Skip to content

amirul's blog

Just another Jejaring Blog Unnes Sites site

Archive

Archive for November, 2015

Waktu saya duduk di bangku kelas VIII SMP, ada mata pelajaran Elektronika. Mata pelajaran tersebut diajarkan untuk kelas VIII dan IX. Guru yang mengampu mapel tersebut, Bapak Harsono, sering mengatakan mapel tersebut sebagai mapel ‘elektro’ sehingga saya dan teman-teman berpersepsi bahwa ‘elektro’ sama dengan ‘elektronika’. Saya kira elektro adalah sebuah singkatan dari elektronika. Persepsi saya terus bertahan sampai saya lulus dari bangku SMK.

Setelah saya menginjak bangku kuliah, barulah persepsi saya berubah. Saya baru tahu kalau elektro dan elektronika itu berbeda. Berikut pengertian elektro dan elektronika berdasarkan KBBI.

elek·tro /éléktro/ n 1 yg berkaitan atau yg diadakan dng tenaga listrik (dl gabungan kata); 2 elektronika:ia ingin melanjutkan ke bagian —
elek·trik /éléktrik/ n listrik
elek·tro·ni·ka /éléktronika/ n cabang fisika yg mempelajari pemancaran, perilaku, dan dampak elektron serta alat-alat yg menggunakannya; 
 padat elektronika tanpa tabung hampa udara; transistor; — semikonduktor teknik elektronika yg menggunakan komponen semikonduktor untuk transistor

Pada teknik elektro akan dipelajari mengenai listrik arus kuat, antara lain jaringan listrik, pembangkit tenaga listrik, motor-motor listrik industri, transformator dan sedikit listrik arus lemah yang sekarang di sebut elektronika.

Pada teknik elektronika, maka akan dipelajari mengenai listrik arus lemah, antara lain rangkaian listrik, transistor, IC dan sebagainya dan sedikit mengenai listrik arus kuat.

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Awards. Tulisan ini adalah hasil karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

Pada hari kamis malam, tepatnya malam Jumat, tanggal 19 November 2015 anak-anak PTE Rombel 1 2015 bermaksud memecahkan rekor makan mie level. Mereka adalah Alvio, Anang, Candra, Mokho, Iqbal, dan saya. Sekitar pukul 19.20 kami berangkat menuju tempat sasaran, WM Lek Drat yang terletak di depan Masjid Ulul Albab UNNES. Setelah sampai di sana, kami segera memesan menu makanan. Alvio, memesan mie dengan 70 cabai untuk memecahkan rekor, sementara Anang dan Candra 55 cabai. Iqbal, si komting memesan mie 50 cabai, sedangkan aku dan Mokho hanya 40 cabai.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tibalah saatnya menyantap mie pedas tersebut. Saya akan menggambarkan satu persatu ekspresi mereka. Anang hanya makan 2 kali suapan, kemudian segera ‘kabur’ dan memuntahkan isi perutnya. Disusul Iqbal, si komting yang juga hanya makan sedikit lalu langsung ‘kabur’ untuk memuntahkan isi perutnya. Si Candra, juga hanya makan sedikit, ia berkeringat tapi tidak muntah. Ia merasa kesakitan di bagian perutnya. Si Mokho seperti orang habis mandi, keringatnya menetes-netes. Aku sih biasa saja, nggak keringetan, tapi nggak habis karena lidahku sudah nggak tahan.

Dan Alvio, pahlawan  PTE Rombel 1 berusaha keras menghabiskan mie pedas tersebut. Ia sudah membawa susu dari kost untuk menetralisir rasa pedasnya. Itupun belum cukup, ia memesan susu sampai 3 kali. Terlihat wajahnya dipenuhi keringat, tapi semangatnya masih membara. Dan akhirnya mie beserta cabai itupun habis ditelannya. Dan ini berarti Alvio berhasil mengalahkan rekor sebelumnya yang hanya 65 cabai. Waowwww, senang sekali hati Alvio karena dirinya bisa memecahkan rekor dan sebagai reward-nya, ia tidak membayar mie yang telah dimakannya, dan namanya akan terpampang di MMT .

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Awards. Tulisan ini adalah hasil karya sendiri dan bukan jiplakan”

Pilar konservasi UNNES salah satunya adalah pengelolaan limbah. Di UNNES sistem pengelolaan sampah sudah cukup bagus. Terbukti dengan adanya Rumah Kompos yang menampung ribuan sampah dedaunan dari berbagai penjuru UNNES. Sebagai universitas konservasi, UNNES memiliki populasi pohon yang sangat banyak. Hal ini berdampak pada banyaknya sampah dedaunan yang dihasilkan. Sampah tersebut jika dibiarkan begitu saja tidak akan memberikan manfaat. Maka dari itu mengolahnya menjadi kompos adalah salah satu pilihan terbaik.

