Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Wednesday, November 09th, 2016

Hiba mengajarkan anak penderita Sindrom Down yang juga memiliki mimpi yang sama dengannya, yaitu menjadi guru.

Hiba Al Sharfa, seorang penderita “kebutuhan khusus” Sindrom Down di Jalur Gaza, telah membuktikan bahwa Sindrom Down tidaklah menjadi hambatan untuk meraih cita-citanya. Hiba berhasil menjadi guru pertama pengidap Sindrom Down setelah usaha keras seumur hidup untuk mencapai mimpinya.

Hiba mengajar di Right to Live, sebuah LSM di Jalur Gaza yang mendukung dan peduli terhadap anak-anak dengan Sindrom Down. Ia bekerja untuk membantu mendidik dan merehabilitasi anak-anak dengan kondisi tersebut, dengan tujuan membantu mereka berintegrasi ke dalam sosial masyarakat mainstream.

Laporan berita mengatakan bahwa Hiba Al Sharfa memiliki kedekatan yang baik dengan siswa dan mampu untuk lebih memenuhi kebutuhan para siswa karena Hiba mengerti pengalaman para siswa karena menderita “kebutuhan khusus” yang serupa dengan dirinya. Lebih dari 400 anak-anak dididik di LSM tersebut yang telah berpartisipasi dalam kelas-kelas yang mengajarkan tari, kerajinan, dan keterampilan hidup.

Nabil Aljaneed, direktur Pusat Rehabilitasi di Gaza, mengatakan masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam mendukung orang-orang dengan Sindrom Down di Gaza. “Kami telah melakukan berbagai lokakarya dan program kesadaran bagi masyarakat lokal, karena jujur saja sampai saat ini, kesadaran dan pengetahuan masyarakat setempat sangat minim ketika harus menerima anak-anak dan orang-orang muda yang memiliki gangguan ini,” katanya.

Sindrom Down adalah suatu kondisi kelainan genetik yang menyebabkan berbagai tingkat ketidakmampuan belajar.

Sumber : https://www.middleeastupdate.net/guru-pengidap-sindrom-down-pertama-di-gaza-dihargai-di-kelas-layaknya-guru-normal/

• Wednesday, November 09th, 2016

Setiap anak yang lahir ke dunia adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan baik. Bagaimanapun kondisi dan keadaan si bayi saat dilahirkan, mereka tetap akan membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Tidak terkecuali bagi anak yang terlahir dengan mengidap down syndrome.

Sebagian besar keluarga menganggap hadirnya bayi down syndrome di tengah-tengah kehidupan mereka dapat menimbulkan masalah, terutama bagi kedua orangtuanya. Karena mereka pastinya akan membutuhkan perlakuan khusus di setiap tumbuh kembangnya nanti. Sehingga banyak orang tua yang trauma secara emosional dan kemudian tega melakukan penolakan dengan membuang bayinya atau menitipkannya ke panti asuhan.  Namun, tidak sedikit juga orangtua yang gigih dan telaten mendidik dan merawat anaknya yang mengalami down syndrome sampai si anak bisa menjadi lebih mandiri dan bahkan berprestasi di bidangnya.

Anak dengan down syndrome memang memiliki kekurangan dalam perkembangan otak kirinya, namun otak kanannya berkembang dengan cukup baik. Karena itu, sangat dibutuhkan peran besar orangtua dalam membantu, mengarahkan, dan membekali perkembangannya secara optimal.  Berikut beberapa kisah anak berkebutuhan khusus yang sukses meraih mimpi dan menjadikan down syndrome bukan sebagai halangan bagi mereka untuk berprestasi.

1. Stephanie Handoyo, anak penderita down syndrome berusia 18 tahun yang berhasil memecahkan rekor MURI sebagai pemain piano yang mampu membawakan 23 lagu berturut – turut dalam sebuah acara musik di Semarang Jawa Tengah.

p28-a_57.img_assist_custom-470x627                              Dokumentasi Gambar The Jakarta Post, 19 Juli 2012

2. Katie Henderson, seorang fashion illustrator berusia 30 tahun yang terlahir down syndrome, namun tidak membuatnya berhenti dan patah semangat dalam berkarir.

ARC_Giclees                                   Dokumentasi Gambar misskatieskreation.com

3. Reviera Novitasari, seorang anak perempuan yang yang berhasil menujukkan bahwa ia berbeda dengan anak-anak down syndrome lainnya dengan berhasil mendapatkan medali perunggu renang 100 meter gaya dada pada kejuaraan renang internasional di Canberra, Australia, 11-13 April 2008.

