Sejarah singkat mengenai empati dikemukakan oleh Stebnicki (2008), hal pertama mengenai istilah empati yang pertama kali dikonseptualisasikan oleh Theodore Lipps (1851-1914) dengan istilah jerman “Einfühlung” yang merujuk pada proses penyerapan secara penuh dalam suatu objek eksternal, atau memproyeksikan diri menjadi objek estetika seperti bentuk seni. Selanjutnya Lipps dan rekan-rekannya mengusulkan bahwa Einfühlung adalah emosi khusus yang dapat menjelaskan apresiasi seseorang untuk perasaan dan sikap pada orang lain. Lipps menggunakan istilah empati lebih pada konteks psikologis, pertama ia menerapkannya pada studi tentang pandangan ilusi dan kemudian ke proses dimana kita mengenal orang lain.
Selanjutnya pada tahun 1909, ekspresi empati menjadi lebih diterima untuk diterjemahkan dari istilah “Einfühlung” ke dalam Teori psikoanalitik atas saran Edward B. Titchener. Barrett-Lennard (1981) menyarankan bahwa E.B. Titchener sebagai seseorang yang memperkenalkan empati dari istilah “Einfühlung” setara dengan kata bahasa inggris “empathy”, hal itu memiliki arti dan kegunaan lebih lanjut dalam teori. Konsep empati mengalami kemajuan secara signifikan dalam praktek eksperimental dan klinis selama tahun 1940-an dan 1950-an melalui karya terpisah yang sering tidak diakui secara ilmiah dari Roy Schafer (1922-sekarang), Heinz Kohut (1913-1981), dan Ralph R. Sutandar (1911 – 1979).
Teori empati itu sendiri, dalam psikologi sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan afektif dari Lipps dan Titchener sampai pada Kohler (1929), yang merupakan salah satu dari yang pertama memperdebatkan empati pada ranah kognitif. Menurut Kohler, empati dari pada terfokus pada “perasaan kedalam”, empati lebih menekankan bagaimana memahami perasaan orang lain daripada berbagi/sharing dengan mereka. Pada waktu yang sama, dua ahli teori yang sangat berpengaruh lainnya, George Herbert Mead (1934) dan Jean Piaget (1932), menanggapi pertanyaan empati dan keduanya menawarkan pandangan yang menekankan aspek kognitif daripada emosional.
Mead (1934), menambahkan komponen kognitif yakni kemampuan untuk memahami, untuk empati. Hal itu penekanannya pada kapasitas individu untuk mengambil peran orang lain sebagai sarana untuk memahami bagaimana mereka memandang dunia. Mead melihat kemampuan anak mengambil peran sebagai kunci pembangunan sosial dan etis. Demikian pula Piaget, dengan penelitiannya tentang perkembangan fungsi kognitif anak, memberi kontribusi pada penekanan empati sebagai fungsi kognitif dan ide-ide apa yang dibutuhkan seseorang untuk bersikap secara pantas dan membayangkan peran orang lain (Piaget 1932, 1967).
Meskipun beberapa peneliti secara historis menekankan aspek afektif dan kognisi orang lain, istilah empati selalu mengemukakan gagasan mengenai bagaimana mengetahui tentang kesadaran orang lain, kapasitas seseorang untuk memperoleh pengetahuan dari sisi subjektif orang lain. Stein (1917, 1989), mengkonseptualisasikan empati dalam istilah yang lebih umum yakni “Empati adalah pengalaman kesadaran yang datang dari luar pada umumnya … Ini adalah bagaimana manusia memahami kehidupan psikis sesamanya”
Empati telah dibahas pada paruh pertama abad ini, namun hal tersebut tidak menjadi populer dalam psikologi sampai pada karya Carl Rogers (1959) dan Heinz Kohut. Rogers menawarkan dua definisi empati, pertama empati merupakan keadaan untuk melihat kerangka referensi internal orang lain dengan tepat dan dengan komponen emosional serta makna yang berkaitan dengan hal tersebut, seolah juga berada pada kondisi orang tersebut. Kedua, pada tahun 1975, Rogers menulis bahwa empati merupakan “proses” suatu keadan yang berarti : memasuki dunia persepsi orang lain dan secara menyeluruh memasuki dunia di dalamnya. Hal ini melibatkan kepekaan, dari waktu ke waktu, untuk merasakan perubahan makna yang mengalir dalam orang lain, missal rasa takut atau marah atau kelembutan atau kebingungan atau apa pun yang ia alami. Secara singkat, Rogers memandang bahwa empati merupakan suatu proses dalam memahami individu secara menyeluruh, memasuki kerangka internalnya, merasakan perasaan orang lain tanpa kehilangan jati dirinya.