Rumah kompos tidak hanya dijadikan sebagai tempat pengolahan sampah menjadi kompos, namun juga dijadikan sebagai tempat pelatihan bagi mahasiswa dalam membuat kompos. Dengan demikian diharapkan mahasiswa memiliki hasrat untuk mengolah sampah menjadi kompos sehingga sampah yang ada dapat berkurang.

Keberadaan rumah kompos menjadi bukti bahwa UNNES mempunyai sistem manajemen sampah yang bagus, dan jika terus dikembangkan dapat menjadikan UNNES bereputasi internasional.

 

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri bukan jiplakan.”

UNNES memiliki 7 pilar konservasi, salah satunya adalah pilar konservasi etika, seni, dan budaya. Terkait dengan budaya, khususnya budaya Jawa, mahasiswa baru wajib membuat parikan. Parikan adalah pantun dalam bahasa Jawa. Berbeda dengan pantun yang harus terdiri dari 4 baris, maka parikan dapat terdiri dari 2 atau 4 baris. Pada zaman sekarang parikan sudah jarang sekali digunakan dalam kegiatan sehari-hari, sehingga perlu diperkenalkan kepada para generasi muda.

Saya termasuk salah satu dari ribuan mahasiswa yang wajib membuat parikan. Saya dulu pernah belajar parikan saat di bangku kelas VII SMP dan kelas XI SMK. Dan berikut ini parikan sederhana hasil karya saya yang telah saya upload di LP3.

Legi rasane buah kates

Enak rasane mangan trasi

Seneng bisa kuliah ing Unnes

Bisa sinau bab konservasi

 

Menyang pasar tuku bakso urat

Regane limang ewu rupiah

Yen pengin sukses donya akherat

Kudu rajin sinau lan ibadah

 

Jalan-jalan menyang Belitong

Weruh ayam lagi angkrem

Ayo kanca padha gotong royong

Supaya uripe ayem tentrem

 

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri bukan jiplakan.”

UNNES mendapat predikat sebagai ‘Universitas Konservasi’ sejak tanggal 12 Maret 2010. Sejak saat itu UNNES terus berupaya mewujudkan dan mengembangkan nilai-nilai konservasi sehingga sampai detik ini sudah banyak program-program UNNES yang terkait dengan konservasi. Langgengnya predikat ‘konservasi’ ini karena kerjasama antarelemen kampus dalam mengembangkan konservasi.

Namun, disadari atau tidak banyak program UNNES mengenai konservasi yang mulai ditinggalkan. Sebagai contoh, bus UNNES sudah tidak beroperasi lagi sehingga para mahasiswa lebih sering menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mahasiswa saat ini. Budaya jalan kaki dan bersepeda pun sudah mulai memudar. Mereka yang masih menerapkan budaya jalan kaki dan bersepeda hanyalah para mahasiswa yang tidak membawa kendaraan bermotor ataupun tidak memiliki kendaraan bermotor. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan predikat KONSERVASI yang disandang oleh UNNES.

Tak terhitung jumlahnya gas buangan dari kendaraan para mahasiswa. Hal ini berdampak negatif pada sirkulasi udara di kawasan UNNES yang mulai berkurang kesejukannya. Dan secara tidak langsung fenomena ini dapat memperparah penyakit ‘demam’ yang diderita oleh bumi kita. Hal ini juga memaksa pihak UNNES  untuk menambah jumlah area parkir, sehingga lahan yang seharusnya ditanami pohon ditransformasi dengan paving menjadi area parkir.

Sudah sepatutnya para mahasiswa sadar diri. Mereka kuiah di universitas konservasi, maka perilaku dan karakternya juga harus menyesuaikan. Kalau terus-terusan dibiarkan, maka kebiasaan mereka malah akan berkembang dan sulit diubah. Hal ini dapat mengancam reputasi UNNES sendiri sebagai Universitas Konservasi. Maka perlu adanya solusi untuk menangani kasus tersebut. Mungkin dengan kembali beroperasinya bus UNNES dapat sedikit mengatasi masalah tersebut.

Selain itu, masih terdapat mahasiswa yang merokok di kantin maupun di sekitar UNNES. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai dan karakter konservasi. Merokok tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun juga membahayakan orang lain dan lingkungan. Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya. Hal ini berarti bahaya yang ditanggung orang yang tidak merokok tiga kali lebih besar dibanding bahaya yang ditanggung orang yang merokok.

Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan untuk mahasiswa agar mereka memahami hakikat konservasi yang sesungguhnya. Tidak hanya melalui ucapan, namun juga melalui tindakan riil. Dengan demikian status UNNES sebagai Universitas Konservasi Bereputasi dapat dipertanggungjawabkan.