2049364p                                   Dokumentasi Gambar kompas.com

4. Samuel Santoso, seorang anak berkebutuhan khusus yang sukses memperoleh penghargaan dari MURI sebagai pelukis penyandang down syndrome yang pertama menggelar 50 karya lukisan dalam pameran lukisannya.

0000358547                                      Dokumentasi Gambar kapanlagi.com

5. Michael Rosihan Yacub, remaja berusia 20 tahun yang berhasil meraih rekor MURI dengan menjadi satu-satunya pegolf muda yang memiliki down syndrome dan bertanding melawan para pegolf normal. Ia mampu mendalami olahraga golf yang membutuhkan konsentrasi tinggi dengan IQ hanya 35.

id100124dna01                                Dokumentasi Gambar indonesia.sinchew.com.my

6. Lauren Potter,  Anak perempuan penyandang down syndrome dari Amerika yang berhasil menjadi artis dan berperan dalam beberapa film besar, seperti Glee.

laurenpotterbio-32343440                                                                Dokumentasi Gambar wetpaint.com

7. Tim  Harris, remaja laki-laki yang memiliki down syndrome, namun berhasil membangun bisnis restorannya sendiri.

tim-harris-440                                            Dokumentasi Gambar people.com

Down syndrome bukanlah penghalang bagi mereka untuk berprestasi.  Seperti yang telah kami ulas di dalam artikel kami lainnya yaitu “Down Syndrome: Keterbatasan atau Kemungkinan?” , bahwa dengan pendekatan yang tepat, semua anak bisa berkarya sesuai dengan potensi mereka masing-masing.

sumber : https://ibudanmama.com/topik-hangat/10-anak-syndrome-yang-menakjubkan-dunia/

• Wednesday, November 09th, 2016

Sinar mentari menghangatkan udara pagi itu. Rumput-rumput masih basah bekas hujan semalam. Halaman depan sekolah itu agak becek di beberapa bagian yang tak berumput. Ada yang baru datang, berseragam merah putih dan menggendong tas. Ada yang sedang menggambar di ubin sekolah dengan kapur berwarna. Beberapa anak nampak asyik bermain ayunan dan berkejaran saling menggoda. Lainnya asyik “mengobrol” dengan gerakan isyarat tangan.

Bila kita perhatikan, siswa-siswa di sekolah itu beragam usianya. Dan memang sekolah itu mencakup jenjang TK sampai SMA. Ada yang masih berusia anak-anak, beberapa remaja, dan bahkan remaja tanggung belasan tahun. Perbedaan lainnya dibandingkan sekolah lain adalah jumlah murid sekolah itu tidaklah banyak, hanya 50-an anak. Keistimewaan lainnya adalah sekolah itu hanya menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus, sepanjang tahun tak peduli itu awal tahun ajaran atau bukan. Misalnya mereka yang tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita, dan autisme. Ya, sekolah itu adalah Sekolah Luar Biasa (SLB).

Bapak saya mengabdikan dirinya sebagai guru di sekolah itu sejak beberapa tahun lalu. Sebelumnya Bapak mengajar di sekolah luar biasa di kecamatan lain. Pernah saat saya kecil, mungkin belum genap 5 tahun, saya diajak Bapak ke tempat beliau mengajar. Pertama kali saya bertemu mereka, anak-anak yang berbeda dengan teman-teman saya, jujur, membuat saya takut saat itu. Saya yang biasanya pemalu, semakin bingung mengajak mereka berkomunikasi. Tetapi Bapak bisa memahami hal itu. Tapi paling nggak itu pengalaman pertama saya melihat murid-murid Bapak.

Bapak mengatakan bahwa mereka istimewa, hanya saja membutuhkan pengajaran dan bimbingan yang khusus dan berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mengapa? Karena mereka membutuhkan hal-hal yang berbeda dengan anak-anak biasa. Karena membutuhkan pengajaran khusus, pastinya sang guru juga harus memiliki keahlian khusus untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Bukan hanya kemampuan mengajar, namun juga rasa tulus dan menyayangi mereka.

