandang (prespective) ilmu antopologi digunakan untuk menolong mencari solusi bagi masalah-masalah praktis kemanusiaan dan memfasilitasi pembangunan. Dalam penerapan antopologi sebelumnya berlandaskan pada teori-teori yang dibangun antropologi murni. Teori-teori juga pertama kali muncul dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dimana mereka dapat melahirkan pemikran-pemikiran antropologi melalui penelitian yang mereka lakukan. Pada kenyataanya antropologi tidak berujung sampai disitu saja. Ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan suatu integrasi dari berbagai ilmu yang masing masing mempelajari suatu komplex masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia. Progses integrasi tadi merupakan suatu proses perkembangan panjang yang dimulai sejak kira-kira permulaan abad ke 19 yang lalu, dan berlangsung terus sampai sekarang ini juga[11]. Perkembangan antropologi disana diartikan sebagai perkembangan yang tidak hanya pada obyek kajiannya saja akan tetapi mampu memunculkan teori-teori baru dan perkembangannya. Semua bermula pada keingintahuan tentang sesuatu dan penyelidikan akan permasalahan denga antropolgi ini diharapakan permasalahan pada bidang sosio-kultutural atau bahkan bidang-bidang lain yang berhubungan juga dapat ditemukan solusinya. Semua permasalahan itu nantinya diharapkan segera dituntaskan untuk ketercapaian masyarakat yang hidup dengan keteraturan.

                Dilema antropologi dipisahkan oleh dua alira yang dimana masing-masing aliran itu memiliki pemikiran yang berlawanan, yang stu dengan pandangannya bahwa masyarakat harus dibantu untuk mengembangkan diri dengan masyarakat yang berorientasi pada manusia yang modern, dan masyarakat madani. Sedangakan yang lainnya lagi beranggapan bahwa masyarakat tidak boleh disusupi nilai-nilai baru dimana atas nama untuk melestarikan kebudayaan sebagai simbol keksotisan masyarakat setempat. Kedua naggapan tersebut membuat banyak antropolog berpikir kembali dan bertanya-tanya akan tetapi hal itu bukan berarti menjadi wujud pemisahan antropolgi, akan tetapi keduanya adalah bagian dari tujuan antropologi.  Dimana mengentaskan permasalahan pada masyarakat dan memeahami keksotisan budaya. Melihat dari awal perkembangannya sempat antropologi sebagai wujud pengimplentasian akan keragaman manusia sebagai wujud dari keeksotisan budaya. Masyarakat disini tentunya mengalami perkembangan yang berbeda-beda. Untuk mencapai wujud kompleksitas manusia yang dianggap modern juga menjadi tujuan antropologi damana masyarakat demi menginginkan kesejahteraan yang menurutnya ada pada masyarakat yang lebih maju. Maka akan mendorong masyarakat untuk mencapainya, antropologi disini mengatasnamakan pembangunan konstruktif pada segi fisik maupun non fisik hingga peradaban yang sebelumnya hanya tinggal cerita dan tertulis sebuah catatan sejara mereka butuh antropolgi untuk menganalisa permaslahan akan tersendatnmya perubahan yang terjadi pada masyarakat. Akan tetapi, masyarakat yang lebih memilih untuk mempertahankan budaya dengan tujuan pelestarian budaya dan menjaga niali-nilai luhur juga harus dipahami sebagai ukuran kesjahteraan bagi mereka selagi mereka tidak merasa dirugikan dan pihak lainpun tidak terganggu. Bukan berarti masyarakat yang memilih keputusan tersebut dianggap sebagi masyarakat yang mengalami permasalahan dalam perkembangan. Bahkan seorang diktator asal Jerman, Adolf Hitler menganggap masyarakat dalam hal ini adalah etnis Yahudi adalah masyarakat yang mengalami kegagalan dalam berevolusi dan harus dibasmi (holocaust). Untuk tercapainya tatanan masyarakat sejahtera memanglah idaman bagi masyarakat. Akan tetapi jangan diartikan secara pendek dengan ukuran-ukuran tertentu bahwa yang kaya, berpendidikan tinggi, penghasilan tinggi, dianggap sebagai ukran sejahtera, tapi kita memahami bahwa dimana masyarakat bahagia dalam hidupnya dengan kondisi dan keadaannya itulah arti masyarakat yang sejahtera. Jadi; sejahtera atau tidaknya suatu masyarakat ditentuakan oleh intensitas “kebahagiaan” yang dirasakannya[12].