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri bukan jiplakan.”

Sejak saya mengenyam pendidikan di UNNES, saya seringkali mendengar istilah konservasi. Sepertinya konservasi sudah menjadi bagian penting dan ciri khas universitas yang berada di ‘puncak gunung’ ini. Mulai dari PPA (Program Pengenalan Akademik), sampai sekarang dan mungkin juga sampai saya lulus nanti kata ‘konservasi’ akan terus bergema mengiringi irama hidup saya di UNNES. Memang hal yang wajar karena UNNES sudah terlanjur mendeklarasikan dirinya sebagai Universitas Konservasi.

Kalau UNNES dikatakan sebagai ‘rumah ilmu’ terkait konservasi, itu sudah betul. Karena terbukti banyak ilmu yang dapat dipetik dari program dan kegiatan yang dilakukan. Misalnya saja, program penanaman pohon. Kita bisa memeroleh ilmu bagaimana cara menanam  dan merawat pohon agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Seperti kita ketahui, bahwa bumi kita sebenarnya sedang dalam keadaan kritis karena mengidap penyakit ‘demam’. Saya katakan demam karena makin hari suhu bumi makin panas. Para ahli berpendapat bahwa penyakit ‘demam’ itu sebabkan oleh efek rumah kaca. Nah, efek rumah kaca sendiri diakibatkan oleh banyaknya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fossil. Nah, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak populasi pohon. Kita semua tahu bahwa pohon dapat menyerap karbon dioksida dan mentransformasinya menjadi oksigen. Sehingga konsentrasi karbon dioksida dapat berkurang. Saya tidak dapat membayangkan jika pohon sama-sama menghirup oksigen. Pasti manusia dan tanaman akan saling berebutan menghirup oksigen dan mungkin kiamat akan segera tiba.

Sebenarnya upaya UNNES untuk lebih memperlihatkan eksistensinya sebagai Universitas Konservasi Bereputasi sudah cukup baik. Terbukti dengan adanya mata kuliah umum Pendidikan Konservasi dan segala bentuk ornamen konservasi di dalamnya. Namun sepertinya hal itu belum bisa memberikan hasil yang optimal karena mata kuliah tersebut hanya diajarkan selama satu semester. Dan kita bisa menerka bahwa setelah mendapat pendidikan mengenai konservasi, mereka yang notabenya punya prodi masing-masing akan lebih fokus dalam mempelajari bidang mereka sehingga mungkin tidak sepenuhnya menerapkan ilmu konservasi.

Atas dasar itulah perlu dibentuk suatu program studi baru yang mempelajari seluk-beluk konservasi secara mendalam dari awal sampai akhir masa kuliah. Program studi tersebut bisa diberi nama ‘Pendidikan Konservasi’, ‘Pendidikan Lingkungan hidup’, ‘Manajemen Pengelolaan Lingkungan’,’Teknik Pengelolaan Limbah’ dan sebagainya. Melalui program baru ini diharapkan muncul sosok-sosok pecinta lingkungan yang bisa menyembuhkan bumi dari penyakit ‘demam’nya.

Mungkin ide saya ini terlalu berlebihan, tapi kalau hal ini bisa direalisasikan, maka UNNES benar-benar akan menjadi ‘Rumah Ilmu’ dan menjadi Universitas Konservasi yang Bereputasi ‘sangat baik’.  Apalagi UNNES sudah berstatus ‘konservasi’, tinggal dikembangkan saja maka UNNES tidak hanya bereputasi nasional, tapi juga bereputasi internasional. Bayangkan saja, tahun ini jumlah pendaftar UNNES jalur SNMPTN sebanyak 50.000 lebih dan menduduki urutan ke-enam nasional. Jika UNNES bisa mengembangkan budaya konservasinya, mungkin jumlah pendaftar pada tahun-tahun berikutnya akan meningkat secara signifikan yang akan berakibat mahasiswa UNNES yang terpilih adalah mahasiswa yang berkualitas.

Sudah saatnya konservasi itu direalisasikan, tidak hanya diajarkan lewat buku saja. Tapi perlu ditekankan pada aspek pemahaman, keterampilan, karakter, dan kreativitas agar lulusannya kelak memahami betul hakikat konservasi dan dapat menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Dan sekali lagi, melalui program studi berbasis konservasi adalah suatu terobosan bagi UNNES untuk menjadi ‘Rumah’ dari segala ‘Rumah Ilmu’.

Demikian yang dapat saya ketik, mohon maaf jika ada kekurangan.

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah hasil karya saya sendiri dan bukan jiplakan.)

