Pola Sosialisasi – Pengasuhan Anak Rakyat Ngadas
Suku bangsa tengger berdiam di sekitar kawasan di pedalaman gunung bromo yang terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Persebaran suku tengger adalah di sekitar Probolinggo, Lumajang (Ranupane Kecamatan Senduro) Malang (Desa Ngadas Kecamatan Pancokusuma) dan Pasuruan.
Berbicara tentang Desa Ngadas, Desa Ngadas adalah sebuah desa yang terletak pada 1700 M dari permukaan laut, maka wajar saja jika desa ini merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa ini seperti gerbang menuju lautan pasir gunung bromo karena memang Desa Ngadas merupakan desa terakhir sebelum mencapai lautan pasir di gunung bromo. Mayoritas agamanya adalah Hindu Dharma dan masyarakatnya merupakan bagian dari suku tengger.
Sebenarnya jika di lihat oleh orang awam, Desa Ngadas sama halnya seperti desa-desa yang lain, hanya saja jalan menuju desa ini menanjak dan berkelok, namun ada suatu hal yang menaikan rasa keingintahuan saya, dari kendaraan yang berlalu lalang sesekali terlihat beberapa anak yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan yang tinggi. Kira –kira anak tersebut masih duduk di Sekolah Dasar karena postur dan wajah mereka yang masih kanak-kanak. Kemudian sesekali terlihat beberapa anak berjalan berbaris menggunakan pakaian adat dengan membawa makanan yang sekiranya adalah sesajen, mereka ( anak-anak ) tersebut dengan bahagianya melakukan hal tersebut, suatu keadaan yang jarang terjadi dimana anak-anak dengan mudahnya atau gampangnya mau melakukan upacara-upacara atau peribadatan. Tentu disini peran sosialisasi dan pengasuhan orangtua sangat kuat. Tetapi berbanding terbalik dengan anak-anak yang mengendarai motor tadi, pastinya orangtua mereka begitu saja membiarkan pergaulan mereka, atau memang anak-anaknya yang terbawa oleh pergaulan disekitar mereka karena memang di Desa Ngadas banyak anak-anak yang bergaul atau bermain dengan remaja yang mungkin usianya sekitar 16 tahun. Seperti yang di katakan oleh ibu Lilis yang notobene adalah warga Desa Wonokerto ( Desa yang berbatasan langsung dengan Desa Ngadas dan mayoritas agamanya 99% Islam ) ini, di Desa Ngadas memang aturan mengenai hal tersebut ( anak-anak yang mengendarai motor ) tidak terlalu di larang bahkan terkadang orangtua mereka lah yang membuat anak tersebut dengan bebasnya mengendarai sepeda motor. Seperti contohnya orangtua mereka menyuruh mengajak jalan-jalan adiknya si anak yang mengendarai motor atau anak tersebut di suruh mengantar sang orangtua untuk berjualan di lautan pasir atau di pananjakan. Sungguh tanpa orangtua sadari setelah itu si anak dengan bebasnya kebut-kebutan di jalan. Keadaan tersebut juga tidak jauh berbeda di Desa Wonokerto. Di desa tersebut juga ada beberapa anak yang bermain kebut-kebutan di jalan, malahan sampai ada yang mengalami kecelakaan dan patah tulang ( keponakan ibu Lilis ) , Namun setelah kejadian tersebut di Desa Wonokerto sudah dilarang keras dan mendapat teguran jika memang masih terlihat anak-anak yang bermain kebut-kebutan.
Pernyataan tersebut juga di dukung oleh jawaban dari beberapa anak yang bersekolah di SDN WONOKERTO. di sini memang hanya ada satu Sekolah Dasar, jadi anak-anak Desa Ngadas maupun Desa Wonokerto bersekolah di Sekolah yang sama ). Mereka bernama Lintang, Giovani, Danu . mereka bilang mereka sudah biasa mengendarai sepeda motor dan sering mengandarai sepede motor tersebut tanpa di dampingi oleh orangtua mereka. ( padahal mereka semua masih duduk di bangku kelas 4 SD ) , mereka juga mengakui jika waktu sore tiba, banyak yang jalan-jalan sore dengan sepeda motor bersama teman-teman yang lain.
