Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa

gambar jawa

Budaya jawa terdiri dari dua keraton yaitu keraton yogyakarta dan keraton surakarta. Identik dengan budaya yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis,aristokratis. Pada masa lalu masyarakat jawa adalah etnis yang keras dan menjadi bangsa penakluk. Budaya kekerasan pada masyarakat jawa dahulu ini bermula inspirasi gagasan kekerasan yang bersumber dari nilai-nilai dan etika jawa. Ini tergambar dari perwujudan dalam wayang kulit atau wayang wong yang mengisahkan pertarungan, antara pandawa dan kurawa. Yang secara legitimasi menjadi gambaran bahwa kebudayaan jawa bersifat keras.

Nilai dan etika jawa menurut Franz Magnis Suseno(1993) memiliki 3 prinsip yaitu hormat, rukun, isin. Hormat, orang jawa dalam berkata harus memiliki sikap sopan, hormat di sesuaikan dengan derajat dan kedudukannya. Rukun, dalam hubungan sosial orang jawa harus tenang, tentram tanpa ketegangan. Isin, orang jawa harus memiliki sifat ini dalam perbuatan maupun perkataannya sesuai dengan apa yang di lakukannya. Pada masa perjanjian Giyanti (1755) yang menjadikan kerajaan mataram terbelah dua yaitu antara yogyakarta dan surakarta yang tidak terlepas dari kolonial Belanda, yang merusak sistem kekuasaan Mataram. Dengan adanya perjanjian Giyanti tersebut di tanah jawa terjadi kekerasan dan peperangan aitu perang Diponegoro (1825). Setelah perang itu selesai dengan bantuan Belanda tercipta negara bau yaitu colonial state yang memanfaatkan kerajaan jawa jogja dan surakarta.

Pada masa reformasi, sultan Hamengkubowono X melakukan ritual Nglakoni atau laku prihatin yang bertujuan untuk mendukung pergerakan Reformasi agar berjalan sukses dan damai. Dengan di lakukannya hal ini, terbukti masyarakat jogya tidak melakukan hal anarki seperti yang ada di kota-kota lain. Gerakan Reformasi di yogyakarta di namakan dengan pisowanen ageng. Intinya dalah sultan menghimbau agar masyarakat yogya atau rakyat Indonesia berdoa demi keselamatan negara indonesia. Gerakan ini di sebut juga people power yaitu untuk pengulingan regim dan kekuatan rakyat untuk meurunkan penguasa. Dalam budaya jawa, khususnya di jogya cara masyarakat untuk meredam kekerasan adalah dengan cara gunungan grebeg. Di dalam acara ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan sehingga menghilangkan perbedaan antara rakyat kecil dengan rakyat yang mempunyai darah bangsawan.

Jadi, dalam budaya jawa banyak sekali kebudayaan yang tidak banyak kita temuai di budaya lain. Mulai dai istilahnya sampe tujuan acara-acara atau trdisi yang di lakukan oleh Sultan tidak lain adalah bertujuan untuk mensejahterakan rakyat nya. Misalnya yang di lakukan oleh Sultan dalam masa Reformasi. Sultan yang melakukan nglakoni dengan tujuan dalam Reformasi tidak adanya tindakan kekerasan di masyarakat jogya. Dengan melakukan tradisi tersebut, terbukti tidak adanya tindakan anarki dan kekerasan. Jadi, masyarakat jawa sangat banyak sekali simbol-simbol untuk melakukan berbagai hal.

3 comments

  1. Terima kasih anis, walaupun saya tidak mengambil mata kuliah religi dan etika jawa, tetapi saya menjadi mengerti 😀 semangat menulis 😉

    1. sama-sama sekar…

  2. Tulisannya bagus nis 🙂

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: