Kajian Religi Menurut Teori Evolusi, Difusi, dan Fungsionalisme

Tulisan ini merupakan hasil tugas kuliah pada semester 4 dalam mata kuliah Teori Budaya. Dalam tulisan ini berisi bagaimana religi atau agama dipandang dalam tiga teori yaitu, teori evolusi, difusi, dan fungsionalisme.

Antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam kesmpatan ini saya akan memaparkan tenatang ilmu antropologi dalam mengkaji religi. Religi atau agama merupakan suatu fenomena yang banyak dikaji oleh para ahli antropologi khususnya pada abad 18 dan abad 19. Karena pada abad tersebut apa yang dilakukan oleh masyarakat selalu berpedoman pada kitab suci agama.

Masyarakat Eropa masih terbelenggu dengan pandangan yang ada dalam kitab suci agama mereka, bahwa semua fenomena alam dan kebudayaan tidak dapat dipelajari secara rasional. Keyakinan tersebut berlangsung lama pada masyarakat Eropa, sehingga mengakibatkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari pikiran manusia sulit berkembang. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan pandangan tersebut mulai hilang dan diganti dengan menggunakan akal pikiran manusia.

Fenomena agama menjadi sangat penting untuk dikaji pada abad ke 18 dan abad 19. Banyak ahli-ahli antropologi yang mengkaji fenomena tersebut dalam berbagai teori antropologi. Seperti teori evolusi, teori difusi, teori fungsionalisme, dan teori fungsionalisme struktural. Dalam mengkaji fenomena agama tersebut setiap teori berbeda-beda sesuai dengan isi dari teori tersebut.

Teori yang pertama akan saya bahas yaitu teori evolusi. Teori evolusi merupakan teori induk dari semua teori dalam antropologi. Teori evolusionisme tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Charles Darwin, karena pemikirannya tentang asal usul manusia di dunia yang sangat kontroversial ini. Secara epistimologi, evolusi berati perubahan secara lambat namun pasti menuju ketujuannya. Pada abad 19, masyarakat Eropa memandang suatu fenomena yang berasal dari alam, masayarakat, dan kebudayaan dalam suatu kumpulan manusia dapat dilihat dan dipikirkan secara rasional.

Cara pandang tersebut secara tidak langsung mengkritik perilaku masyarakat Eropa barat yang mengkaitkan segala sesuatu yang terjadi ke dalam kitab suci agama mereka yang dikenal dengan teori evolusi kebudayaan. Masyarakat menjadi terkungkung dalam ajaran kitab suci yang tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan sarana yang dimiliki manusia atau cara berpikir manusia. Dalam teori evolusi datang untuk mengubah cara pandang kebudayaan manusia yang berbeda dengan apa yang dianutnya selama ini oleh masyarakat Eropa Barat. Ajaran yang selalu menganut ajaran kitab suci agama itu hanya dijadikan monopoli oleh para pendeta saja. Sehingga mengakibatkan kekuasaan berada pendeta saja.

Teori evolusi kebudayaan ini dikemukakan oleh Edward Burnett Tylor, seorang ahli antropologi yang berasal dari Inggris. Ketertarikan Tylor dalam kebudayaan bermula ketika ia menempuh pendidikan kesusasteraan dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. E.B Tylor berpendapat bahwa, asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia karena adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan karena dua hal yaitu : adanya perbedaan yang ada pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati, dan peristiwa mimpi dimana manusia melihat dirinya berada di tempat lain.

Manusia percaya akan adanya makhluk halus yang menempati disekeliling tempat tinggalnya. Makhluk halus tersebut tidak dapat dilihat oleh pengindraan manusia, mendapat temapat yang penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi objek penghormatan dan persembahan yang disertai dengan berbagai upacara yang berupa doa dan sesaji. Hal seperti itu disebut animisme. Pada teori evolusi ini kepercayaan pada makhluk halus masih sangat kental dan terlihat pada suatu masyarakat.

Teori yang kedua yaitu teori difusi. Teori difusi adalah salah satu bentuk persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain. Perpindahan dari tempat satu ke tempat yang lain mengakibatkan peleburan budaya yang dibawa oleh masyarakat dengan budaya yang telah berkembang di suatu masyarakat tertentu. Pada setiap persebaran kebudayaan, pasti terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Terjadinya difusi budaya ini juga disebabkan oleh pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang semakin pesat di dunia. Tokoh teori difusi kebudayaan pertama kali adalah G. Elliot Smith dan W.J Perry, keduanya merupakan ahli antropologi yang berasal dari Inggris.

Sebelumnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori evolusi yang muncul sebelumnya, karena tokoh-tokoh teori evolusi percaya adanya persebaran kebudayaan. Namun setelah kedatangan Franz Boas, teori difusi menjadi penentang teori evolusi. Franz Boas adalah tokoh antropologi yang banyak melakukan penelitian di pedalaman Amerika. Boas menyatakan bahwa penelitian difusi harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja. Sehingga penelitiannya lebih baik dan hasilnya memuaskan.

Terdapat bentuk penyebaran kebudayaan yang terjadi dengan berbagai cara yaitu, adanya individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan ke tempat yang jauh, persebaran unsur kebudayan dilakukan oleh individu dari suatu kelompok dengan individu dalam kelompok lainnya, dan adanya hubungan perdagangan. Dalam teori difusi ini terdapat pandangan dari W. Schmidt yang mengkaji mengenai agama. Schmidt menjelaskan teorinya tentang monotheisme primitif. Dia juga memiliki penelitian mengenai bentuk religi tertua, yang berpendirian bahwa keyakinan akan adanya satu Tuhan bukan perkembangan yang termuda dalam sejarah kebudayaan manusia.

