Sekolah Kolong Langit Semarang Kajian Antropologi Pendidikan

November 13th, 2015 by apriyani Leave a reply »

         Keberadaan Sekolah Kolong Langit tidak terlepas dari keberadaan komunitas Satoe Atap. Komunitas Satoe Atap berdiri dimulai dari sekumpulan mahasiswa Undip Pleburan yang peduli terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak-anak di daerah Kampus Pleburan, yang pada saat itu sering meminta-minta pada jam dimana seharusnya mereka sekolah. Dari situ mereka mulai mendekati anak-anak untuk mulai diajak belajar bersama, Satoe Atap ini dikoordinasikan oleh Januar Adnan Murwalistyo. Dimulai sejak tahun 2007, sekumpulan mahasiswa tersebut berdiskusi hingga muncul nama Satoe Atap, tepatnya pada 12 April 2007. Nama ini memiliki filosofi yang berarti: Sayang Itu Asli Tanpa Pamrih.Dengan keberadaan Komunitas ini, kemudian terlaksanalah kegiatan pembelajaran yang sering disebut dengan Sekolah Kolong Langit. Jadi Sekolah Kolong Langit merupakan sebuah perkumpulan kelompok belajar yang diselenggarakan oleh Komunitas Satoe Atap diperuntukan bagi anak-anak jalanan, anak putus sekolah, juga anak kurang beruntung lainya.

