Ahmadiyah Dalam Kacamata Sosiologi Agama

Banyaknya aliran keagamaan baru di Indonesia belakangan ini menjadi fenomena tersendiri yang cukup menarik banyak kalangan. Kesemuanya adalah aliran baru yang muncul dalam tubuh Islam. Beragam respon lahir dalam menyikapi fenomena kemunculan aliran-aliran keagamaan tersebut. Tidak sedikit yang sekedar mengapresiasi dan menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras bahkan sampai melakukan tindakan anarkhis.

Ahmadiyah sebagai salah satu organisasi yang berdiri di tengah kolonialisme di India pada tahun 1989 oleh Mirza Ghulam memiliki sejarah yang kelam, di negara tempat mereka lahir aliran ini mengalami penolakan di usir yang kemudian pindah ke London Inggris dan hingga sekarang Ahmadiyah berpusat di London dengan di pimpin oleh satu orang seperti halnya Paus di agama Katolik.

Penolakan terus terjadi tak terkecuali di Indonesia. Resistensi terus menerus terjadi, walaupun tidak pernah terjadi kekerasan fisik, namun kekerasan psikis terus di alami oleh Jamaah Ahmadiyah, tidak hanya orang tua, melainkan anak-anak mengalami hal serupa di sekolah mereka, anak-anak Ahmadiyah dijauhi oleh anak-anak lain. Aliran ahmadiyah dikatakan salah karena memiliki dogma yaitu mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad. Disini ada suatu pembenaran dalam kerangka agama bukan suatu kebenaran.

Michael Foucault sebagai salah satu teoritisi postmodern memberi perhatian terhadap kekuasaan dan pengetahuan sebagai sumber kebenaran. Bagi Foucault kekuasan tidak mungkin ada tanpa pengetahuan, begitu juga dengan kekuasaan, baginya kekuasaan pasti menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dalam pengertian Foucault tidak terbatas pada kekuasaan dalam arti negara, namun kekuasaan dalam pengertian Foucault mencakup segala hal, kekuasaan baginya berada dimana mana karena kekuasaan mencakup segala hal. Dalam konteks ini penjelasan mengenai kekuasaan dan pengetahuan Foucault dapat dilihat mulai dari fatwa MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan dianggap mampu menjaga ajaran agama oleh masyarakat. MUI walaupun tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan eksekusi, namun fatwa MUI bagi masyarakat mengikat, sehingga persoalan fatwa sesat terhadap warga Ahmadiyah dianggap sebagai kebenaran, kebenaran tersebut tidak terlepas dari kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki oleh MUI.

3 comments

  1. bagus sekali kak,, dilengkapi dengan sumber mungkin lebih oke lagi

  2. Coba lebih dalam analisisnya mba, terutama mengenai sosiologi agama

  3. Daftar pustakanya ya Lim,,,semangat ^0^v

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: