MENGENAL SUKU TENGGER
Wilayah Indonesia memiliki berbagai suku bangsa, salah satunya adalah suku Tengger. Suku Tengger merupakan suatu suku yang berada di daerah sekitar kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yakni Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang di atas ketinggian antara 1000m – 3675 m. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Suku Tengger juga merupakan sub dari suku jawa, dapat dikatakan demikian karena dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh berbeda dengan suku jawa pada umumnya dan letak yang juga dikelilingi oleh suku jawa. Suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian orang-orang Majapahit melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang bernama Tengger. Nama Tengger sendiri berasal dari mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat tersebut, dan berasal dari nama pimpinan mereka, yaitu Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Dari nama tersebut diambil dari akhiran nama kedua pimpinannya itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Suku tengger memiliki daya tarik yang luar biasa akan tradisi masyarakatnya yang tetap berpegang teguh pada adat-istiadat dan budaya yang menjadi pedoman kehidupan mereka.
Tradisi dan kebudayaan di masyarakat Tengger sangat unik. Seperti dalam hal religi mereka. Masyarakat suku tengger mayoritas memeluk agama Hindu. Tetapi Hindu di Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Jika di Bali menganut Hindu Dharma, maka di Tengger menganut Hindu Mahayana yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur Hindu dan animisme. Tempat ibadah keagamaan Pemeluk agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk agama Hindu pada umumnya, mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara, Di Tengger tidak terdapat Kasta yang membedakan status sosial seseorang seperti yang di temukan di Bali, mereka menganggap semuaya adalah sama dan setara. Orang Hindu Tengger juga berbeda dengan Hindu Bali dalam hal pemakanman orang yang meningeal. Jika di Bali orang yang meninggal akan dibakar (Ngaben), di Tengger orang yang meninggal cukup dikubur selayaknya orang-orang yang meninggal pada Agama lain.
Di Tengger, orang berpindah Agama sangat sering dijumpai, baik Hindu ke muslim maupn muslim ke Hindu. Tidak ada ritual khusus bagi seseorang yang ingin berpindah keyakinan. Perpindahan keyakinan tersebut biasanya didasari pada perkawinan. Pasangan beda Agama tidak ada larangan untuk menikah. Masalah kedepannya mereka ingin berpindah keyakinan yang awalnya Hindu ke Muslim atau sebaliknya pun tergantung individu pada pasangan masing-masing. Banyak orang muslim dan Hindu hidup berdampingan, tetapi tidak pernah menimbulkan konflik, karena mereka menjunjun tinggi persaudaraan antar umat beragama. Dalam hal pemakaman pun juga begitu. System pemakaman masyarakat Tengger antara agama Hindu dengan Muslim tidak dipisah. Melainkan menjadi satu pagar di tempat yang sama, hanya dibagi makam orang Islam berada di tanah yang agak tinggi (atas), dan makam orang Hindu berada di tanah yang agak rendah (bawah). Pembagian pemakaman yang seperti itu bukan berarti orang Islam stratanya diatas dan Hindu di bawah. Tetapi hanya karena struktur tanahnya saja yang tidak rata, mengingat disana memang pegunungan. Tetapi pembagian tersebut juga tidak berlaku mengikat. Jika terdapat orang Hindu yang meningga dan ingin di makamkan di dekat makan orang tuanya yang kebetulan beragama Muslim, maka pembagian atas-bawah tidak menjadi halangan dan permasalahan.
Dalam bidang mata pencaharian, masyarakat Tengger pada umumnya berprofesi sebagai petani sayur mayur di ladang. Dikerenakan letaknya yang berada di antara dua gunung aktif, yaitu Bromo dan Semeru. Jika yang laki-laki bertugas mencangkul ladangnya, maka yang perampuan hanya bertugas membantu dan menyiapkan makan siang diladang. Hasil tani sayur dari ladang, mereka jual ke pengepul dan hasil pertanian (kubis, jagung, wortel, tembakau, kentang, dll) disana sangat terkenal kualitasnya yang tahan lama. Selain menjadi petani, masyarakat Tengger juga banyak yang berprofesi sampingan menjadi supir jeep, pedagang, maupun penyewaan kuda. Meskipun, hasil dari penyewaan kuda lebih besar sekitar 700rb perharinya dari pada berladang yang harus menunggu sampai panen. Tetapi berladanglah profesi utama mereka. Mereka yang menawarkan penyewaan kuda maupun supir jeep mempunyai paguyuban-paguyuban sendiri. Paguyuban-paguyuban tersebut ditujukan agar sesama supir maupun penyewaan kuda tidak berebut penumpang satu sama lain.
Layaknya masyarakat pada umumnya, masyarakat Tenggerpun juga memiliki pimpinan. Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan ,walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat Suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan sebagai pemimpin Ritual/Upacara Adat. Proses pemilihan seorang Petinggi ,dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat , melalui proses pemilihan petinggi.
Sedang untuk pemilihan Dukun ,dilakukan melalui beberapa tahapan tahapan (menyangkut diri pribadi calon Dukun).yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada bertempat di Poten Gunung Bromo. Di suku Tengger, terdapat tiga orang Dukun yang memegang peranannya masing-masing, yaitu Dukun Sepuh, Dukun Legen, dan Dukun Sunat.
