Asas peradilan pidana anak pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 sebagaimana yang termuat pada Pasal 2 yaitu :
- pelindungan;
- keadilan;
- non diskriminasi;
- kepentingan terbaik bagi Anak;
- penghargaan terhadap pendapat Anak;
- kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
- pembinaan dan pembimbingan Anak;
- proporsional;
- perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
- penghindaran pembalasan.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 didalamnya tidak memuat secara eksplisit mengenai asas dalam peradilan anak. Meskipun, pada saat itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990.
Keberlakuan mengenai batasan anak yang berbeda, pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 batasan anak yaitu yang telah berusia 8 tahun hingga sebelum 18 tahun. Namun pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 batasan anak yaitu yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun.
Penyebutan anak yang terlibat dalam tindak pidana juga berbeda. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menggunakan istilah anak nakal ( pada Pasal 1) untuk anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, menggunakan istilah Anak yang berhadapan dengan hukum, anak sebagai korban, untuk penyebutan anak yang terlibat dalam tindak pidana.
Adanya diversi pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 sebagai langkah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses yang lain diluar pidana. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, pada pokoknya tidak memuat dan mengenal diversi sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana anak.
Asas perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 memberikan perlindungan melalui batasan usia anak yang ditinggikan hingga usia 12 tahun. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 mencakup yang telah berusia 8 tahun.
Asas keadilan, pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 mengedepankan keadilan restoratif sebagai upaya yang juga melakukan pencegahan terhadap anak.
Kelebihan pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 antaranya adalah mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, penyelesaian perkara melalui diversi, merangkul peran serta dari masyarakat untuk turut dalam pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, penegasan terkait Konvensi Hak-Hak Anak sehingga mempertegas mengenai perlindungan terhadap anak.
Adapun kekurangannya antara lain, banyaknya lembaga-lembaga terkait anak menyulitkan untuk pengendalian dalam mekanisme peradilan yang juga belum tentu tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
Kelebihan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 masih menganut yuridis formil sebagai substansi hukum.
Sedangkan kekurangan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 diantaranya adalah keberadaan undang-undang ini tidak sepenuhnya sebagai hukum materil, namun terfokus pada hukum formil saja, substansi perlindungan anak belum nampak sepenuhnya, meskipun telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, proses penyelesaian perkara yang mana hanya satu pihak yaitu anak sebagai bagian dari tindak pidana tanpa adanya kepentingan korban, pidana yang digunakan sebagai penghukuman utama, bukan penghukuman terkahir tidak atau belum tentu mengurangi tindak pidana.