Bapak kadang bercerita bagaimana kisah hidup Bapak dalam mengajar di SLB. Selama 28 tahun mengajar, banyak kisah suka dan duka menjadi guru SLB, kata beliau. Bila di sekolah biasa umumnya murid menghormati guru, bukan sekali dua kali Bapak hampir dipukul oleh siswanya. Siswa-siswa Bapak memang memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dan unik, termasuk suka memukul, entah itu teman atau guru. Butuh ketegasan sekaligus kelembutan dalam menangani siswa seperti itu. Lain lagi pengalaman lain. Pernah suatu hari, seorang laki-laki datang ke sekolah, menagih uang. Ternyata siswa bapak membeli makanan di warung tanpa membayar. Si pemilik warung pun mendatangi sekolah, dan sang guru yang membayar hutang tersebut. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman nggak enak kayak di atas tidaklah berbanding dengan kebahagiaan Bapak mengajar mereka. Melihat anak-anak itu bisa tersenyum dan tertawa, lulus kemudian mampu mandiri tanpa merepotkan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri.

Biasanya tujuan kita bersekolah adalah agar kelak dapat bekerja, mendapatkan penghasilan yang layak, kemudian membangun kehidupan yang bahagia. Sedangkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bertujuan bagaimana mereka dapat mandiri dalam kehidupan yang lebih baik. Tujuan yang sederhana tapi dalam maknanya sebenarnya. Bagi mereka yang terikat erat dengan mereka, ada pertanyaan yang acapkali terlintas di benak, yaitu bagaimana kelak mereka hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Nah, jawaban atas pertanyaan tersebut hanya dijawab dengan satu hal, pendidikan. Dan guru adalah pilar utama pendidikan di sekolah, sedangkan orang tua adalah elemen kunci pendidikan di rumah. Dua sosok tersebut harus mampu bersinergi dalam mendidik dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus.

Oleh karena itu, sekolah tidak hanya sebuah kelas dengan meja kursi kayu dan hapalan di papan tulis. Mereka membutuhkan keterampilan, lebih banyak daripada teori-teori, di rumah kedua mereka yaitu sekolah. Para guru pun harus menguasai berbagai keterampilan untuk ditularkan kepada anak didik. Keterampilan-keterampilan itu adalah bekal mereka untuk mandiri, bahkan beberapa mampu mengembangkannya menjadi mata pencaharian yang menjaga asap dapur mereka tetap mengepul. Contohnya di sekolah Bapak saya itu. Para siswa mampu memproduksi susu kedelai yang tidak diragukan lagi kelezatannya. Selain itu, mereka pun mampu membuat kue nastar sendiri, bahkan para guru pun ketagihan memesannya. Sekolah itu juga memiliki kolam ikan lele yang dipelihara dan dirawat bersama-sama, hasil panennya sebagian dinikmati sendiri sisanya dijual. Tak ketinggalan sepetak tanah di halaman belakang tempat mereka bercocok tanam sayur-sayuran.


Guru yang baik adalah guru yang mengajar dengan hati. Termasuk dalam mendidik mereka, anak-anak yang berkebutuhan khusus. Hati yang tulus dan penuh kasih berbalut kesabaran harus dimiliki mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus. Selain itu, sang guru harus menyadari bahwa setiap anak pasti berbeda pribadi dan kemampuannya. Sebagian mungkin akan menyambut sang guru dengan tangan terbuka, yang lainnya bisa saja tertutup rapat seperti kerang yang melindungi mutiara. Maka, pendekatan personal terhadap setiap siswa mutlak diperlukan. Sang guru jangan menyerah bila harus menjelaskan berulangkali kepada hanya salah satu siswa. Karena kemampuan tiap siswa berbeda, maka dibutuhkan pengertian dan pendekatan yang berbeda pada setiap individu.Berbagai inovasi tersebut tidak lepas dari inisiatif para guru di sekolah itu. Peran guru dalam mendidik anak berkebutuhan khusus memang sangat sangat besar. Berbagai kegiatan di atas menuntut guru untuk mampu membekali para siswa dengan keterampilan-keterampilan yang berguna di kehidupan nyata. Dengan keterampilan memasak dan menjahit yang diajarkan sang guru, si anak tidak merepotkan orang tua mereka, dapat membantu orang tuanya di rumah, bahkan mungkin mampu membuka usaha sendiri.

Setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, begitu pula anak berkebutuhan khusus. Meskipun sebagian besar dari mereka menyandang ketunaan, mereka tentu memiliki potensi diri yang tersembunyi. Potensi tersebut bila mampu ditemukan dan digali dapat dikembangkan menjadi suatu kelebihan. Misalnya, seorang murid Bapak yang bernama Triyanto. Ternyata bakatnya adalah dalam olahraga, terutama lompat jauh. Bakat tersebut berhasil diasah dengan latihan yang tekun. Hasilnya, dia mampu menyabet juara ketiga Porsenitas tingkat Nasional untuk cabang lompat jauh. Prestasi seperti itulah yang akan meningkatkan kepercayaan diri anak didik.

