Indonesia merupakan himpunan masyarakat yang terdiri atas aneka suku bangsa yang mengikat diri sebagai satu bangsa, Indonesia. Menurut salah satu taksiran, ada lebih dari 500 suku bangsa yang hidup di Indonesia. Suku-suku bangsa di Indonesia beragam corak dan tingkat kebudayaannya. Ada suku bangsa yang secara social, ekonomi, dan politik telah berkembang dan mengenal system kerajaan, ada pula suku-suku bangsa yang secara social, ekonomi, dan politik masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan atas aturan kekerabatan dan hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Oleh karena itu bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk.
Keberagaman masyarakat Indonesia melahirkan bahasa yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. kemudian dalam daerah itu sendiri terdapat masyarakat yang memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda pula. Untuk itu sebagai pemersatu bangsa digunakanlah bahasa Indonesia.
- Pemetaan Budaya
Budaya yang ada di Indonesia dipetakan sesuai dengan daerahnya masing-masing. Misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon.
Selain itu, bahasa ngapak juga terdapat di daerah Jawa Tengah yaitu bahasa ngapak Tegal dan bahasa ngapak Banyumasan. Walaupun sama-sama bahasa ngapak tetapi antara Tegal dan Banyumas berbeda bahasa. Bahasa ngapak Tegal seperti: nyong (aku), kowen (kamu), ader (masa), laka-laka (tidak ada tandingannya), tuli (terus), pimen (bagaimana), pan (akan) dan sebagainya. Sedangkan bahasa ngapak Banyumasan seperti: inyong (aku), ko (kamu), teyeng (bisa), di akhir kata tanya menggunakan kata mbok (kan?), madang (makan), ngelih (lapar), kepriwe (bagaimana) dan sebagainya.
Dialek adalah variasi bahasa yang berbeda menurut pemakai bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu atau kurun waktu tertentu. Dialek suatu daerah bisa diketahui berdasarkan tata bunyinya. Bahasa Indonesia yang diucapkan dalam dialek orang Tapanuli dapat dikenali karena tekanan katanya yang sangat jelas. Bahasa Indonesia dialek Bali dan Jawa dapat dikenali pada pelafalan bunyi t dan d. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda. Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tidak terlalu jelas.
Perbedaan ragam dialek tersebut berkaitan dengan bahasa ibu penutur bahasa. Oleh karena itu, dalam penggunaan bahasa terdapat perbedaan dialek seperti bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orang-orang di Pekalongan dan Tegal berbeda dengan bahasa Jawa yang dipergunakan di Solo atau Yogyakarta. Demikian pula dialek bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orang-orang di Madiun atau Surabaya berbeda dengan bahasa Jawa yang dipergunakan oleh orangorang di Banyumas. Akan tetapi, perbedaan dialek tersebut secara umum masih berlangsung dalam rumpun bahasa Jawa. Di Indonesia terdapat beratus-ratus dialek yang tersebar di berbagai daerah. Misalnya, dialek bahasa Indonesia Betawi, dialek Melayu Medan, Melayu Ambon, Melayu Palembang, dialek Batak Toba, Batak Karo, dialek bahasa Jawa Cirebon, bahasa Jawa Tegal, bahasa Jawa Solo, bahasa Jawa Semarang, bahasa Jawa Yogyakarta, dan bahasa Jawa Surabaya.
Dialek dibedakan atas hal berikut:
- Dialek regional yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga membedakan bahasa daerah yang satu dengan daerah yang lain walapun meraka berasal dari eka bahasa maka dikenalah melayu dialek ambon ,Jakarta disebut dialek betawi, atau bahasa melayu dialek medan.padahal bahasa yang digunakan sama .
- Dialek sosial yaitu dialek yang digunakan oleh masyarakat tertentu atau untuk menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dengan dialek remaja atau dialek para eksekutif dengan dialek rakyat dari kalangan biasa.
- Dialek temporal yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu terentu contohnya dialek pada zaman majapahit dengan dialek zaman sekarang. Pada zaman dahulu cara pelafalannya berbeda dan ejaannya pun berbeda.
Tradisi Lisan
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pemeliharaan dan pewarisan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti pemeliharaan dan penyampaian ilmu pengetahuan, adat istiadat, sejarah, filsafat moral, agama, kedudukan sosial, dan norma-norma masyarakat. Tradisi lisan menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama. Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali–panjang lebar dan berlebihan dalam bahasa – menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya. Cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 10 (2002).
Wayang Kulit
Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan berbagai suara dan bunyi-bunyian.
Mak Yong
Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan mulai abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya
- Didong
Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah bagian tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi musik sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari. Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan music khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan badan.
Tanggomo
Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo (ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita dengan semenarik mungkin.
Rabab Pariaman
Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera Barat. Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di depannya, lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar ia juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan. Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan berakhir tak lama sebelum salat subuh.
Pantun Sunda
Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional, seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan berpuasa selama beber apa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai bernyanyi.
Daftar Pustaka
Dyastriningrum. 2009. Antropologi Kelas XI : Untuk SMA dan MA Program Bahasa.Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Indriyawati, Emmy. 2009. Antropologi I : Untuk Kelas XI SMA dan MA. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Siany L., dan Atiek Catur B. 2009. Khazanah Antropologi 1 : Untuk Kelas XI SMA Dan MA.Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
https://blog.unnes.ac.id/anggraeni/category/antropologi-sma/