RITUAL PROTES GAYA JAWA-YOGYA, SEBUAH ANALISIS ANTROPOLOGI-STRUKTURAL
Ritual protes diartikan sebagai aktivitas memprotes pihak lain yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cara yang hampir sama. Pada tanggal 20 Mei 1998, terdapat pelaksanaan ritual protes yang bertempat di halaman kampus UGM pada pagi hari dan di alun-alun utara Kraton Yogyakarta pada siang hari, peristiwa ini juga bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Ritual protes ini dilakukan oleh rakyat yang sebagian besar adalah mahasiswa. Ritual protes ini adalah representasi dari kekecewaan massa kepada penguasa. Dalam peristiwa ritual protes pada tanggal 20 Mei 1995, adalah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap presiden Soeharto yang telah lama memnjabat dan dianggap membodohi, menindas, bersikap tidak adil, dan berlaku sebagai tiran kepada masyarakat. Aksi protes masyarakat yang didominasi oleh mahasiswa sebenarnya telah mendapat perlawanan dari penguasa dalam melakukan ritual protes ini, akan tetapi mahasiswa sebagai identitas kelompok sosial tidak pernah menyerah untuk membuka jalan bagi terwujudnya ritual protes. Aksi protes mahasiswa ini bukanlah aksi protes yang anarkis, melinkan mereka melakukan ritual protes dengan cara berdoa bersama agar demokrasi mengenai pergantian kekuasaan dapat terwujud dengan damai, peristiwa doa bersama ini disebut dengan pisowanan ageng oeh masyarakat Yogyakarta.
Peristiwa ritual protes yang berada di kampus UGM dan Keraton Yogyakarta memiliki tujuan yang sama, yaitu memaksa presiden Soeharto agar melepaskan jabatannya. Ritual ini bernama AKMY (Aksi Keprihatinan Masyarakat Yogyakarta). Ritual ini ada karena terdapat ketegngan relasi antara pemerintah RI dan rakyat yang mendapat dukungan dari SSultan HB yang ikut serta menegakkan Reformasi dan menuntut Presideb Soeharto segera mundur dari jabatannya. Pada struktur relasi, antara mahasiswa dengan Presiden Soeharto adalah relasi oposisi, relasi antara Rektor dengan Presiden Soeharto adalah relasi oposisi juga, sedangkan relasi antara mahasiswa dengan Rektor adalah relasi aliansi atau sinergi. Sedangkan aksi ritual protes yang dilaksanakan di Keraton Yogyakarta memiliki struktur relasi antara Sultan HB dengan Presiden Soeharto adalah relasi oposisi, demikian pula dengan relasi antara Rakyat dengan Presiden Soeharto juga merupakan relasi oposisi. Kemudian relasi antara Sultan HB dengan rakyat adalah relasi aliansi atau sinergi.
Ritual protes baik yang bermakna relasi sinergi maupun opoisi termasuk kedalam fenomena social budaya yang dapat dianalisis dengan menggunakan strukturalisme dari Levi-Strauss, dimana analisis tentang struktur hanya dapat difokuskan pada objek yang telah menjadi kenyataan, karena struktur dapat ditemukan setelah dianalisis layaknya peristiwa ritual protes di Yogyakarta.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
mohn disertakan sumber refrensinya