 


Pendidikan anak berkebutuhan khusus memang bukanlah ladang uang. Selain dibutuhkan perjuangan yang keras, sang guru harus melalui tahapan yang berliku, mulai dari guru honorer, guru bantu, barulah menjadi guru tetap. Akan tetapi, mereka yang mengabdikan diri untuk menjadi sang pengajar pastilah sangat kaya. Hati mereka kaya akan ketulusan dan rasa cinta kasih kepada sesama. Pengorbanan mereka sangat besar bagi anak didiknya agar mampu menjadi pribadi yang mandiri dengan kehidupan yang lebih baik.Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya berlangsung di bangku sekolah, tetapi juga di rumah dan lingkungan masyarakat si anak. Prestasi anak berkebutuhan khusus di sekolah akan sia-sia bila ternyata di rumah sang orang tua tidak memberikan penghargaan dan dorongan kepada si anak untuk terus maju. Memang masih ada orang tua yang beranggapan bahwa tugas mengajar adalah hanya tugas guru dan kegiatan belajar sudah selesai ketika si anak pulang ke rumah. Pandangan-pandangan keliru inilah yang harus diluruskan oleh sang guru. Sering kali Bapak melakukan home visit ke rumah si anak yang tidak masuk sekolah beberapa hari. Bapak berusaha mengajak anak tersebut dan meyakinkan sang orang tua bahwa pendidikan untuk anaknya sangat penting, bahkan tidak dapat dinilai dengan uang. Di sinilah kemampuan berkomunikasi sang guru dibutuhkan.

 


Saya masih ingat hampir di setiap Lebaran beberapa murid Bapak datang berkunjung. Bercerita dengan Bapak di ruang tamu, kadang-kadang tertawa bersama. Saya sadar, memang benar kata Bapak, mereka memang istimewa. Dan sang guru juga luar biasa mampu membuat mereka istimewa.

Sumber :https://peneriakmimpi.blogspot.co.id/2012/11/guru-luar-biasa-untuk-siswa-istimewa.html

