Masyarakat Jawa dahulu merupakan etnis yang keras dan menjadi “bangsa” penakluk, namun karena pergeseran kebudayaan akhirnya menjadikan masyarakat Jawa menjadi masyarakat yang budayanya halus dan penuh sopan santun. Budaya memiliki peran atau fungsi sebagai penuntun, pengarah atau pemaksa bagi masyarakat. Budaya kekerasan dalam hal ini adalah system gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yang kemudian menjadi pedoman dan penuntun bagi masyarakat dalam melakukan tindak kekerasan.
Inspirasi gagasan kekerasan bisa saja bersumber pada nilai-nilai dan etika Jawa, misalnya sanjungan dan pemujaan kepada panglima perang atau ksatria. Jiwa kepahlawanan, pertumpahan darah, adu kesaktian, dan pengorbanan nyawa seakan menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dalam budaya jawa. Dalam hal ini nilai-nilai dan etika jawa juga ikut berperan dalam memahami kekerasan tersebut.
Nilai-nilai adalah alat ukur yang menjadi kesepakatan dan menjadi dasar dalam melihat sesuatu itu bisa dikatakan baik atau buruknya. Etika adalah suatu hal yang berkaitan dengan kepantasan atau kesopanan, apakah sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak. Menurut Franz Magnis Suseno(1993) mengemukakan bahwa nilai dan etika masyarakat Jawa terintergrasi kedalam tiga prinsip yakni hormat, rukun, dan isin. Tiga konsepsi nilai-nilai dan etika Jawa itu pada saat tertentu merupakan sebuah kondisi yang nyata yang diwujudkan dalam sikap hidu sehari-hari. Akan tetapi pada saat yang lain hal itu bersifat abstrak yang hanya dicita-citakan yang ternyata berbeda dengan realitas masyarakat.
Kekerasan dan peperangan pada masa kerajaan Jawa ditandai dengan hadirnya kekuatan kapitalismes asing VOC kedalam lingkaran kekuasaan Mataram yakni pada masa peralihan Sunan Amangkurat I kepada Sunan Amangkurat II dengan membantu mengusir pemberontakan pasukan Trunojoyo, maka Mataram memasuki babak baru.
Masuknya kolonial Hindia Belanda merusak sistem kekuasaan Mataram. Mc Ricklefs (2000:59-62) mengatakan bahwa susuhunan Pakuwubono II lemah dan rapuh. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya berbagai konflik. Salah satunya pada perjanjian Giyanti 1755 M tanah Jawa diwarnai oleh kekerasan dan peperangan yaitu perang diponegoro atau perang Jawa 1825 M. setelah perang itu padam dengan bantuan Belanda, seluruh Jawa berada dalam kontrol Belanda. Kondisi ini memunculkan Negara baru yakni colonial state yang bernama Hindia belanda. Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta dimanfaatkan untuk menjadi kepanjangantangannya.
Keadaan Kraton Yogyakarta dan Sultan Hamengkubuwono masa sekarang tentu mengalami perubahan. Secara politis dulu Sultan adalah raja dan kepala Negara yang memiliki otoritas untuk mengatur kerajaannya walau masih berada dibawah baying-bayang kekuasaan kolonial Belanda. Sekarang ini yang menjadi raja kraton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X (HB X). dua peristiwa di jalan Solo dan di jalan sekitar Wirobrajan kota Yogyakarta menjadi saksi munculnya Sultan HB X. pada saat itu Sultan juga sedang nglakoni. Nglakoni atau taa brata adalah sebuah proses dimana si ego itu menahan diri seperti puasa, menahan diri untuk tidak tidur siang maupun malam dan menahan diri dari aktivitas tertentu. Hal ini dilakukan karena beliau mempunyai keinginan untuk mendukung gerakan reformasi agar sukses dan berjalan damai.
Munculnya Sultan HB X bisa mencegah kekerasan dan amok massa di Yogyakarta. Amok massa dengan melakukan pembakaran dan pembunuhan seperti yang terjadi di Jakarta dan Surakarta serta dikota lain membuat khawatir warga Yogyakarta. Amok massa itu mengancam jalannya reformasi dan dengan adanya amokan massa itu terjadinya stagnisasi atau komandegan reformasi. Hal itu yang membuat aktivis Yogyakarta kemudian menyiasati gerakan massa20 mei 1998 berlangsung di Yogyakarta dengan sukses dan damai.
Brata (2003) mengatakan bahwa ketika sudah terjadi kesepakatan antara pihak kraton dengan sebagian elemen gerakan massa bahwa tempat berlangsungnya gerakan massa tersebut dipimpin oleh Sultan HB X, maka muncul istilah pisowana ageng untuk menamai gerakan massa itu. Pisowanan ageng merupakan peristiwa yang bersejarah pada massa bergulirnya wacana mewujudkan reformasi di Indnesia. Peritiwa gerakan massa pisowana ageng disebut juga sebagai suatu people power yang memiliki dua makna yakni sebagai penggulingan regim dan people power sebagai kekuatan rakyat untuk memaksa pemerintah untuk turun.
Dalam gerakan pisowanan ageng hadirnya simbol-simbol bermakna yang bisa kita perhatikan apabila dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Hal ini digambarkan pada pertunjukan tari bambangan cakil. Perang dalam brambanagan cakil itu merupakan symbol kekerasan yang berujung pada pertarungan antara dua kutub kehiduan manusia yang tidak pernah akrab, yaitu kutub alus dan kasar. Arjuna adalah symbol watak dan perilaku alus dan cakil adalah symbol watak perilaku kasar. Kasar dicirikan dengan kekuatan fisik, penampilan sangar, banyak bicara, banyak melakukan gerakan yang tidak perlu dan agresif serta menyukai kekerasan. Watak alus itu adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, tapa brata dan usaha sungguh-sungguh. Watak kasar itu adalah watak dasar manusia sehingga untuk memilikinya tidak perlu usaha apapun.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya kekerasan itu juga diwariskan secara tradisi dari generasi ke generasi dalam ranah budaya Jawa. Budaya kekerasan disosialisasikan dengan sikap menyanjung dan memuja jiwa kepahlawanan dan jiwa ksatria. Wayang kulit dan wayang wong menjadi media paling jitu untuk mensosialisasikan kekerasan. Cerita Brata Yuda dengan kekerasan, peperangan dan pertumpahan darah menjadi cerita populer masyarakat Jawa. Hal ini bisa menjadi inspirasi gagasan kekerasan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Isi postingan sangat bermanfaat kakak, namun dalam struktur penulisannya lebih dirapikan lagi dan disertai foto supaya menarik.