Sebelum abad X M, pusat-pusat kekuasaan di Jawa berada di sekitar wilayah persawahan yang subur di pedalaman bagian tengah pulau ini. banyak bangunan yang spektakuler di wilayah ini, yakni candi Borobudur dan Prambanan.
Pada abad X M, pusat kekuasaan bergeser ke timur, kemudian pada awal abad XIII M ke Singasari, sebuah kota yang terletak di ujung barat penggunungan Tengger. Pergeseran ke timur ini mungkin berkaitan dengan semakin meningkatnya perdagangan rempah-rempah dengan pulau-pulau di IndonesiaTimur, di masa para penguasa Jawa Timur bertindak sebagai pialang, seperti spekulasi Schrieke (1975, 2:301). Perpindahan itu mungkin juga akibat dari larinya petani Jawa Tengah yang ingin menghindari kerja paksa membangun berbagai monument di sana.
Data yang paling menarik mengenai penggunungan Tengger terdapat dalam kitab Negarakertagama yang menceritakan tentang kunjungan ke daerah pedalaman oleh Hayam Wuruk, raja yang memerintah Majapahit pada puncak kejayaannya (Pigeaud 1962). Perjalanan raja mengitari penggunungan Tengger dan sesekali singah di wilayah lereng tengah. Misalnya rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas, Probolinggo, melakukan upacara keagamaan di kuil setempat serta menerima upeti dari komunitas budhis, tiga diantaranya terletak di dekat masyarakat yang masih ada hingga sekarang.
Arti pengting penggunungan Tengger bagi agama Majapahit menimbulkan pertanyaan tentang apa persisnya hubungan antara tradisi lama ini dengan masyarakat “Tengger” bukan islam yang kini tinggal di lereng atas. Karya J. E. Jasper (1962) mengenai Tengger masa kini menunjukan pesimisme. Ia menyatakan bahwa zaman dahulu penduduk di lereng atas merupakan sebuah kantong penduduk yang memisahkan diri dari masyarakat Jawa yang lain. “penduduk penggunungan Tengger tampaknya telah membangun sebuah komunitas tersendiri yang menyembah roh gunung di beri nama India Brahma” (Pigeaud 1962, 4:244)
Untuk memahami politi dan komunitas di masa pra-modern di Tengger, informasi yang kabur ini memiliki arti yang sangat penting, menunjukan bahwa sejak dahulu penduduk penggunungan dan mereka yang tinggal di daratan rendah mempunyai ikatan cultural yang kuat, berbeda secara mencolok dengan banyak wilayah di Asia Tenggara dimana penduduk penggunungan memiliki identitas kesukuan dan keagamaan yang berbeda dengan penduduk daratan rendah yang di dominasi Negara (Leach 1954; Keynes 1977,27). Bahkan di zaman Majapahit, Negara yang berpusat di daratan rendah menyebarkan pengaruh yang besar atas berbagai masalah di daratan tinggi.
Setelah mencapai puncaknya di abad XIV M, Majapahit runtuh karena munculnya Negara-negara merkantil islam di dunia barat dan tengah dunia melayu. Kejatuhan Majapahit menandai dimulainya proses islamisasi di wilayah timur Jawa yang panjang dan tak merata. Pusat perlawanan yang paling menonjol adalah kadipaten kecil di Blambangan di ujung timur pulau Jawa. Kerajaan Mataram yang agraris dan terletak di pedalaman tampil berkuasa dan akhirnya menguasai pelabuhan dagang di pesisir utara. Para pujangga keratin juga menghidupkan kembali unsure-unsur estetik dari masa sebelum islam (Ricklefs 1974) dan menciptakan banyak bentuk ritual khas yang dikaitkan denagn islam-kejawen.