• Wednesday, November 09th, 2016
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kalimat enam huruf ini mungkin pendek tapi implementasinya sangatlah luas. Tak hanya soal kedudukan di mata hukum dan ekonomi, tapi juga masalah pendidikan. Indonesia bisa dibilang tidak terlalu adil soal pendidikan ini. Ya, bandingkan sekolah-sekolah di Ibu kota dengan yang ada di pelosok Indonesia timur sana. Miris!
Maka kemudian muncul wacana untuk mengirimkan para pahlawan tanda jasa alias guru agar pendidikan di daerah pelosok bisa setara. Atau paling tidak mendekati lah. Namun demikian, misi untuk membuat pendidikan di daerah terpencil menjadi maju, tak semudah yang kita kita. Ya, jangan bayangkan susahnya jadi guru di kota yang harus berjibaku dengan macetnya jalan, atau murid-murid nakal yang suka seenaknya sendiri. Guru-guru di pedalaman mungkin mempertaruhkan nyawa mereka.
Sudah saatnya Indonesia tahu jika perjuangan guru di pedalaman sangat berat. Berikut adalah sebagian kecil dari perjuangan para guru di pedalaman yang bakal bikin kita bangga sekaligus terenyuh. Mari simak ulasan dari deretan perjuangan guru di pelosok desa yang dapat membuka mata indonesia.
Cerita Guru Muda di Pedalaman Sumba Timur
Ervan adalah seorang guru muda asal Malang yang terketuk hatinya untuk mengajar di Pedalaman. Mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan daerah tertinggal, pria satu ini mendapatkan tempat mengajar di pedalaman Sumba Timur. Dari sini cerita perjuangan heroiknya dimulai.
Ya, Ervan benar-benar harus berjuang banyak di SD Masehi Billa tempatnya mengajar. Ada bejibun tantangan yang harus dihadapinya. Ia harus hidup prihatin dengan menempati salah satu ruang perpus untuk tempatnya tinggal, belum lagi ketika sakit ia harus menempuh perjalanan 6 jam untuk ke puskesmas.
Yang paling menyesakkan tentu saja ia tak bisa berkabar dengan sanak keluarganya lantaran hampir tak ada sinyal. Untungnya, Ervan adalah anak muda tangguh yang niatnya benar-benar tulus. Kepala sekolah SD Masehi Billa, Banja Anaawa, sampai mengatakan jika kehadirannya benar-benar sebuah berkah.
Kisah Guru Yogya Tuntaskan Buta Huruf di Desa Terpencil Papua
Pemuda ini bernama Saraban, mahasiswa lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan semangat ingin menunjukkan aksi nyata kepeduliannya dengan berangkat ke Desa Oklip, Papua. Di desa yang berbatasan dengan Papua Nugini itu, Saraban mengajar sebuah SMP yang membuatnya seperti ingin menangis. Ya, ini jauh dari apa yang dikiranya.
Bukan tentang bagaimana kesulitan hidupnya nanti, tapi melihat kondisi sekolah yang seperti ala kadarnya. Bukti jika daerah tertinggal memang selalu disepelekan. Meskipun demikian, hal tersebut tak menyurutkan langkahnya untuk masuk kelas dan mengajar anak-anak SMP yang menurutnya juga belum terlalu bisa baca dan tulis.
Saraban tahu jika ini akan berat, namun niat baik dari awalnya sudah kuat hingga akhirnya ia bisa bertahan. Di sana, hidupnya juga tak terlalu memperihatinkan kecuali tidak adanya listrik dalam waktu yang lama.
Novianti Islahniah, Guru Tangguh Asal Bandung Untuk Masyarakat Akoja, Aceh
Ibu Bandung, begitu Novianti biasa dipanggil murid-muridnya. Ya, guru muda ini memang berasal dari Bandung yang diperbantukan ke sebuah desa terpencil di Aceh bernama Akoja. Sama seperti rekan-rekannya yang lain, menjadi guru di pedalaman memang takkan pernah mudah.
Novianti mungkin beruntung lantaran infrastruktur di sini sudah lumayan bagus. Namun, tetap saja butuh perjuangan ekstra. Misalnya ia harus mengarungi sungai untuk menuju tempatnya mengajar. Tempatnya mengajar juga rawan bencana, misalnya banjir. Ya, jika banjir datang maka sekolah otomatis libur dan warga lebih memilih untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Meskipun begitu, sambutan hangat serta melihat mata anak-anak didiknya yang berbinar ketika ke sekolah mampu meluluhkan hati Novianti untuk setia. Setia mengajar mereka untuk mendapatkan mimpi yang lebih layak.
Cerita Miris Guru Bantu di Pedalaman Gorontalo
Apa jadinya jika seorang guru yang sukses mencerdaskan putra bangsa malah tidak mampu menyekolahkan anaknya sendiri? Nasib ini dialami oleh seorang wanita bernama Sri Utami yang menjadi guru bantu di Boalemo, Gorontalo. Ya, menjadi guru bantu apalagi di daerah terpencil, ia pun tak bisa berharap banyak pada gaji bulanannya.
Bukan hanya tidak sanggup menyekolahkan sang anak, hidup Sri sendiri juga serba kekurangan. Namun begitu, satu hal yang membuatnya lebih kaya secara hakikat dari orang lain. Ya, semangatnya untuk menjadi guru di daerah tertinggal itu. Walaupun untuk menuju sekolah saja ia melewati dua bukit plus dua anak sungai pula.
Sudah hampir 10 tahun ia menjadi guru bantu, namun nasibnya tak kunjung membaik. Harapan menjadi PNS pun sirna dengan umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun demikian, ia tetap ingin menjadikan murid didiknya lebih baik. Bahkan meskipun ia terenyuh melihat anaknya yang justru tak sekolah.
Kisah Agustinus, Perjuangan Guru Tanpa Tunjangan
Melewati sungai-sungai mungkin bagi kita jadi hiburan unik dan asyik, namun bagi pria bernama Agustinus ini, hal tersebut adalah rutinitasnya sehari-hari. Ya, setiap hari ia harus melewati sungai yang airnya sangat deras itu untuk bisa mengajar di sekolah tercintanya di SND20 Landau Bunga, di daerah pedalam Melawi.
Butuh setidaknya dua jam untuk pergi ke sekolah, termasuk melewati sungai deras tersebut. Tak cuma itu saja tantangannya, Hidup Agustinus juga sebuah ujian tersendiri. Ya, sebagai guru di daerah pedalaman ia mendapatkan gaji yang sedikit sekali. Padahal barang-barang di sana harganya mahal. Alhasil, ia harus hidup sangat bersajaha.
Sempat ia mengandalkan janji tunjangan dari pemerintah, namun sampai kini tak terealisasi. Tak peduli lagi dengan janji pemerintah, ia pun tetap mengajar dengan hati. Demi anak didiknya agar bisa mendapatkan nasib yang lebih baik. Setidaknya mampu menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Ketika Tentara Juga Terketuk Hatinya Untuk Mengajar
Seorang guru yang terketuk hatinya untuk mengajar di pedalaman mungkin hal yang lumrah. Mengingat basis profesi mereka memang seperti itu, namun tentara? Hal ini tentu saja sangat unik dan menarik. Ya, beberapa tentara kita yang ada di daerah-daerah terpencil mengusung dua misi penting. Mengamankan kedaulatan juga meningkatkan taraf pendidikan anak-anak setempat dengan mengajar.
Tak banyak bedanya antara para guru dan tentara dalam mengajar. Para tentara ini mampu untuk berkomunikasi dengan baik tanpa perlu main bentak seperti di kesatuan. Bahkan bisa membawa kelas lebih aktif dan hidup. Mereka guru hanya saja berseragam tentara, itu saja bedanya.
Kagum, tapi juga ironis melihat para tentara ini. Jumlah guru di kota sangat melimpah menurut daftar statistik setempat. Tapi, tak banyak hatinya yang terketuk untuk mengajar di tempat-tempat seperti ini. Hingga akhirnya tentara sampai diberdayakan agar anak-anak di pedalaman masih bisa mengenyam asyiknya bersekolah.
Salut dan apresiasi luar biasa patut diberikan kepada orang-orang hebat ini. Mereka dengan ikhlas mendedikasikan dirinya untuk mengajarkan ilmu kepada anak-anak pedalaman yang tak semua orang mau melakukannya. Kepedulian mereka, serta sikap rela berkorban itu jadi hal yang mungkin takkan pernah bisa dinilai termasuk oleh tunjangan yang jarang-jarang terbayarkan itu.
Selamat Hari Guru, semoga mereka tetap akan membimbing putra-putri bangsa meraih cita-citanya dan membanggakan negara. Satu harapan pula agar para guru terutama yang berjuang di pelosok-pelosok Indonesia mampu mendapatkan apresiasi setimpal atas apa yang dilakukannya.
Sumber : https://www.lensaterkini.web.id/2015/11/6-kisah-perjuangan-guru-di-desa.html
• Wednesday, November 09th, 2016