Universitas Negeri Semarang (UNNES) adalah salah satu universitas di Indonesia yang mengedepankan aspek konservasi. UNNES mendeklarasikan dirinya sebagai Universitas Konservasi pada tanggal 12 Maret 2010. Sehingga tak terasa sudah lima tahun lebih UNNES menyandang gelar tersebut. Hal ini ditegaskan lagi dengan adanya Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 27 Tentang Tata Kelola Kampus Berbasis Konservasi di Universitas Negeri Semarang. Dengan demikian sudah jelas bahwa perkara konservasi di UNNES bukan persoalan main-main.

Ada satu mata kuliah umum di UNNES yang eksotis, yang belum tentu ada di universitas lain. Hmmmm….. apa yaa?

Tepat sekali, PENDIDIKAN KONSERVASI. Ketika saya membuka SIKADU (Sistem Akademik Terpadu) untuk pertama kalinya, saya agak bingung mengapa di KRS (Kartu Rencana Studi) termaktub mata kuliah tersebut sedangkan saya jurusan teknik elektro. Setelah detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari saya saya lalui, baru saya tahu alasannya.

Setelah saya amati, banyak sekali hal-hal di UNNES yang berkaitan dengan jatidirinya sebagai Universitas Konservasi, diantaranya hutan mini kampus, kebun wisata unnes, rumah kupu-kupu, rumah kompos, kebijakan menanam pohon bagi mahasiswa, dan masih banyak lagi yang mungkin belum sempat saya ketahui. Bukti-bukti nyata tersebut telah memantapkan UNNES sebagai Universitas Konservasi Bereputasi. Tapi apakah itu semua sudah cukup? Bagaimana caranya agar semua itu tetap ada dan terus berkembang? Salah satunya adalah dengan menjadikan konservasi sebagai ‘mata kuliah wajib’ .

Melalui mata kuliah konservasi, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai konservasi dalam dunia nyata. Sedikit saya singgung mengenai nilai-nilai konservasi di UNNES yang mewakili masing-masing fakultas, yaitu inspiratif (FIP), humanis (FBS), peduli (FIS), inovatif (FMIPA), kreatif (FT), sportif (FIK), jujur (FE), dan adil (FH). Dua yang terakhir sepertinya mirip dengan asas pemilu (bukan mirip lagi, tapi memang iya).

Selain itu, ada yang namanya pilar konservasi UNNES yang jumlahnya 7. Pilar-pilar itu adalah 1)Keanekaragaman Hayati (terbukti dengan adanya program penanaman pohon, rumah kupu-kupu); 2)Energi Bersih (terbukti dengan adanya panel sulya); 3)Arsitektur Hijau dan Transportasi Internal (mungkin dulu ada buktinya tapi sekarang sudah punah, ruangan ber-AC, bus UNNES sudah tak tampak lagi batang hidungnya, ratusan bahkan ribuan motor wira-wiri pulang-pergi); 4)Kebijakan Nirkertas (terbukti dengan sistem presensi online); 5)Pengelolaan Limbah (terbukti dengan adanya rumah kompos); 6)Etika, Seni, dan Budaya; dan terakhir 7) Kader Konservasi. Untuk pilar yng terakhir ini salah satunya adalah dengan cara mengikuti kuliah Pendidikan Konservasi.

Sepertinya nilai-nilai konservasi mulai menurun, terutama untuk pilar “arsitektur hijau dan transportasi internal”. Maka dari itu perlu diterapkan  solusi yang jitu agar reputasi UNNES sebagai Universitas Konservasi lebih baik. Kalau sekarang menduduki urutan ketiga tingkat nasional, mungkin melalui mata kuliah pendidikan konservasi, reputasi UNNES bisa satu tingkat lebih baik lagi.

Memang sudah seharusnya UNNES dijadikan sebagai “rumah ilmu” terkait konservasi. Jelas, mahasiswa dapat memperoleh ilmu melalui mata kuliah pendidikan konservasi. Mahasiswa bisa belajar mengubah sampah menjadi kompos, bisa mengelola sampah, bisa mendaur ulang kertas, dan bisa hal lain terkait konservasi. Maka dari itu, seyogyanya seluruh warga UNNES bisa bersama-sama mengembangkan konservasi di UNNES agar bisa dijadikan sebagai “rumah ilmu”, tempat pelestarian tumbuhan, tempat penelitian, pokoknya tempat yang selalu didambakan dan ingin dikunjungi oleh orang-orang (walaupun lokasinya di Gunung Pati). Dengan demikian mimpi UNNES sebagai Universitas Konservasi Bereputasi bisa terwujud dalam sekejap mata.

Demikian yang dapat saya tulis, jika ada kekurangan saya mohon maaf.

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah hasil karya saya sendiri dan bukan jiplakan.)

Skip to toolbar