        Hari pertama observasi kami mendatangi kawasan Tugu Muda Semarang pada tanggal 23 November 2015. Tepat pada hari Minggu, dimana pada waktu tersebut banyak sekali anak jalanan yang sedang melakukan kegiatannya di jalan raya. Beberapa anak kecil yang menenteng koran untuk dijual kepada para pengendara ketika lampu merah menyala, serta beberapa kumpulan anak-anak sekitar usia anak menjelang remaja dengan berkeliling menyodorkan telapak tangannya untuk meminta-minta kepada para pengendara yang melewati sekitar jalan Tugu Muda tersebut. Pada saat itulah kami mendatangi bebrapa anak jalanan, dan menanyai mereka tentang pendidikan mereka. Dan hasilnya kami memperoleh informasi tentang Sekolah Kolong Langit ini.
Hari kedua observasi kami mendatangi kawasan Simpang Lima Semarang pada Jumat 05 Desember 2014 kami berharap bisa menjumpai anak-anak jalanan yang bergabung di Sekolah Kolong Langit, namun karena cuacanya mendung dan gerimis kami tidak menemui mereka, kami hanya menjumpai satu anak yang mengikuti sekolah tersebut dan seorang volunter Komunitas Satoe Atap yang juga mengajar di Sekolah Kolong Langit, kami mewawancarai seorang volunter Satu Atap yang bernama Rahma Triana Mayang Asri 23 tahun, beralamat di Jl. Mentri Supeno 01, merupakan mahasiswa Universitas PGRI Semarang angkatang 2011 informan mengatakan bahwa ia sudah bergabung menjadi volunter satu atap ini sudah 3,5 tahun, ia mengatakan bahwa Komunitas Satoe Atap berdiri dimulai dari sekumpulan mahasiswa Undip Pleburan yang peduli terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak-anak di daerah Kampus Pleburan, yang pada saat itu sering meminta-minta pada jam dimana seharusnya mereka sekolah. Dari situ mereka mulai mendekati anak-anak untuk mulai diajak belajar bersama, Komunitas Satu Atap ini dikoordinasikan oleh Januar Adnan Murwalistyo yang merupakan mahasiswa Undip yang saat ini sedang sibuk dengan skripsinya.
Dimulai sejak tahun 2007, sekumpulan mahasiswa tersebut berdiskusi hingga muncul nama Satu Atap, tepatnya pada 12 April 2007. Nama ini memiliki filosofi yang berarti: Sayang Itu Asli Tanpa Pamrih. Waktu kegiatan pembelajaran Satu Atap diselenggarakan 3 kali dalam satu minggu yakni pada hari Selasa yang diselenggarakan di belakang Hotel Horizon Kelurahan Karang Kidul Semarang yang pesertanya merupakan anak-anak sekitar kelurahan Karang Kidul, hari Rabu diselenggarakan di Jalan Kelinci No 1, Wisma Moerdiningsih yang pesertanya merupakan anak jalanan dan putus sekolah di sekitar kawasan tersebut dan yang terakhir di selenggarakan pada hari Jumat di apangan Pancasila Simpang Lima Semarang dan pesertanya adalah anak-anak jalanan dan penjual koran di kawasan Tugu Muda, waktu pelaksanaan dimulai pukul 16:00 sampai pukul 17:00. Seiring berjalannya waktu, banyak mahasiswa dari berbagai Universitas di Semarang berpartisipasi menjadi volunter di sekolah ini, seperti mahasiswa dari Universitas Negri Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, Universitas PGRI Semarang, Universitas Sultan Agung, Poltekes Semarang, Polines, Unisbank juga ikut bergabung dalam Satu Atap ini.
Berdasarkan hasil observasi, informan mengatakan bahwa untuk menjadi volunter bukanlah hal yang sulit, cukup mereka datang ke tempat di selenggarakan Sekolah Kolong Langit dan mengikuti kegiatannya, hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai volunter diantanya adalah memiliki kepedulian yang tiggi, perhatian terhadap anak-anak yang mengikuti kegiatan, memiliki rasa empati terhadap anak-anak perserta Sekolah Kolong Langit, mau dan ingin belajar bersama serta membelajari anak-anak Sekolah Kolong Langit, tidak merokok, tidak berkata-kata yang tidak baik atau tidak pantas atau berkata jorok, tidak memakai sandal, tidak selalu bermain HP ketika kegiatan berlangsung dan tidak memanggil teman sesama volunter dengan sebutan akrab mereka, melainkan harus memanggil teman sesama volunter dengan sebutan “kakak” di ikuti dengan nama aslinya.
Kegiatan yang diselenggarakan di Sekolah Kolong Langit ini, diantaranya adalah belajar bersama, membuat kerajinan tangan, mengaji dan bermain sambil belajar. Tak jarang juga dilaksanakan kegiatan seperti pendakian bersama, kunjungan pada sekolah-sekolah dan sebagainya. Tanggapan dari masing-masing orang tua peserta Sekolah Kolong Langit baik dan mendukung adanya kegiatan yang positif ini, dahulu ada rumah singgah yang bernama rumah pelangi yang didirikan oleh Bapak Ibrahim dimana rumah pelangi ini adalah rumah bagi anak-anak jalanan dan putus sekolah bersinggah, disana juga diselenggarakan kegiatan sama persis di Sekolah Kolong Langit, namun sayangnya rumah singgah ini saat sekarang sudah tidak ada lagi karena beberapa alasan. Biaya operasional kegiatan Sekolah Kolong Langit berasal dari donatur, yang merupakan volunter dari Komunitas Satoe Atap.
Tanggapan baik melekat pada mahasiswa-mahasiswa yang dengan sukarela membangun komunitas ini. Ketika kita mewawancarai dosen salah satu perguruan tinggi di Sulawesi Selatan, yakni Bapak Kasse Tadaga yang sedang melakukan kunjungan ke beberapa kota besar di Indonesia dan Luar Negeri guna melihat jalannya sistem pendidikan di kota tersebut. Beliau sangan memberikan apresiasi yang baik terhadapa adanya Sekolah Kolong Langit ini, beliau hanya mampu menyarankan agar para mahasiswa jangan mudah lelah untuk memberikan pendidikan pada genari-generasi kecil yang memang seharusnya mendapatkan hak pendidikan tetapi yang pada kenyataannya hak tersebut sulit mereka raih karena berbagai faktor. Para mahasiswa dalam komunitas ini juga harus mampu menyentuh pemerintah agar mampu melihat kegiatan pembelajaran yang bermanfaat ini agar mereka mampu memberikan fasilitas pengajaran yang lebih layak untuk anak jalanan maupun anak-anak yang kurang berutung dalam memperoleh hak pendidikan mereka.
Hari ketiga kami melakukan observasi yaitu pada Selasa, 8 Desember 2014 kami mendatangi sekolah kolong langit yang diselenggarakan di belakang Hotel Horizon Kelurahan Karang Kidul, kami menjumpai sekitar 12 anak dan beberapa volunter dari berbagai Universitas yang ada di Semarang. Kegiatan yang diselenggarakan di Kelurahan Gunung Kidul tersebut pesertanya bukan dari anak-anak jalanan yang ada di kawasan Tugu Muda melainkan dari anak-anak sekitar Kelurahan Gunung Kidul tersebut, dan kegiatan diselenggarakan di depan kantor kelurahan, namun kegiatan belajar bersama tersebut tidak dilakukan di dalam kantor kelurahan karena tidak diperbolehkan, dahulu pernah di dalam ruangan kantor namun sekarang tidak lagi melainkan di depan teras kantor. Kami mewawancarai dua anak yang juga ikut bergabung di sekolah kolong langit tersebut, mereka adalah Lisa 13 tahun yang saat ini masih duduk di kelas 7 di SMP Institut Indonesia, Nisa 8 tahun yang saat ini masih duduk di kelas 3 SD Islam Aljihad.
Lisa dan Nisa merupakan dua kakak beradik yang sudah lama mengikuti kegiatan Sekolah Kolong Langit tersebut, Nisa sudah mengikuti kegiatan Sekolah ini sudah 4 tahun sedangkan adiknya baru mengikuti sekolah tersebut baru 2 tahun, ayah mereka bekerja sebagai supir truk dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, orang tua dari mereka tidak pernah melarang anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan ini dan memperbolehkannya, anak-anak yang bersekolah di Kolong Langit ini semuanya adalah pelajar SD dan SMP, mereka berangkat setiap hari Selasa pukul 16:00 dan pulang pada pukul 17:00 kegiatan mereka di Kolong Langit adalah belajar bersama seperti mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan guru mata pelajaran di sekolah, belajar menghitung, mengaji, bermain sambil belajar dan membuat kerajinan tangan bersama, berdasarkan hasil observasi kelompok kami, para peserta yang megikuti Sekolah Kolong Langit mengatakan bahwa mereka senang mengikuti kegiatan tersebut karena mereka bisa belajar sambil bermain, menambah pengetahuan dan para volunter membantu pekerjaan rumah dari sekolah mereka.

Advertisement

15 comments

  1. Siti Farikhah berkata:

    Semoga sekolah kolong langit tetap eksis sampai kapanpun,karena dengan adanya sekolah kolong langit tersebut dapat bermanfaat dalam bidang pendidikan pada khususnya.

  2. menambah wawasan pri. semangat 😀

  3. artikelnya inspiratif 😀

  4. Tri Yuliana berkata:

    artikelnya bagus, ditunggu artikel2 yg lainnya ya

  5. ignasia intan berkata:

    Dokumentasi kaka 😀

  6. ika fitrianingrum berkata:

    Kak apri g berminat jadi volunteernya?

  7. sekolah laut ada ga yah 😀

  8. isinya menarik kakaaak, redaksinya saja yang perlu diperhatikan

  9. pernahkah anda turut berpartisipasi dalam kegiatan sekolah kolong langit tersebut saudara? bagimana keberlanjutannya juga untuk saat ini?

  10. waw aku baru tau ada sekolah beginian loh pri. makasih infonya yaa.

Tinggalkan Balasan