26
November
Written by imam fauzi.
Posted in: SASTRA
Kedipan mata itu menyibakkan silau yang membuat siapa saja yang menatapnya terhanyut akan keanggunannya. Alisnnya yang nanggal sepisan bagaikan bulan sabit tanpa sedikit pun pelik dan membuat terpana kepada siapa saja yang meliriknya. Surya itu memancar merah muda dan menyilaukan pada setiap tatapan mata yang memandangya, senyum itu bagaikan gugusan rasi bintang yang semua orang sepakat dengan keindahannya. Dan tubuhnya yang terbalut dengan pakaian serba tertutup itu semakin menunjukkan bahwa dia adalah seorang alim taat agama atau bisa disebut sebagai orang yang religius.
Bias-bias kaca tertembus oleh sinar mentari dan langsung menyentuh jendela peraduan. Gelapnya senja berganti terangnya embun pagi sudah.
Bunga-bunga di depan papan jendela tidur bermekaran, udara sejuk yang masih sedikit dingin itu memaksaku untuk bangkit dari tempat yang paling santai untuk menyegarkan kembali fisik yang kemarin terasa patah dan ambruk. Bagaimana tidak, selama tiga jam di dalam ruangan dengan tiga orang di depanku yang tiada henti-hentinya ingin menjatuhkan hasil kinerjaku selama enam bulan penuh. Kebanyakan orang mengatakan bahwa itu adalah sidang, namun bagiku tidak demikian. Itu adalah sebuah drama yang menguji akan kekonsistenan gagasanku yang sudah tertuang pada lembaran-lembaran kertas putih, serta sesuatu yang harus aku ucapkan agar tiga orang itu benar-benar menganggapku pantas dan layak untuk mencapai satu kata yang mungkin harus setengah mati mencapainya, yakni “lulus”.
“Pagi Jem. Gimana ujianmu kemarin, sidangya oke?” Sisi melambaikan tangan kearahku dan Jamal. “Em… Alhamdulillah beres semua” jawab Jamal.
Biasalah, di kampus itu panggilannya suka aneh-aneh. Jamal di panggil Jem, aku yang nama aslinya Pampam aja di pangggilnya Jon. Katanya biar mudah dan terlihat keren. Kemudian kami bertiga saling bersalaman dan tiba-tiba Sisi merangkul pundak kami dari tengah diantara aku dan Jem. Sontak aku kaget, “Si, apa yang kamu lakukan?” “udah, nyante aja. Biasa kale….” jawab Sisi santai.
Bagaimana tidak, Sisi yang dikenal sangat anggun karena pakaian yang syar’i itu senantiasa menutupi auratnya. Jilbabnya saja hampir menutup seluruh tubuhnya, hampir sampai paha. Rasanya sangat aneh jika melihat cewek yang seperti itu merangkul laki-laki. Apa lagi bukan saudara atau kerabatnya. Terlebih biasanya Sisi juga memegang pipiku atau Jem, katanya gemes.
Kemudian kami berlalu menuuju tempat yang kami tuju masing-masing, Jem kembali ke kost, Sisi rapat dengan organisasinya, kalau aku sih kupu-kupu, alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ya sebenarnya ada satu kegiatan yang aku dan Sisi ikut di dalamnya yaitu senat, namun aku jarang mengikuti kegiatan. Kalau sekarang BEM namanya. Tapi keberadaanku hanya sebagai staf dan Sisi menjadi kepala departemen. Sisi memang sangat cakap dalam cara berretorika dengan orang lain, dan sangat mudah untuk membuat orang lain padanya. Wajar saja jika banyak yang mengagumi akan keterampilannya itu.
Sore itu mega berlarian pada hamparan kabut di atas atap dunia. Sang surya semakin meredupkan sinarnya, agak kemerahan namun tetap cerah merona. Denting waktu tak terasa menggugat, mengingatkan bahwa hari sudah semakin senja dan aku masih banyak pekerjaan yang menunggu.
Di senja itu pula, senat mengadakan pertemuan dan seluruh anggota senat wajib hadir pada pertemuan tersebut untuk membahas topik sederhana yakni toleransi umat beragama. Akhir-akhir ini memang banyak kritikan dari anak-anak di kelas, organisasi intra maupun ekstra, serta dari kebanyakan mahasiswa lainnya berkenaan dengan hari raya agama. Kenapa saat Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha di media sosial sangat gencar akan ucapan-ucapan “Selamat Hari Raya….”, “mohon maaf lahir dan batin….” atau yang lainnya. Ucapan-ucapan tersebut berasal dari sesama umat Islam, juga dari non Islam. Namun ketika hari rayanya agama non Islam, tidak ada ucapan-ucapan selamat hari raya, atau sangat sedikit yang mengucapkannya, itu pun dari pihak yang agamanya sama. Umat Islam memang menjadi mayoritas di universitas kami. Untuk itu pada pertemuan senat kali ini, masalah tersebut akan di kupas sampa tuntas.