Merantau bukan pengalaman pertama dalam kehidupan saya, itulah mengapa saya yakin ikut program SM3T yang di selenggarakan oleh Dikti lewat LPTK Unnes Semarang. Awalnya sulit menyakinkan kedua orang tua, karena saya pernah gagal merantau di tanah Kalimantan Selatan. “Tidak usah to le, nanti seperti yang dulu ga’ krasan terus jual motor untuk pulang” ibu saya berkata demikian, tetapi tekat merantau saya sudah bulat. Saya berkata pada ibu” ini kan program Dikti to bu, jadi ada jaminan dan gaji yang tetap dan juga semua biaya pulang pergi di tanggung serta dapat bonus PPG bu”. Kami terus berdialog dan saya berusaha menyakinkan kedua orang tua. Perlu di maklumi bahwa saya adalah anak tunggal makanya ibu sangat khawatir jauh dari saya. Keyakinan saya yang menggebu – gebu meluluhkan hati bapak dan ibu, dan akhirnya saya di ijinkan untuk ikut SM3T. Alhamdulillah saya berkata dalam hati, rasanya senang sekali bisa berpetualang lagi biarpun tak tahu nanti ditempatkan dimana.

Pendaftaran on line sudah saya lakukan dan akhirnya saya lolos dalam seleksi tahap satu yaitu tes administrasi, ucap syukur selalu terucap dalam mulut saya. Selanjutnya tes tahap dua yaitu tes on line di laboraturium Unnes, disana saya ketemu dengan kawan – kawan dari kampus UKSW Salatiga yang juga ikut seleksi dan Alhamdulillah saya lolos lagi. Saat yang di nantikan adalah tes tahap tiga sekaligus tes penentu yaitu tes psikotes dan wawancara. Lagi –lagi saya ucapkan Alhamdulillah karena saya lolos tes tahap akhir dan saya keterima sebagai peserta prakondisi dan siap untuk di berangkatkan di tempat tugas.