Disamping Rogers, Kohut (1959) juga mengemukakan pandangannya tentang empati, yakni sarana psikoanalisis dalam mengumpulkan data. Definisi lebih jauh tentang empati, empati dianggap sebagai model ilmiah untuk meneliti keadaan mental dan mengklaim psikoanalisis yang harus membatasi diri untuk mempelajari keadaan mental. Terkait dengan konteks sosial, Kohut berpendapat bahwa empati adalah dasar dari segala interaksi manusia. Namun, ia menekankan bahwa empati merupakan bentuk pemahaman dan tidak harus menjadi bersikap bingung dengan sikap baik, baik hati, penuh kasih, atau mencintai. Bagi Kohut, empati tidak sempurna. Empati adalah sebuah proses yang dapat membawa kita ke hasil baik yang akurat dan tidak akurat. Dari pandangan keduanya mengenai empati, kedua ahli tersebut menekankan empati dalam proses konseling, namun fokus pandangan yang berbeda. Rogers menekankan sikap empati dalam menghadapi klien, namun Kohut menekankan pada proses pengumpulan data dalam pendekatan psikoanalitik.
Sejumlah pengertian lain tentang empati, diantaranya dikemukakan oleh Sigelman & Rider (2009), empati merupakan perwakilan dari mengalami perasaan orang. Meskipun bukan emosi tertentu, empati adalah proses emosional yang diyakini sangat penting dalam perkembangan moral.
Selanjutnya menurut Hurlock (1978), empati adalah suatu kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang tersebut. selanjutnya menurut Hughes et.al (2009), Empati adalah semacam sinyal sosial yang digunakan untuk membaca situasi sosial dan hubungan interpersonal, serta membantu seseorang melakukan tindakan. Dari beberapa istilah yang dikemaukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain sehingga berguna dalam mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan.
Seorang peneliti empati yang ditinjau dari kacamata social neuroscience Lamm & Decety (2006), mengemukakan beberapa variasi istilah empati, antara lain:
1) Kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka mental orang lain untuk memahami emosi dan perasaan -nya,
2) Suatu bentuk inferensi psikologis yang kompleks di mana pengamatan, ingatan, pengetahuan, dan penalaran yang dikombinasikan untuk menghasilkan wawasan ke dalam pikiran dan perasaan orang lain,
3) Respon afektif yang lebih tepat untuk situasi orang lain daripada untuk diri sendiri,
4) Respon emosional yang berorientasi pada orang lain, yang sebangun dengan kesejahteraan yang dirasakan orang lain,
5) Respon afektif yang berasal dari kekhawatiran atau pemahaman tentang keadaan emosi orang lain, dan kondisi yang mirip dengan apa yang orang lain rasakan serta apa yang diharapkan untuk dirasakan dalam situasi tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah empati yang dikemukakan peneliti tersebut menekankan pada aspek kognitif, afektif dan emosional, yakni berupa pemahaman dan respon afektif serta emosional terhadap apa yang dialami oleh orang lain.
Selama abad ke-20 istilah empati semakin banyak diterapkan pada hubungan antar manusia, dengan kurang lebih dua ranah yang muncul dalam menjelaskan konsep empati pertama mengacu pada komponen afektif dari empati, yang kedua pada komponen kognitif dari empati (Zoll & Enz, 2010) .
Perluasan komponen empati dipaparkan oleh Shamay-tsoory et al (2009), bahwa empati manusia adalah membangun psikologis manusia yang diatur oleh komponen baik kognitif dan afektif, menghasilkan pemahaman emosional. Jadi, konsep empati tidak terlepas dari konsep emosi dimana kedua domain tersebut saling tumpang tindih. Namun Goleman (2006) menyatakan bahwa “semua emosi adalah sosial”, karena relasi dalam interasksi sosial yang mendorong emosi tersebut muncul.
Melihat lebih jauh mengenai empati, dapat dilihat dari aspek-aspek empati secara umum, yakni aspek kognitif dan aspek afektif (Hall & Mast, 2007). Pada aspek kognitif ditekankan pada bagaimana seseorang mengambil perspektif dari orang lain. Untuk mencapai hal tersebut, maka seseorang harus memusatkan perhatiannya pada orang lain, membaca isyarat-isyarat ekspresif dan isyarat dalam konteks situasional serta mencoba untuk memahami reaksi target saat ini.
Proses ini dilakukan berdasarkan pemahaman individu mengenai ekspresi emosi secara umum, arti situasi, dan reaksi sebelumnya dari target. Selain itu juga ketepatan persepsional yang diperlukan. ). Empati kognitif dalam pengertian ini sangat erat terkait dengan konsep teori pikiran. Teori berarti pikiran (1) kemampuan untuk mengembangkan pemahaman tentang keadaan mental pada orang lain, yang tidak secara langsung diamati (misalnya untuk mengakui bahwa orang dapat mengekspresikan emosi tertentu sambil merasakan yang berbeda) dan (2) kemampuan untuk menarik kesimpulan terkait dengan perilaku orang lain dan reaksi yang akan datang.
Kemudian aspek afektif dari empati dititikberatkan pada proses di mana emosi individu muncul karena persepsi (sadar atau tidak sadar) internal target (baik emosi ataupun pikiran). Dengan demikian empati afektif dapat menjadi hasil dari empati kognitif, tetapi juga dapat tumbuh dari persepsi perilaku ekspresif yang segera transfer keadaan emosional dari satu orang ke orang lain (contagion emosional).
Perbedaan penting antara empati kognitif dan empati afektif adalah bahwa empati kognitif melibatkan pemahaman dari sudut pandang orang lain, sedangkan empati afektif lebih dari memahami tetapi juga berbagi perasaan.