“Kita sebagai umat Islam tidak boleh merayakan hari rayanya orang kafir, jika orang-orang kafir mau mengucapkan selamat atas hari raya umat Islam, itu terserah mereka dan bukan menjadi urusan kita. Karena yang ikut merayakan hari rayanya orang kafir, maka dia juga termasuk orang yang kafir”. Adalah argumen dari Sisi kadep (kepala departemen) advokasi senat setelah ketua senat membuka rapat atau pertemuan dengan beberapa pengantar sebagai pemantik. Lain halnya dengan pendapat dari Jeki sebagai kadep humas. Ia mengatakan “Sebagai umat Islam memang tidak boleh ikut merayakan hari rayanya orang non Islam, namun karena kampus kita merupakan kampus yang dinamis dan memiliki keanekaragaman suku, agama, daerah, maupun bahasa, alangkah baiknya kita menghargai hari raya umat non Islam juga sebagai tanggapan atas kritikan yang senat terima. Kita bukannya ikut merayakan agama mereka, namun sebatas menghargai seperti membuat ucapan selamat hari raya kepada saudara-saudara kita non Islam, dalam bentuk pamphlet, atau menyerupai brosur pada media masa. Berlandaskan bahwa kita harus memiliki jiwa toleransi dan rasa saling mencintai sesama umat manusia. Bagaimana menurut forum?” Kebanyakan anggota senat mengangguk dan sepaham dengan pendapat yang diajukan oleh Jeki.
Susi merasa sangat keberatan terhadap pendapat Jeki. Mukanya merah padam, kemudian dia meninggalkan forum pertemuan senat dengan meninggalkan satu kalimat “Sepertinya sebagian besar anggota senat tidak paham akan kemurnian agama Islam yang sesungguhnya”. Susi pun berlalu.
Jika di lihat dari penampilan, Jeki sangatlah berbeda degan Susi, Jeki hanya mengenakan kerudung sebatas dada, pakaiannya pun tak jarang memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya. Namun pemikirannya yang matang itu, meyakinkan semua anggota senat untuk bersikap adil yaitu ikut menghargai setiap hari raya agama yang ada di kampus kami. Bukan ikut serta merayakan, namun sebatas pada ikut menghargai dan menghormati. Kalau memang tidak di benarkan karena mengucapkan “Selamat Hari Raya….” pada orang-orang yang beragama non Islam, maka berlandaskan atas dasar kemanusiaanlah untuk ikut serta merasakan sedikit kebahagiaan karena kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Karena saya merasa bahwa Islam pun tidak pilih-pilih pada saat membuat saudara-saudara sesama manusia itu senantiasa bahagia.
Ternyata kepribadian orang bukanlah terletak pada atributnya, hakikat Islam bukan terletak pada jilbab yang besar, pakaian yang serba tertutup, sorban atau yang lain, karena semua itu adalah syari’at. Lebih jauh dari itu, adalah pemaknaan dan pemahaman kita mengenai agama dan Islam itu sendiri. Bukan mereka yang hanya memakai baju berkancing yang pantas di sebut seseorang yang paham akan busana, karena kaos pun termasuk pakaian atau bisa di katakan baju (kiasan). Bukan Kancingnya, Tapi Bajunya (kiasan). Tidak perlulah menyalahkan mereka atau pun menganggap mereka tidak lebih baik dari kita karena mereka memakai pakaian yang “berbeda” dari yang kita kenakan. Alangkah baiknya kita menghormati dan menghargai mereka karena kita semua masih sama-sama mengenakan pakaian, entah dengan bentuk atau pun model busana apa pun.
Akhirnya sejak pertemuan senat itu, kami memutuskan untuk bertoleransi yang lebih baik lagi dengan semua mahasiswa dari latar belakang apa pun. Dan sejak saat itu pula, Alhamdulillah konflik karena ucapan selamat hari raya, sudah tidak ada lagi.
Saya sebagai mahasiswa yang masih abal-abal mungkin hanya bisa menilai sesuatu dari permukaanya saja, karena saya bukanlah seorang ahli Teologi atau ahli agama. Namun, atas dasar “Rasa Kemanusiaan” saya kira apa pun agamanya, apa pun suku mau pun latar belakangnya, sekat-sekat atau pun kotak-kotak itu menjadi lebur dan menjadi kekuatan positif yang luar biasa. Misalnya saja saat tragedi jalur Gaza, atau yang ada di dekat kita yakni tragedi tsunami di Aceh. Berbagai bantuan dan dukungan materi atau pun non materi, itu berasal dari berbagai pihak yang beranekaragam suku, agama, dan negara. Mereka membantu bukan karena kesamaan budaya, mereka membantu atas dasar “Sesama Manusia”.
(kisah nyata dari salah satu organisasi yang ada di salah satu universitas di kota Semarang).
Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.
Komentar Terbaru