Perubahan sosial di bawah pemerintahan colonial
Para pejabat Belanda mengunjungi Pasuruan pada abad XVIII M menyaksikan suatu wilayah yang kaya akan sumber daya ekonomi namun miskin dengan apa yang diperlukan untuk memenuhi janji mereka kepada bangsa Eropa yakni suatu angkatan tenaga kerja yang menetap dan dapat dikendalikan. Upaya Belanda membangun kembali ekonomi setempat terbantu oleh pembangunan di Jawa secara keseluruhan. Para penguasa pribumi yang sekarang bekerja dibawah Belanda di ujung timur Jawa memanfaatkan perpindahan penduduk itu dengan menampung mereka di wilayahnya. Daerah penggunungan awalnya sedikit terpengaruh oleh imigrasi ini. namun demikian pejabat gembira melihat hasilnya. Produksi di wilayah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun sebelum 1830. Sekalipun harga kopi dunia merosot pada tahun 1823 (Furnivall 1944:96). Sebelum diberlakukannya system tanam paksa yang terbesar di Asia, wilayah pedalaman jawa sudah terjebak ke dalam cengkraman pemerasan yang kuat. System tanam paksa kopi sanagt menguntungkan di daerah penggunungan priangan kemudian di perluas ke daerah Jawa Timur dan Tengah. Belanda memperkenalkan tanaman komersial, namun dua jenis tanaman yang paling berhasil selama system tanam paksa adalah kopi dan gula.Pada puncak tanam paksa, jumlah petani yang di mobilitasi untuk penanaman kopi melampaui jumlah yang terlibat dalam penanaman tebu, kadang-kadang tiga banding satu. (White 1983,28)
Pasuruan di masa colonial
Dampak kolonialisme di Pasuruan abad XIX M sama dengan pola yang berlaku di seluruh pulau Jawa, yang menunjukan bahwa politik dataran rendah mendominasi evolusi di daratan tinggi. Pemberlakuan tanam paksa telah menggoncangkan wilayah-wilayah yang ditanami tebu sedemikian rupa, sehingga jumlah penduduk di sana menurun dalam empat tahun pertama usia program (Elson 1978a, 26). Perpindahan penduduk itu menunjukan bahwa pada tahun pertama tanam paksa, beban kerja paksa lebih berat di wilayah yang diatanami tebu daripada di wilayah lain (de Vries 1931, 1:99). Pasuruan tidak mengalami bencana separah wilayah lain di Jawa yang berada di bawah system tanam paksa. Kabupaten ini tidak pernag mengalami paceklik seperti yang terjadi di Jawa tengah pada 1840-an (Furnivall 1944, 138;de Vries 1931, 1 :94)
Tanam paksa secara lebih konsistem mendukung kepentingan capital Eropa daripada kepentinagn orang Jawa. Walaupun tanam paksa menggerogoti sejumlah aspek hierarki pedesaan, namun ia menguatkan aspek lain. Sekalipun kesenjangan ekonomi meningkat, namun itu bukanlah akibat dari tumbuhnya tenaga kerja bebas atau aktivitas kerja di Pasar. Banyak tenaga kerja yang di mobilisasi dalam perusahaan pemerintah adalah karena dipaksa, bukan pilihan bebas. Negara memonopoli pasaran tanah, untuk menjamin dirinya mendapatkan otoritas terakhir untuk mengatur. Metode pemaksaan ini sama dengan di daerah-daerah lain di Jawa (Geertz 1963a, 56; Van neil 1972,99). Menjelang tanam paksa tahun 1828, kecamatan Tengger hanay di huni oleh 2.024 penduduk yang kebanyak diantaranay adalah orang Jawa Tengger beragama Hindu dan tinggal di bagaian atas yang sulit di jangkau.
Infrastruktur yang berkembang
Perubahan dalam pertanian hanyalah satu dari serangkaian perkembangan yang mengubah bentuk wilayah pedalaman pasuruan abad XIX M. pada abad XVIII M, satu-satunya jalan untuk transportasi umum di seluruh kabupaten adalah antara kota Pasuruan dan Bangil. Pada abad XIX M, Tosari menjadi tempat peristirahatan penting bagi orang Eropa. Terdapat tiga pengianapan di Tosara dan satu di Ngadiwono yang berdekatan denagn berbagai akomodasi untuk lebih dari dua ratus tamu.
Pada tahun terakhir abad XIX M, inkorporasi daerah penggunungan dengan ekonomi politik internasional semakin kuat. Undang-undang Agraria 1870 telah membuka “lahan-lahan sisa” bagi wiraswasta Eropa, yang diberi hak sewa hingga 75 tahun. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan undang-undang hak sewa pada tahun 1899 yang mengatur kembali perbatasan desa, dan menyatukan kembali desa-desa kecil menjadi wilayah administrasi yang lebih besar. Di pasuruan proyek pemukiman kembali ini memakan waktu hamper dua dasawarsa. Berbagai perkembangan pada abad XX M, mencerminkan konsekuensi dari revolusi inkorporatif ini, menghadirkan tantangan baru kepada penduduk penggunungan yang dulu terpencil ini.