Setetes Rindu
Oleh: Ayom Indramayu
Seiring semakin gelapnya suasana langit, namun bukan halnya malam mengharap datangnya bulan dan bintang. Dalam hamparan ladang yang begitu luas. Angin berlaju kencang bersama suara rintik hujan yang mulai datang.Terlihat seorang gadis belia berjilbab merah jambu sedang memetik buah nangka muda. Ia tergesa-gesa untuk berlari menghampiri gubug tua untuk sekedar berteduh menahan dinginnya rintik air hujan yang semakin lama semakin merasuki sumsum tulangnya.
Brrreeesssss. . . . .!
Beberapa menit berlalu, hujan pun tak kunjung reda. Hari semakin enggan menampakkan mega disore hari.Terdengarlah teriakan seorang pemuda.
”Sri. .! Sri. .! Ayo lekas pulang denganku!”
”Sudah. .sudah terimakasih, Ku tunggu hujan reda saja!”
”Dengarkan aku Sri, ini kubawakan setangkai daun pisang, jadikan ini sebagai peneduh !”
Akhirnya gadis itu mengikuti permintaan pemuda itu. Ternyata pemuda itu
tak lain ialah sosok lelaki idolanya.
Beberapa menit saat perjalanan pulang, hujan pun tak kunjung reda. Dalam perjalanan Sri menggunakan kesempatan itu untuk berbincang-bincang dengan pemuda itu. Mengenal lebih detail lagi. Tampan, serta perhatian itulah suatu keistimewaan dari sosok pemuda yang diidolakan oleh Sriyati. Detakan jantung Sriyati, mengalahkan rasa gemetaran dinginnya air hujan yang merasuki sumsum tulang rusuknya.
’’Sri, sebenar nya ini hari apa ya?”
Tak satu pun kata terlontarkan dari gadis itu, seolah terdiam dan menghentikan langkah kakinya. Serentak terkejut dengan pertanyaan lelaki
idolanya itu.
”Sri. .jawab pertanyaanku!”
Gleegarrrrrr…! Terdengar suara petir dan langit yang menampakkan seberkas cahaya yang mengagetkan yang menjadikan perbincangan Sriyati dan pemuda itu terhenti.
”Yadi, sudah ku katakan ayo kita berteduh dulu !”
” Iya, iya tha Sri !”
Mereka berniat berteduh ke gubug tua di sebelah tanaman ilalang yang menari-nari menampakkan keelokannya yang begitu indah.
”Sri.., jawab pertanyaanku tadi !”
”Menjawab apa?”
”Ah, Kamu itu jangan berpura-pura lupa tha ?”
”Oh oh iya, sekarang itu hari Kamis, 21 Desember kan !”
”Berarti besok Hari Ibu ya ! ”
Tak satu kata pun terjawab dijawab oleh Sriyati seolah membisu dan tak mau tahu dariperkataan yang baru saja dikatakan oleh pemuda idolanya yang bernama Priyadi itu.Tetes air mataserta wajah bersedih yang Sriyati perlihatkan.
”Sri, Kamu kenapa kok tiba-tiba menangis?”
Dalam pikiran gadis itu teringatlah ia dengan peristiwa 3 tahun silam, dengan sosok pemilik 3 huruf itu. Rasa rindu yang ia rasakan. Rindu dengan belaian kasih dari sosok pemilik 3 huruf itu. Hati Sriyati layaknya tersayat pisau. Nafasnya terdesak bersama liur bibir yang begitu pahit, rasanya enggan untuk meludah, merasakannya pun tak ingin. Seperti Daun yang tua renta pasrah dengan gravitasi bumi, layu, lapuh, serta tak berdaya yang enggan melepaskan diri dari ranting pohon tetapi enggan juga bertahan dengan keadaan yang tidak memungkinkan. Kerelaan harus datang dari belahan lahir serta batin Sriyati sesaat mendengar perkataan dari sosok Yadi beberapa detik lalu.
”Maksud Kamu apa ! Menyindir Saya?”
”Bukan maksudku seperti itu, Sri!”