Diluar dugaan bahwa kegiatan prakondisi dilaksanakan di kota Salatiga, dimana kota tempat saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana. Ini merupakan Suatu kehormatan bahwa peserta SM3T dari berbagai kampus bisa datang di kota Salatiga, kota yang dingin dan banyak kenangan bagi saya. Tepatnya tanggal 1 – 12 Agustus 2013 dilaksanakan prakondisi sebelum diberangkatkan ke tempat tugas, dimana peserta ditempa berbagai keahlian sesuai bidang study dan ketrampilan – ketrampilan lain sesuai daerah penempatan. Ada yang selalu saya dan teman- teman nantikan saat prakondisi yaitu pengumuman dimana kami akan di tugaskan. Pada hari kedelapan prakondisi tepatnya pagi hari, barulah ada pengumuman yang ditempel di depan aula. Hati ini terasa berdetak kencang saat mengetahui hal itu, dan akhirnya saya melihat pengumuman, tak di sangka saya ditempatkan ditempat yang angkatan 1 dan 2 belum pernah ditugaskan disana yaitu papua, tepatnya di Kabupaten Yahukimo. Setelah pengumuman, teman sekamar pun sudah tahu bahwa saya ditempatkan di papua, dan ada 4 teman lainnya sebut saja Juned, Viktor, Zaenal, dan Candra yang sekamar dan ditempatkan di Papua. Entah kenapa kami yang ditempatkan di Papua selalu menjadi bahan ejekan, seperti menakuti kami kalau disana semua barang mahal, gaji bisa habis, orangnya primitive, dan lain sebagainya. Padahal kami yang ditempatkan di Papua membutuhkan support atau dukungan dari lingkungan keluarga dan teman – teman. Tak hanya teman – teman saja, tetapi banyak godaan sebelum berangkat ke Papua seperti  saat dirumahpun ada keluarga dari  Ayah yang mengingatkan kalau tidak usah dilanjutkan dan di suruh untuk cari kerja yang lain saja, tapi saya yakin dan mantab, bahwa saya bisa untuk berjuang mencerdaskan anak didik di Papua dan bisa bertahan di bumi Papua dengan segala resiko yang ada.

Pada tanggal 25 Agustus 2013 saya diberangkatkan ke Papua bersama teman – teman angkatan tiga dengan membawa tekat yang berapi – api untuk berjuang mencerdaskan bangsa Indonesia di bagian Timur. Melalui kampus Unnes pada pagi hari saya berangkat menggunakan bus menuju Jakarta, sekitar waktu magrib saya sampai di bandara Soekarno – Hatta. Penerbangan dengan Lion Air di mulai pukul 23.00 dan sampai di bandara Sentani, Jayapura sekitar pukul 06.00 waktu Indonesia Timur. Setibanya di sentani saya terkejut bahwa keadaan bandara yang terbilang kecil untuk setingkat Propinsi dan minim fasilitas serta melihat kebiasaan orang – orang asli Papua yang mengunyah pinang membuat saya geli dan risi. Karena pesawat menuju Dekai, Yahukimo delay maka penerbangan ditunda dan dilanjutkan besuk pagi. Pada keesokan harinya saya terbang dengan pesawat Trigana Air menuju Yahukimo, taka lama kemudian sekitar 45 menit sampailah di kota Dekai, Kabupaten Yahukimo tempat dimana saya akan mengabdi Selama satu tahun.

Kurima merupakan bagian distrik dari kabupaten Yahukimo yang letaknya berdekatan dengan kota Wamena kabupaten Jayawijaya. Disinilah kami bersebelas orang memulai pengabdian menjadi guru SM3T, setelah diberangkatkan pada tanggal 3 Januari 2014 melalui penantian yang panjang karena kurang lebih ada tiga bulan lamanya saya menunggu kepastian sambil mengabdi di SD Metanoya. Setibanya di wamena saya kagum melihat kemajuan kota wamena dari segi infrastruktur jalan maupun kendaraan yang sangat banyak, padahal jalan menuju Wamena hanya bisa di lalui lewat udara.  Kondisi cuaca di wamena sangat dingin karena diapit oleh pegunungan serta hembusan angin kurima yang selalu datang ke kota.