                Bangunan antroplogi dibentuk atas kemapuan manusia mewujudkan kebudayaan sebagai produk dalam masyarakt. Sebagai jawaban atas persoalan berbagai tantangan zaman maka antropologi hadir sebagai solusi atas segalah permasalahan yaang ada, pada dasarnya masalah itu ada karena sebuah kesnjangan dimana harapan tidak sesuai dengan realita[13]. Itualah harapan dimana harapan masing-masing masyaraktpun berbeda ata yang menghendaki perubahan juga ada yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang sudah ada. Pada kenyataanya setiam masyarakat pasti mengalami perubahan ada yang siklusnya cepat ada juga yang lama. Tapi disini peran antropologi juga tidak lepas dari konsensus bersama bahwa pada realitanya bukanlah antropolog yang merubah itu, akan tetapi pada masyaraktnya antropolog hadir sebagai solusi dutengah perkembangan yang seperti apa yang dikehendaki masyarakat. Orientasi dan keputusan untuk mengambil keputusan pada perubahan tentunya pada masyarakt itu sendiri. Jadikan antropologi sebagai pemahaman akan hal yang seperti itu. Wujud dari kerja antropog haruslah pada pengabdiaan akan permasalhan zaman, antropolog tentunya jangan hanya bergelut pada bidang akademis saja nantinya, motif ekonomi, atau bahkan melandaskan kepentingan-kepentingan diri akan tetapi antropolg harus berorientasi pada perwujudan untuk menciptakan tatanan sosial dalm keteraturan.

    Daftar Pustaka

    Abidin ,Yusuf Zainal dan Beni Ahmad Saebani. 2014. Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia.  

    Bandung : Pustaka Setia.

    Marzali, Amri. 2002. Ilmu Antropologi Terapan bagi Indonesia yang sedang Membangun.

    Universitas Imdonesia.

    Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi . Jakarta: UI-Press.

    Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi .Jakarta : Rineka Cipta.

    Koentjoroningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

    [1] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi .Jakarta : Rineka Cipta. Hlm.5.

    [2] Lihat buku F.L. Hsu, Psychology Anthropology, Homewood, III, Dorsey Press, 1961.

    [3] Lihat buku G.Dalon, Economic Antrhropologi and Development. New York, Basic Book Inc, 1974.

    [4] Lihat buku G. Splinder(editor), Education And Anthropology. Stanford University Press, 1955.

    [5] Lihat buku G. Balandier, Political Anthropology: Middlesec, Penguin Book, 1972.

    [6] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi .Jakarta : Rineka Cipta. Hlm.20.

    [7] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi .Jakarta : Rineka Cipta. Hlm.26.

    [8] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi .Jakarta : Rineka Cipta. Hlm.144.

    [9] Abidin ,Yusuf Zainal dan Beni Ahmad Saebani. 2014. Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia. Hlm.39-40.

    [10] “Kebudayaan Flores” Etnografi Koentjaraningrat Universitas Indonesia. Koentjoroningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

    [11] Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi . Jakarta: UI-Press. Hlm.1.

    [12] Dikutip dari kalimat Bapak Nugroho Edi Kartijono dosen MKU/MKDK Pendidikan Lingkungan Hidup UNNES.

    [13] Dikutip dari kalimat Bapak Sigit Hariyadi dosen MKU/MKDK Bimbingan dan Konseling UNNES

    Categories: Antropologi

    Tinggalkan Balasan