Perasaan Yadi yang semakin resah serta bersalah setelah ia mengatakan beberapa pertanyaan kepada gadis berjilbab merah jambu itu. Bermaksud akan memberi rasa hormat dengan seseorang serta membuat bahagia, akan tetapi semua tidak seperti yang diaharapkan. Kenyataannya semua berbalik 180 derajat. Menjadi suasana sedih, rasanya sulit untuk membuka bibir mungilnya sekadar menampakkan sepotong senyum manisnya. Sungguh tak sanggup berbuat apapun hanya tetesan air mata yang mengalir dengan sendirinya, tanpa sadar jilbab yang dikenakan Sri basah penuh dengan bekas aliran tetesan air matanya. Apalagi melanjutkan perbincangan tentang hari esok tepat pada kalender bulan Desember menampakkan angka kembar dari 2 yang dimilikinya, ya benar tanggal 22 Desember. Hari itu bertepatan dengan hari spesial menyangkut pemilik 3 huruf itu. Usaha demi usaha yang Yadi lakukan tapi entah tak sedikit pun jawaban apalagi respon yang ditampakkan oleh Sri.
”Sri dengarkan Aku, janganlah larut dalam sedihmu !”
”Hhhhmmm. . . .”
”Ayo Sri, tampakkan manisnya senyummu!”
Sri berusaha untuk membuka bibirnya seiring menampakkan gigi gingsulnya yang menampakkan aura kecantikan dalam dirinya. Bermaksud menutupi rasa sedihnya, dengan menghentikan tetesan air matanya bersamaan dengan berhentinya tetes hujan sore itu. Sri merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Rasanya ingin berbakti, menuruti permintaannya, melaksanakan perintahnya ingin juga mendengarkan do’a yang beliau lantunkan dalam menemani Sri meraih mimpinya, tapi semuanya sirna sejak kepergian pemilik tiga huruf itu. Memang semua tinggal kenangan, sebatas ukiran kasih sayang dalam hatinya. Sangat sulit bagi Sri untuk merelakannya apalagi sampai melupakannya. Sungguh pahit untuk dirasakan.
”Sri, untuk memberikan rasa sayang dan berbakti ayo, kita lekas pergi ke makam penawar rindumu itu ! ”
”Ide yang tepat itu, Yadi !”
Sri dan Yadi berniat untuk mengunjungi makam dari pemilik 3 huruf itu. Kepergian dari dari seorang itu yang menjadikan status baru dalam hidup Sri. Ya, Piatu. Sebutan seseorang anak jika dia kehilangan seseorang yang sangat vital dan bersejarah dalam hidupnya yang tak lain ialah seorang ibu.
Sudut kiri tepat di bawah pohon bunga kamboja yang mereka datangi. Sepi sunyi bersama angin lembut yang menyelimuti indra peraba mereka. Nisan yang berukiran 3 huruf, ya tepat sekali dari penghentian langkah kakinya untuk bersujud. Beserta berdo’a memohonkan ampunan kepada Ilahi Rabbi.
Aneh memang aneh penuh kejanggalan, penuh pertanyaan yang menyelimuti benak Yadi. Mungkinkah banyak cerita serta penjelasan dari Sriyati ? Yadi memberanikan diri untuk bertanya. Namun bukan bermaksud lancang, hanya sebatas ingin tahu jawaban dari pertanyaan yang muncul dalam benak Yadi.
”Sri, Aku merasa ada yang aneh dengan nisan yang kita kunjungi tadi. ”
”Aneh, memangnya kenapa ?”
”Nisan itu kan terukir nama seseorang kan ! Mengapa itu tertulis kata Ibu? ”
Sriyati menjelaskan dari sebagian dari rahasia hidupnya. Tiga huruf yang menjadikan munculnya seribu pertanyaan di benak Yadi. Ya, Ibu itulah satu kata yang terdiri dari tiga huruf itulah yang menjadi penawar rindu untuk Sriyati. Benar sekali, Istikharah Binti Umar. Tiga tahun silam sebelum Ibunda Sriyati menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau menganjurkan untuk memberikan ukiran kata ibu dalam nisan beliau. Sekadar tiga huruf penuh makna dan arti. Saat pertama ia membuka mata melihat cakrawala dunia ini serasa ada setitik cahaya dalam kegelapan dunia, yang menjadikan pusat perhatian, keteladanan, kasih sayang dari seorang ibu.
Yadi menganjurkan Sri untuk menuliskan seluruh kenangan manis dalam hidup Sriyati bersama ibunya, nanti malam.