Bapak pengawas yang mengantar kami mengatur penempatan dan serah terima untuk mengajar di sekolah – sekolah yang ada di Distrik Kurima. Hari pertama kami survey tempat serta koordinasi lapangan dengan kepala sekolah, setelah itu membuat keputusan kapan kegiatan resmi untuk serah terima kami ke sekolah – sekolah yang telah ditentukan. Tibalah hari serah terima kami, yang di hadiri oleh guru – guru mulai dari SD sampai SMA. Tata acara pun dimulai dari sambutan sampai penutup acara, dan akhirnya masing – masing kepala sekolah atau yang mewakili membawa kami untuk melihat sekolah  masing – masing serta mengatur kapan mulai masuk mengajar di sekolah. Tapi masih ada masalah mengenai bagaimana kami menginap nanti, karena pada umumnya ada rumah tapi tidak ada fasilitasnya, sedangkan dinas terkait tidak memberikan bantuan kepada sekolah untuk memberikan fasilitas minimal perabot alat memasak. Secara kebetulan untuk penempatan di SD menawari kami untuk tinggal di sana, dan sudah ada fasilitas perabot alat masak serta alat tidur biarpun minim, sehingga kami hanya menambah beberapa kekurangan yang ada. Jadi kami bertujuh dari SM3T Unnes bertempat tinggal di perumahan SD YPK Polimo, adapun yang 4 orang dari UNIMED menginap di perumahan SMP Kurima.

Saya bertugas di SD YPK Polimo yang terletak di antara 2 bukit dan di pinggir sungai Baliem yang berada di kampung Heme Distrik Kurima. Sekolah berada tepat terletak di ibu kota kecamatan/ Distrik Kurima. SD YPK Polimo hanya memiliki 97 siswa yang terbagi dalam enam kelas  yaitu kelas I, II, III, IV , V dan VI. Sekolah ini  didirikan pada  tahun 1970. SD YPK Polimo  memiliki pendidik dan karyawan sejumlah 14 orang, jumlah tersebut terdiri dari 12 orang PNS dan 2 orang GTT. Jumlah guru pada sekolah ini terbilang cukup.

Kondisi gedung sekolah masih tergolong baik. Sekolah memiliki 6 ruang belajar dan 1 ruang kantor dan ruang kepala sekolah. Jumlah rombel yang ada adalah 6 rombel. Alat peraga, media, dan buku pelajaran  sangat kurang. Kurangnya buku pelajaran itu yang mempengaruhi terhambatnya kegiatan belajar mengajar.

Sebagian besar siswa SD YPK Polimo kurang disiplin dalam hal berpaikaian. Banyak siswa yang tidak memiliki pakaian seragam lengkap, seperti sepatu, ikat pinggang, dan atribut yang lain. Siswa tidak terbiasa mandi saat berangkat sekolah karena daerah yang dingin. Prestasi belajar siswa juga masih tergolong rendah, wawasan siswa sangat sempit, mereka cenderung cepat lupa, mudah bosan dan mudah capek. Daya serap siswa akan pelajaran tergolong kurang karena siswa hanya belajar di sekolah saja, sepulang sekolah siswa membantu orang tua bekerja di kebun, dan pada malam harinya mereka tidak bisa belajar karena sudah capek dan juga tidak ada listrik.

Sebagian besar guru terlambat saat datang ke sekolah karena sebagian besar guru tinggal di kota Wamena. Jarak yang di tempuh guru sampai ke sekolah rata – rata 28 Km, kurang lebih hampir satu jam dengan modal transportasi taxi berupa mobil kijang atau pix up yang diberi box. Biaya untuk pulang pergi dari sekolah kekota bisa menghabiskan uang 50 – 75 ribu perhari, sehingga banyak sebagian guru yang berpikir ulang untuk masuk rutin tiap hari kerja. Selain itu, tantangan yang di hadapi guru yaitu harus melawati sungai yetni yang sering banjir dan dapat membahayakan nyawa. Jadi dengan alasan itulah kondisi pendidikan di dsitrik kurima secara umum masih jauh dari harapan. Saya hanya berharap bahwa suatu saat perjuangan saya dan teman – teman sekarang membawa manfaat bagi kemajuan dalam bidang pendidikan di tanah Papua khususnya di daerah penempatan saya. Itulah goresan tinta pengalaman yang dapat saya bagikan, semoga bermanfaat, Amiin.

By : Hadi Siswanto, S.Pd

Pengalaman Pribadi

sumber : https://arsipkukuliahku.blogspot.co.id/2015/03/sm3t-membawaku-ke-papua.html

• Wednesday, November 02nd, 2016

Welcome to Jejaring Blog Unnes Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!

Category: Uncategorized  | One Comment