Lain lagi dengan adanya upacara-upacara adat, mereka ( anak-anak desa ngadas khususnya ) dengan kesadaran sendiri megikuti upacara adat tersebut,tetapi dengan terlebih dahulu mengikuti orangtua mereka yang seyogyanya memang rajin dan taat dalam peribadatan. Biasanya saat sore setiap 1 minggu sekali , mereka saling menjemput teman-teman ( nyamper ) untuk bersama-sama pergi ke ganyang ( semacam sanggar ). Tak jarang juga mereka berdoa bersama-sama, atau bahkan ada sosialisasi dari tokoh desa untuk melibatkan anak-anak tadi dalam upacara-upacara adat tertentu.
Disini memang peran orangtua sangat penting dalam proses perkembangan si anak nantinya, seperti yang dituturkan oleh Indah ( Pelajar kelas 2 SMK ) , setiap malam sesudah belajar, ia dan adik-adiknya selalu di kumpulkan di ruang tamu untuk di berikan saran, motivasi mengenai proses belajar di sekolah maupun pergaulan dengan teman sebayanya. Hal itu tidak jauh berbeda dengan orangtua yang lain yang ada di Desa Ngadas pada khususnya. Seperti yang dikatakan oleh Indah, orangtuanya sangat membatasi pergaulan dengan lawan jenis, seorang perepmpuan dilarang terlalu dekat dengan seorang lelaki, orangtua mereka takut jika nantinya kebobolan ( hamil diluar nikah ) dan jika memang itu terjadi maka akan di adakan resik desa dan perempuan tersebut harus segera di nikahkan jika tidak maka akan membawa celaka ( saudaranya pasti ada yang meninggal, red: sudah pernah terjadi ).
Pola pengasuhan orangtua juga di dukung oleh adanya sosialisasi dari pemerintah Desa Ngadas, seperti misalnya sosialisasi program “Petek’an” yang di adakan setiap 1 bulan sekali. Petek’an adalah cara untuk mengetahui apakah seseorang sedang hamil atau tidak, program ini di tujukkan untuk masyarakat Desa Ngadas yang masih gadis, karena unuk mencegah terjadinya kebobolan tadi ( hamil diluar nikah ) . tetapi beberapa kali program Petek’an ini di ganti dengan dilakukannya pembagian testpec ( alat penguji kehamilan ) kepada gadis-gadis Desa Ngadas, dan seperti yang sudah dijelaskan diatas,apabila terjadi kebobolan akan di laksanakan resik desa dan perempuan tersebut akan segera di nikahkan.
Sosialisasi lain yang juga membantu pola pengasuhan anak yaitu di adakannya acara pelatihan dan pembelajaran mengenai tata cara upacara-upacara adat kepada anak-anak yang belum menginjak remaja oleh dukun adat atau biasa di sebut dukun pandita. Acara ini juga rutin di adakan 1 bulan sekali, dan wajib di ikuti oleh anak-anak Desa Ngadas. Hal tersebut lah yang membuat masyarakat Desa Ngadas sangat taat dalam beribadat dan melakukan upacara-upacara adat yang ada.
Tetapi, walaupun mereka mengerti agama begitu baik, tetap saja ada beberapa anak muda yang bertingkah melenceng dari ajaran agama, seperi judi,minum-minuman. Dahulu memang masyarakat Desa Ngadas menggunakan minuman tersebut untuk menghangatkan badan, mengingat udara di Desa Ngadas sangat dingin, namun hal tersebut sudah lama di tinggalkan. Seperti yang dikatakan oleh mas Agus, ada beberapa pemuda yang minum-minuman dan sudah di peringatkan beberapa kali tetapi masih saja melakukan, akhirnya samapai kejadian over dosis dan meninggal dunia, itu bukan lah kesalahan orangtua ataupun pihak desa, tetapi dari pemuda-pemuda itu sendiri yang tidak mau di nasehati akhirnya mereka sendirilah yang terkena imbasnya.
Awal pembentukan karakter kita memang dari pengasuhan orangtua, namun pada perkembangannya pasti di pengaruhi oleh lingkungan sekitar, jadi seberapa kuat iman kita sendiri untuk tidak terlibat dari hal-hal yang melenceng jauh dari norma dan agama.