BUDAYA BARITAN DESA JATILABA #1

Jatilaba adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Margasari, kabupaten Tegal di mana desa ini memiliki nama lain yaitu Jedug (nama pertama desa Jatilaba) dan mempunyai beberapa pendukuhan diantaranya Keplik, Jedug Wetan, Jedug Kulon, Wanalaba dan Limbangan. Kata Jedug diambil dari sejarah terbentuknya desa Jatilaba yaitu gabungan nama seorang laki-laki dan perempuan yang bernama judeg dan gudeg. Judeg dan gudeg hidup di suatu tempat atau desa yang tidak berpenghuni, mereka saling bertemu di desa tersebut dan membangun sebuah rumah tangga yang harmonis. Di sekeliling desa tersebut terdapat banyak pohon jati yang menghasilkan keuntungan bagi rumah tangga mereka. Dengan pohon jati, mereka mendapatkan keuntungan yang melimpah sehingga hidup mereka sangat berkecukupan. Setelah beberapa tahun lamanya, desa tersebut mulai banyak penduduk yang menempati dan akhirnya masyarakat yang menduduki desa tersebut memberi nama dengan sebutan desa Jedug sesuai nama pasangan yang pertama kali menduduki tempat tersebut. Namun, lama kelamaan desa tersebut berganti nama menjadi desa Jatilaba. Kenapa dinamakan desa Jatilaba? Karena desa tersebut dikelilingi pohon jati yang selalu memberi keuntungan (laba) bagi masyarakatnya dari dulu hingga sekarang.
Dari cerita mengenai sejarah desa Jatilaba tadi, nenek moyang di desa ini dari dulu sudah membentuk suatu kebudayaan. Salah satunya yaitu budaya Baritan yang sekarang masih dilakukan oleh masyarakat didesa ini. Budaya baritan desa Jatilaba, mungkin berbeda dengan budaya baritan yang ada di daerah lain. Beberapa daerah lain ada yang mempercayai budaya baritan sebagai budaya yang dapat mengabulkan sesuatu hal seperti menyembuhkan penyakit-penyakit. Tidak seperti daerah yang lain, desa Jatilaba mempercayai budaya baritan sebagai budaya yang bisa mendatangkan atau menurunkan hujan di musim kemarau yang panjang.
Saya sempat mewawancarai kepala desa Jatilaba, dia mengatakan beberapa hal keunikan dari budaya baritan. Keunikan dari budaya ini terletak pada waktu dan tempat pelaksanaannya yang telah ditentukan atau dirancang. “Budaya baritan desa Jatilaba ini sudah rutin dilakukan setiap setaun sekali dan itu kemauan masyarakatnya sendiri.Saya sebagai lurah hanya menuruti apa yang masyarakat mau. Biasanya budaya ini dilaksanakan setiap buhan Muharram (As sura) bulan ke 10 pada saat musim kemarau panjang. Pelaksanaan budaya baritan desa jatilaba dilakukan didua tempat dengan waktu dan acara yang berbeda,” ungkap kepala desa Jatilaba (bapak Nunung Purwadi).
Setelah bapak Nunung purwadi selaku kepala desa Jatilaba menjelaskan beberapa keunikan, namun ada yang belum dijelaskan. Saya yang begitu penasaran ingin tahu lebih jelas akhirnya bertanya, “ tadi kan Bapak mengatakan bahwa budaya baritan dilaksanakan didua tempat dengan waktu dan acara yang berbeda, itu tempat pelaksanaannya dimana dan waktu dan acara apa yang dimaksudkan ya pak?.” Kemudia Bapak kepala desa menjawab dengan tegas dan jelas,”jadi gini, masyarakat biasanya melaksanakan budaya ini didua tempat yang pertama di Balai desa dan yang kedua di Kuburan desa Jatilaba. Dikedua tempat tersebut memiliki acara tersendiri, di Balai desa biasanya masyarakat mengadakan acara selametan berupa tahlil dari jam 10 malam. Kemudian, keesokan harinya masyarakat mengadakan acara pewayangan di Kuburan desa jatilaba dari jam 8 pagi sampai waktu sore.” Begitulah Bapak kepala desa menjelaskan waktu dan tempat serta acaranya.
Kepala desa menceritakan isi acara pada pewayangan, Dia menceritakan bahwa pada acara ini ada hal yang unik yaitu ketika pewayangan dimulai ditengah-tengah cerita ada semburan air yang merupakan arti hujan yang besar. Diacara ini juga ada hal yang wajib dilaksanakan oleh dalang, dalang yang memainkan wayang diwajibkan puasa 40 hari sebelum manggung. Diacara pewayangan katanya dimainkan oleh pemain yang sangat komplit alias lengkap dan seluruh wayang dipasang. Banyak warga mulai dari anak-anak hingga orang tua berbondong-bondong ke Kuburan untuk melihat pertunjukan wayang. Saya pernah nonton pewayangan ini sewaktu masih kecil sekitar umur 10 tahun dan merasa puas dan senang setelah menonton acara ini.
Terkadang kepercayaan ini terjadi hujan setelah kebudayaan ini berlangsung. Entah itu hanya kebetulan atau emang dari kebudayaan ini. WALLAHU A’LAM..