Semua Akan Indah Dengan Puisi #5
Beberapa minggu yang lalu saya menjadi juri lomba “Puitisasi Alquran”. Pada mulanya saya mengira bahwa ini lomba tulis puisi yang terinspirasi dari ayat Alquran. Namun panitia mengatakan ini lomba baca puisi. Saya mengiyakan tanpa banyak tanya tentang teknis lomba (karena saya sudah pengalaman teknis lomba baca puisi). Sesampainya di tempat lomba, ternyata peserta lombanya adalah “santri” Madrasah Diniyah Kabupaten Kendal. Lalu, saya bertanya kepada panitia materi puisi yang dijadikan lomba. Namun, panitia tidak menyediakannya. Katanya materi puisi dibawa sendiri oleh peserta. Sampai pada titik ini, akhirnya saya bertanya tentang format lomba “Puitisasi Puisi” ini. Ternyata ini adalah lomba membaca terjemah Alquran (sari tilawah) dengan pembacaan yang puitis. Karena saya tidak ingin repot-repot tentang penggunaan istilah “Puitisasi Alquran”, saya mengiyakan untuk langsung saja lomba dilaksanakan.
Peserta pertama tampil dengan membaca terjemah surat Al-Zalzalah. Dengan perhatian penuh, saya menikmati pembacaan seorang anak yang umurnya taklebih dari 10 tahun. Ia membaca dengan lantang dan artikulasi yang jelas. Peserta kedua membaca terjemah surat Al-Alaq. Kali ini ia membaca dengan nada yang halus, penuh penjiwaan, dan fokus mata yang luar biasa. Keterpukauan saya ini berlanjut sampai peserta selanjutnya.
Lomba ini menyadarkan saya bahwa apapun bisa dibaca secara estetis puitis. Sari tilawah yang selama ini dibaca secara “biasa” kali ini ditampilkan secara puitis dan estetis. Saya nyatakan ini “GILA”. Bayangkan, yang dibacakan oleh mereka adalah firman Allah SWT. Menurut saya sebuah firman harus dibaca secara syahdu agar kesan yang muncul pun “khusuk”. Namun anggapan saya ini terbantahkan oleh saya sendiri. Ternyata cara pembacaan sari tilawah yang “seperti ini” mempunyai efek yang lebih dahsyat dari pada sekadar dibaca biasa.
Berdasarkan pengetahuan saya tentang seni baca puisi, yang terpenting dalam sebuah seni pertunjukan puisi adalah ketersampaian pesan. Keteresampaian pesan ini dapat dilakukan dengan teknik produksi suara, kelantangan suara, artikulasi, intonasi, dan teknik bina klimaks-klimaks. Semua teknik itu akan membangun suasana agar pesan dapat tersampaikan secara sempurna.
Nah, “Puitisasi Alquran” ini mempunyai efek tonjok yang luar biasa. Bayangkan ketika seoarang anak kecil membaca Al-zalzalah (kegoncangan) “Apabila bumi digoncangkan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya, dan manusia bertanya mengapa bumi jadi begini? Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang seperti itu kepadanya, pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” Q.S Al-Zalzalah 1-6.
Saya teringat pada “Tadarus” Gus Mus, yang hampir sama menyajikan ayat-ayat alquran dalam bentuk pertunjukan puisi yang sangat menyentuh. Masih juga teringat jelas, Nana Rhiski Susanti, (17 Agustus 2010) membaca pembukaan UUD 1945 dengan gaya puitis. Kalian tahu? Efeknya juga luar biasa. Memang terdengar aneh bagi beberapa orang, tetapi disadari atau tidak, mereka menyimak sepenuhnya dari awal pembacaan sampai akhir. Ini mungkin saja tidak terjadi jika pembukaan UUD 45 dibacakan secara “kaku” seperti biasa, bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Pada titik ini saya sepenuhnya sadar bahwa semua bisa dibaca secara puitis. Iya, Semua! Firman tuhan saja bisa, kenapa tidak dengan karya manusia? Jika kalian sudah bosan dengan pembacaan teks pancasila yang begitu saja, atau jika kalian suntuk dengan pembacaan pembukaan UUD 45, kalian boleh memodifikasi sajiannya. Asalkan, pesan (makna/maksud) tersampaikan dengan sempurna!
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
Tinggalkan Balasan