”Allahu Akbar Allahu Akbar” Terdengarlah suara adzan maghrib dari sebuah masjid yang terlihat begitu tua dan usang. Menyambut datangnya malam, kelam terasa semakin jelas datangnya gelapnya dunia.
Malam hari Sri berniat untuk melakukan apa yang dianjurkan oleh Yadi. Ia mengambil secarik kertas dari buku tulisnya lengkap dengan sebuah pena yang berwarna hitam itu. Kenangan manis bersama ibundanya semua ia tuliskan tak ada yang terlewatkan sedikitpun. Sesekali ia meneteskan air matanya. Tidak terasa jam dinding dikamarnya menunjukkan angka 10, menandakan saat itu tepat pukul 10 malam. Tanpa sadar Sri tertidur bersama secarik kertas di tangannya dan pena yang digenggam di jemari mungilnya.
Hari telah larut malam, ibunda Sri memeluknya penuh rasa kasih, Kembali hidup bersama lalui hari dengan kebahagiaan tanpa resah, gundah ataupun masalah dunia sungguh indah. Sriyati berpamitan agar kelak kan melalui keberuntungan dan serta keimanan dalam menjalani kehidupan hendak menggapai mimpi. Lantunan do’a yang semakin jelas terdengar semakin menenangkan dan membangkitkan rasa semangatnya dari keterpurukan yang ia alami. Tidak lama lagi, ibunda Sri melambaikan tangan bersama sepotong senyumannya. Mimpi memang mimpi semua itu hanya mimpi manis semata yang semakin membakar rindunya kepada ibunda tercinta.
Pukul 00.01 serasa ia terbangunkan dengan suara yang datang dari jendela, perlahan-lahan ia mendekati arah datangnya suara itu. Semakin dekat terasa semakin jelas suara itu.
Nada nada yang indah, slalu terurai darinya, tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya, tangan halus dan suci tlah mengangkat diri ini, Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan, Oh bunda ada dan tiada dirimu, Kan slalu ada di dalam hatiku.Lagu itu merupakan lagu favoritnya. Bunda. Ya, benar itulah judul lagunya salah satu lagu yang dipopulerkan oleh Melly Goeslow. Lagu itu penuh dengan suratan isi hatinya. Terlihatlah setitik api dalam gelapnya kaca jendelanya Ia terus terbawa dengan titik api itu, ia memandang dengan serius tanpa memikirkan dengan rambut yang tak layak pandang itu, bergegas ia membuka jendela kamarnya.
Terasa indahnya dunia. Seiring datangnya sepotong senyuman manis dari Yadi. Dengan indahnya sekejab kedipan matanya.
”Terimakasih Yadi, Kamu selalu saja memberikan perhatian kepadaku.”
”Iya, iya, Sri.”
Aneh! tapi memang kenyataannya seperti itu, ada angka dalam lilin api itu. Angka 16 yang tertera di sebuah makanan khas dari daerah tempat tinggalnya itu. Gethuk lindri, ya benar itu namanya makanan khas dari Magelang, yang terbuat dari ketala pohon. Sungguh lezat!
”Selamat hari ibu dan Happy Birthday to you, Sri.”
”Ya Allah, Astaghfirullah Hal ’adzim” Sri tak menyadari jika angka dua bertemu dengan saudara kembarnya itu sudah datang menunjukkan angka 22 pada bulan Desember. Tanggal itu tepat dengan tanggal kelahirannya namun ia sungguh tak sedikit pun mengingat hari yang sangat spesial untuknya, selalu saja ia memikirkan tentang bagaimana cara berbakti pada ibunya? Bagaimana cara untuk membahagiakan bunda? Dalam benak Sriyati sempat terpikir apakah ia harus menitipkan rindu kepada satelit? Atau mungkin menitipkan surat kepada malaikat? Haruskah ia menyusul ke surga untuk menemui ibunya?
”Tidak!Tidak mungkin!” serentak Sri mengagetkan Yadi. Semuanya memang tidak mungkin kembali seperti sediakala. Itu hanyalah sebatas lintasan semata yang menemani khayalannya. Jarak sungguh memisahkan Sri, hanya melalui perantara sanubarilah Sri dan ibundanya berkomunikasi.
Sejenak Yadi mengagetkan Sri, menjadikan Sri dengan lantangnya menyebut kata ibu. Sri melamun. Pikirannya kosong layaknya secarik kertas yang belum tergores tinta. Sungguh, putih, bersih belum ternoda. Ingin sekali meneteskan tinta warna dalam kertas itu, lalui hari penuh warna. Ibu, ibu dan ibu yang ada dalam benaknya.