Masyarakat suku Tengger mempunyai banyak tradisi-tradisi yang setiap tahunnya rutin mereka laksanakan bersama. Seperti Tradisi Kasada (bulan ke duabelas), tradisi ini dilaksanakan dengan menggelar sebuah ritual upacara. Ritual ini dilaksanakan di ponten pure luhur, semua masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Upacara dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini juga disebut dengan hari Raya Kurban. Dikatakan demikian karena dulunya upacara ini mitologinya adalah Rara Anteng dan Joko Seger yang sudah lama menikah, tetapi tak juga memiliki keturunan. Maka keduanya naik ke Gunung Bromo untuk memohon kepada dewa agar dikaruniai anak. Akhirnya, Rara Anteng dan Joko Seger memiliki 25 anak. Namun, ada satu syarat. Salah satu anak Joko Seger dan Rara Anteng akan diambil oleh dewa. Raden Kusuma, putra bungsu kedua insan tersebut akhirnya diambil lewat jilatan api kala Gunung Bromo meletus. Tetapi sekarang sudah diganti menggunakan kurban berupa hewan. Kisah inilah yang mengawali tradisi labuh sesaji ke Kawah Bromo saat perayaan Kasada yang juga mengandung nilai kearifan lokal untuk hidup bersandingan dengan alam. Nilai ini pulalah yang menjadi prinsip hidup masyarakat Tengger dan tersirat dari berbagai ritual adat yang masih mereka jalani.
Tidak hanya masyarakat Tengger yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat Tengger yang beragama lainnya juga mengikuti upacara tersebut. Setelah upacara dan melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah gunung Bromo. Kemudian dilanjutkan dengan acara musyawarah dan silaturrahmi antar dukun dengan masyarakat Tengger. Biasanya upacara tersebut dilaksanakan lima hari sebelum upacara Yadya kasada. Upacara Yadya kasada sendiri adalah sebuah upacara yang dilaksanakan saat purnama pada bulan kasada sesuai penanggalan suku Tengger yang bertujuan untuk untuk meminta berkah dari Ida Sang Hyang Widi Wasa dan Penguasa Mahameru (Gunung Semeru). Kemudian sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo untuk melempar kurban atau sesaji yang berupa hewan tersebut ke kawah gunung bromo. Setelah pendeta melempar ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
Selain upacara kasada, terdapat pula upacara Karo atau Hari raya Karo. Upacara ini dilakukan pada bulan Puso dan merupakan Hari raya di masyarakat Tengger yang terbesar. Diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula membeli pakain hingga 2-5 pasang, perabotan pun juga baru. Makanan dan minuman pun juga melimpah pada adat ini masyarakat suku tengger juga melakukan anjang sana (silaturrahmi) kepada semua sanak saudara, tetangga semua masyarakat Tengger. Uniknya tiap kali berkunjung harus menikamati hidangan yang diberikan oleh tuan rumah. Tujuan penyelenggaraan upacara karo ini adalah: mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul manusia, untuk kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka. Selain tradisi Karo dan Kasada, masih banyak lagi tradisi-tradisi atau upacara-upacara seperti upacara Entas-entas, Unan-unan, Bari’an, dll.
Bahasa, masyarakat suku Tengger awalnya merupakan masyarakat jawa yang kemudian berdiri sendiri di dataran tinggi yang terisolasi, maka dengan kata lain masyarakat Tengger masih menggunakan bahasa Jawa yang kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormatinya. Logat jawa yang mereka gunakan sedikit mirip dengan logat Jawa orang ngapak, tetapi ternyata logat tersebut diyakini merupakan logat dam bahasa asli Majapahit. Bahasa inilah yang paling menarik perhatian di samping tradisi-tradisinya. Karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa orang-orang kerajaan Majapahit yang sangat unik jika mendengarkannya, logatnya yang cepat membuat pendengarnya merasa terhibur. Selain bahasanya yang menjadi ciri tersendiri, kain sarung yang selalu dililitkan dileher, dan kupluk yang menjadi penutup kepala yang merupakan hasil adaptasi dari suhu Gunung Bromo yang begitu dingin adalah kekhasan lain yang dimiliki masyarakat Tengger.
Selanjutnya yang menarik adalah system perkawinan masyarakat Tengger. Proses sebelum pernikahan (lamaran) pada suku Tengger sebenarnya tidak jauh berbeda pada masyarakat Jawa pada umumnya. Setelah proses lamaran diterima dan disetujui oleh kedua belah pihak, maka upacara perkawinan baru dilaksanakan. Sebelum acara perkawinan biasanya Dukun memberikan nasehat mengenai kapan hari baik yang tepat, dan tempat perkawinan itu dilaksanakan. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan iringan gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin, wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain sebagainya. Sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petara (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
. Masyarakat suku Tengger berkeyakinan bahwa meraka merupakan keturunan dari Majapahit. Masyarakat Tengger menjunjung tinngi historis asal muasal mereka dan Kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, serta kehidupan masyarakat Tengger yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat dari suku-suku lainnya. Yang membedakan hanyalah letak suku tersebut yang berada di pegunungan hingga mempunyai kesan bahwa suku tersebut terisolasi. Selain keindahan alamnya, Tradisi dan Kebiasaan masyarakatnya tersebut menjadi daya tarik yang unik bagi masyarakat suku lainnya Walaupun mayoritas memeluk Agama Hindu, tetapi seiring perkembangan zaman juga terdapat Agama Islam, Kristen, dan Katolik, Budha pun ada. Mereka semua hidup berdampingan dengan toleransi yang tinggi antar umat beragama, mereka juga menjunjung tali persaudaraan satu sama lain, sehingga konflik jarang terjadi dan menimbulkan keamanan dan ketentraman.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
terima kasih artikelnya bermanfaat sekali