UNNES mendapat predikat sebagai ‘Universitas Konservasi’ sejak tanggal 12 Maret 2010. Sejak saat itu UNNES terus berupaya mewujudkan dan mengembangkan nilai-nilai konservasi sehingga sampai detik ini sudah banyak program-program UNNES yang terkait dengan konservasi. Langgengnya predikat ‘konservasi’ ini karena kerjasama antarelemen kampus dalam mengembangkan konservasi.

Namun, disadari atau tidak banyak program UNNES mengenai konservasi yang mulai ditinggalkan. Sebagai contoh, bus UNNES sudah tidak beroperasi lagi sehingga para mahasiswa lebih sering menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mahasiswa saat ini. Budaya jalan kaki dan bersepeda pun sudah mulai memudar. Mereka yang masih menerapkan budaya jalan kaki dan bersepeda hanyalah para mahasiswa yang tidak membawa kendaraan bermotor ataupun tidak memiliki kendaraan bermotor. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan predikat KONSERVASI yang disandang oleh UNNES.

Tak terhitung jumlahnya gas buangan dari kendaraan para mahasiswa. Hal ini berdampak negatif pada sirkulasi udara di kawasan UNNES yang mulai berkurang kesejukannya. Dan secara tidak langsung fenomena ini dapat memperparah penyakit ‘demam’ yang diderita oleh bumi kita. Hal ini juga memaksa pihak UNNES  untuk menambah jumlah area parkir, sehingga lahan yang seharusnya ditanami pohon ditransformasi dengan paving menjadi area parkir.

Sudah sepatutnya para mahasiswa sadar diri. Mereka kuiah di universitas konservasi, maka perilaku dan karakternya juga harus menyesuaikan. Kalau terus-terusan dibiarkan, maka kebiasaan mereka malah akan berkembang dan sulit diubah. Hal ini dapat mengancam reputasi UNNES sendiri sebagai Universitas Konservasi. Maka perlu adanya solusi untuk menangani kasus tersebut. Mungkin dengan kembali beroperasinya bus UNNES dapat sedikit mengatasi masalah tersebut.

Selain itu, masih terdapat mahasiswa yang merokok di kantin maupun di sekitar UNNES. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai dan karakter konservasi. Merokok tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun juga membahayakan orang lain dan lingkungan. Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya. Hal ini berarti bahaya yang ditanggung orang yang tidak merokok tiga kali lebih besar dibanding bahaya yang ditanggung orang yang merokok.

Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan untuk mahasiswa agar mereka memahami hakikat konservasi yang sesungguhnya. Tidak hanya melalui ucapan, namun juga melalui tindakan riil. Dengan demikian status UNNES sebagai Universitas Konservasi Bereputasi dapat dipertanggungjawabkan.

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri bukan jiplakan.”