”Ibu, ibu! Sungguh Aku rindu!”
Yadi hanya terdiam saat Sri berkali-kali menyebut nama ibu. Seolah tak ingin tahu dengan perkataan Sri.
”Apa yang harus Aku lakukan Yadi, bantu Aku !”
Hanya terdiam, tak sedikit pun Yadi menanggapi pertanyaan Sri. Perasaan Sri semakin kesal dengan sikap Yadi yang dingin seperti itu. Sekejab Sri menutup jendela rumahnya.
Derr. .! Dengan sadis Sri menutup jendela kamarnya. Tanpa memperdulikan Yadi yang terkejut dengan suara itu. Sri merasa sangat kesal tapi juga merasa bersalah dengan sikapnya tadi. Sri segera menuju kursi tempat ia belajar. Tetesan air mata yang mengalir dalam pipi manisnya. Sri berpikir mengapa tidak ada seorang pun yang menyayanginya, ibu yang selalu ada untuknya telah kembali ke Rahmatullah, seorang sahabat yang biasanya selalu ada untuk melalui hari-harinya telah berubah. Sungguh tak sanggup untuk dihadapi.
”Ya Allah, tak pantaskah Aku untuk disayangi ?” berkali-kali Sri mengatakan kata-kata itu, sementara Yadi belum pergi jauh dari rumahnya sekadar lima langkah dari jendela rumahnya. Tepatnya di balik tanaman bunga bougenville itu. Setelah itu Yadi bergegas meraba saku celananya serentak mengambil hp untuk menuliskan sms untuk Sri.
Tri lili trilili! Suara itu terdengar menandakan ada sms di hpnya. Tertulis kata Yadi dalam layar hp. Ia tak ingin membuka sms itu. Beberapa menit berlalu Sri berubah pikiran untuk sekadar membuka sms itu tapi ia berniat untuk tidak membalasnya.
Sri, maafkan aku, percayalah padaku. Aku kan selalu ada untukmu. Aku mengerti dengan posisi kamu yang telah ditinggal oleh seorang ibu yang selalu sayang padamu, jangan jadikan rindu sebagai masalah dalam hidup ini, satu yang kuinginkan darimu melihatmu tersenyum tanpa tetes air mata dalam pipi manismu itu yang aku harapkan. Kata-kata itu yang dibaca dalam hpnya.
Sejenak Sri terdiam memikirkan sms itu. Dalam benak Sri, ibu dan ibu yang ia pikirkan meski ia bingung memikirkan sms dari Yadi.
”Ibu, kembalilah! Sri tidak menyadari dengan kata-kata yang ia ucapkan. ”Dengarkan Aku, Aku tahu kamu hanya bersembunyi di balik tanaman bougenville itu kan!”
”Meong meong” suara kucing yang sejenak menghentikan pertanyaan Sri.
Sekilas Yadi mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Sri, Yadi bersegera menuju Jendela kamar Sri. Mereka saling berjabat tangan hendak saling memaafkaan atas keegoisan sikap mereka. Saling menyadari sikap-sikap yang mereka lakukan. Tangis bukan suatu cara untuk mengobati kerinduannya terhadap ibunya. Tidak mungkin bias merubah kenyataan ini menjadi seperti sediakala. Lantas tak ada manfaat dari tetes tangis. Sri berjanji tidak akan pernah mengulangi untuk meneteskan air mata yang membasahi pipi manisnya.
”Tapi, Aku ingin meminta sesuatu padamu. Ijinkanlah kamu menjadi saksi untuk mendengarkan kata-kata ini dari mulutku beserta tetes terakhir dari mataku ini.”
”Siap! Tapi Aku mohon, itu tetes terakhirmu!”
”Ibu, akan kutunggu tibanya suatu hari nanti, janganlah engkau jemu dalam menantiku di pintu surga.” Sri dengan lantang meneriakkan kalimat itu, Bersama tetes terakhir di matanya. Rasa rindu seiring senyum manis yang datang dari raut wajah mereka berdua. Terasa dunia sungguh indah tanpa terbebani masalah. Rasa rindu yang abadi dalam menunggu tibanya suatu hari nanti.