Agama merupakan berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada manusia, keyakinan yang asli dan bersih kepada Tuhan yang hidup pada tingakat kebudayaan yang masih rendah. Keyakinan kepada satu dewa tertinggi dapat di temukan dlaam religi suku bangsa di dunia yang dianggap sisa manusia terdahulu.

Contonya yaitu agama dan religi yang ada di masyarakat Bali yaitu agama hindu, mereka percaya akan adanya satu Tuhan dalam bentuk Trimurti, selain itu masyarakat Bali hindu juga percaya kepada berbagai dewa dan roh yang lebih rendah. Jdi dapat disimpulkan bahwa teori difusi merupakan persebaran budaya dari suatu tempat ketempat yang lainnya, sehingga kebudayaan tersebut dapat melebur menjadi satu dan membentuk suatu kebudayaan baru. Seperti halnya dalam agama yang disebarakan oleh seseorang ke suatu tempat ketempat lainnya agar suatu masyarakat dapat mempelajari agama yang dibawanya dan di gabungkan ddengan kebudayaan yang ada di suatu masyarakat tersebut.

Teori yang ketiga yaitu teori fungsional. Teori fungsional ini dibagi menjadi dua yaitu teori struktural fungsional dari Radcliffle Brown dan teori fungsionalisme dari Malinowski. Di Inggris teori ini mencapai puncaknya pada tahun 1930 dan 1950, teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori evolusionisme. Jika tujuan teori evolusi adalah untuk membangun tingkat perkembangan budaya manusia teori ini bersifat historis dan diakronis, sedangkan teori struktural fungsional adalah untuk membangun suatu sistem sosial yang bersifat statis dan sinkronis. Teori struktural fungsional Radcliffe Brown berbeda dengan teori fungsional Malinowski sangat berbeda.

Dalam konsep struktural fungsional adalah hubungan sosial, masyarakat, norma, dan budaya yang lahir dari abstraksi terhadap kenyataan perilaku manusia. Model yang digunakan dalam konsep struktural-fungsional adalah konsep organisme tubuh manusia. Satu organisasi tubuh terdiri dari sel dan cairan yang tersusun dalam suatu jaringan hubungan, yang masing-masing memiliki kegunaan khusus yang saling bekerja sama. Sehingga dapat membentuk sebuah keseluruhan kehidupan yang terintegrasi. Seperti dalam mengkaji mengenai agama, dalam suatu agama ada individu, norma, keyakinan, ajaran agama, yang menjadi satu dan saling bekerja sama untuk menghasilkan sesuatu kehidupan yang terintegrasi. Apabila salah satu konsep itu tidak ada maka tidak dapat berjalan dengan baik.

Teori fungsionalisme dari Malinowski lebih memperhatikan individu sebagai sebuah realitas psik-biologis didalam suatu masyarakat, Malinowki lebih tertarik kepada budaya. Dalam memenuhi kebutuhan psiko-biologis individu dan menjaga kesinambungan hidup kelompok sosial, kondisi yang harus dipenuhi oleh individu-individu anggota kelompok sosial terdapat 7 kebutuhan pokok yaitu nutrition, reproduction, bodily comforts, safety, movement, growth, dan health. Konsep budaya Malinowski yaitu suatu masyarakat dimana unsur-unsurnya berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Konsepsinya melihat budaya dari masyarakat tribe. Malinowski juga mengkaji fungsi dari unsur budaya terhadap budaya masyarakat secara keseluruhan. Jadi menurut Malinowski dalam mengkaji fenomena agama harus berdasarkan pada tujuh kebutan pokok.

Menurut saya teori yang paling aplikatif untuk studi mengenai agama adalah teori difusi. Karena teori difusi merupakan suatu teori yang mengalami penyebaran unsur kebudayaan dari suatu tempat ketempat yang lain. Biasanya kebudayaan tersebut dibawa oleh individu yang melakukan migrasi ke suatu tempat. Kebudayaan itu bersumber dari satu tempat, berkembang, dan menyebar ke tempat lain, sehingga menimbulkan kebudayaan baru yang mempergaruhi lingkungan tempat tinggalnya.

Contohnya teori difusi yang mengenai persebaran agama islam di Jawa. Sebelumnya masyarakat Jawa belum mengenal islam, kemudian masuklah agama islam yang di bawa oleh para wali songo dan disebarkan di seluruh Pulau Jawa. Dalam menyebarkan agama islam tersebut terjadi banyak rintangan yang dihadapi, kemudian para walisongo berpikir untuk menggabungkan agama islam dengan budaya setempat agar dapat diterima oleh masyarakat. Akhirnya kedua budaya tersebut digabungkan sehingga menimbulkan suatu kebudayaan baru dalam masyarakat.

Sumber Referensi:

https://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3558/2829

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press

https://roedijambi.wordpress.com/2010/02/11/teori-evolusi-dan-difusi-kebudayaan-analisis-komparatif-terhadap-dua-paradigma-dalam-antropologi/

https://research-dashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceeding/Humaniora/Vol%205%20no%202%20Oktober%202014/43_CB_Andy_Gunardi.pdf

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosant. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: