Daftar / Masuk
26
November

I’m dreaming, I’m never die….

Written by imam fauzi. rev="post-13" No comments Posted in: SASTRA

Embun membias dalam keheningan teki, menampakan silau menyinari padang yang melebar. Nuri menyambut dengan kicaunya, auman Boby semakin terasa di gendang telinga. Terpaksa Aku harus melempar kenyamanan berganti dengan dinginnya air muara. Seperti biasa Boby berlagak manja mengelilingi kaki kecilku.
“Hai Bob,pagi yang indah ya? Wah tambah gemuk kamu.”

Aktifitas rutin setiap pukul 05.00 Bunda tercinta menyiapkan segalanya. Di luar kebiasaan Bunda-bunda yang lain, Bundaku selalu tahu apa yang aku butuhkan.
“Ok Bund,semua sudah clear Aku akan berjuang kembali dengan teman-temanku.” Kataku sambil mencium bunga yang mewangi hasta Bundaku.
“Ok juga Zi” jawab Bunda dengan mawar merekah di bibirnya. 07.00 bel berdering, kala itu Aku tidak mmengikuti pelajaran seperti biasa,maklum “Pelacara” alias pelajar banyak acara. Pada komunitas “Pabean” (Pelajar Be an Enough) yang selalu melakukan kegiatan di luar azaz kebiasaan FORDIKIN atau yang dikenal dengan Forum Pendidikan Indonesian. Lembaga disuatu Republik yang terdiri dari komunitas-komunitas pelajar diwilayah Indonesian. Ini tak disebut organisasi, melainkan perkumpulan non formal pelajar seusia SMA. Walaupun tak dihindarkan banyak anak sekolah lanjutan tingkat atas yang ikut berkecimpung didalamnya.
“Zahdan, bagaimana dengan programmu kemarin, apa yang dikatakan oleh R. Zeas mengenai ide cemerlangmu?” Fertoon menepuk punggung Zahdan dari belakang diteras basecamp kami. “Entahlah, aku tak paham dengan mindset R. Zeas, pemimpin kita. Perkataanku sepertinya tak sejalan denganya”.
“Bagaimana kalau kita konsul sama Ozi? Dia lebih berpengalaman dari kita?” Fertoon dan Zahdan berlalu menemui Ozi yang lebih dulu ikut komunitas Pabean. Namun Ozi pun tak banyak berkata. Ia hanya meyakinkan Zahdan untuk tetap antusias dalam menyelaraskan fikiranya dengan R. Zeas. R. Zeas adalah pimpinan tertinggi pada komunitas Pabean yang ada di Senior High School of Espansa. Dia sangat jenius untuk ukurana anak SMA. Tiba-tiba R. Zeas menyambar bagai gemuruh musim ketujuh yang amat mendayu.
“Ozi, aku tegaskan padamu untuk mencekal dua anggota baru kita!”.
“maksudnya Zahdan dan Fertoon? Apa maksudnya mencekal perkataanmu tadi?” R. Zeas berlalu begitu saja bagai angin sayup yang tak bergumam apa-apa. Padahal nadanya yang menggelegar tadi sangat memekikkan telinga. Ah, memang dia sifatnya seperti itu. Jenius memang benar, tapi kalau begini pantas kami pada merinding.
“Huft…., komunitas macam apa yang punya pemimpin seperti dia, hah dasar!” gumamku dalam hati.
Minggu kedua aku memberanikan diri untuk menanyakan pada R. Zeas, namun seperti biasa dia buru-buru dan hanya meninggalkan beberapa kalimat.
“Tuntun mereka, agar mereka mengerti satu sama lain, jangan sampai aku menyaksikan mereka tetap mempertahankan pendapat yang tak lazim walau itu logis!”
Wuzzzzsssss………….., gaya jalannya yang selalu sama meninggalkanku yang belum merespon perkataannya.
“Jika saja dari kemarin gamblang seperti ini, aku tak perlu pusing menghitung satu, dua, tiga untuk mencari hari yang tepat untuk menemuimu seperti sekarang. Pak ketua, pak ketua.”
Memang sulit memahami karakter seseorang, aku yang lebih banyak menjadi pengamat keadaan hanya bisa mengangguk dan selebihnya complaint pada anggota baru yang tak sesuai aturan. Seperti inilah, kadang mereka suka denganku namun tak jarang aku menjadi sasaran amuk debat mereka.
Sorepun merambah dengan gagah, berganti dengan gelap dan rapat-rapat. Malampun kelam…………….
Sudah sepuluh kertas yang aku sobek karena ketidak sesuaian narasi seperti yang sebenarnya aku inginkan. Kalimatku terputus saat selesai memberikan tanda titik setelah kata “logis”. “Wah benar fikiranku susah di ajak kompromi kali ini, padahal tugas besok merupakan penilaian terakhir sebelum babak ahir periode ini. Aku terus memikirkan kalimat R. Zeas tadi siang. Kacau!!!!!!!
Syamspun menampakkan sinarnya, saatnya aku harus mempresentasikan program tiga minggu kedepan.
“Terimakasih atas waktu yang di sediakan, langsung saja dalam pembahasan kita season ini akan di adakan program lanjutan, mulai dari team work from class, marger beberapa komunitas, dan yang terakhir pembentukan komunitas kecil sebagai partner pabean…………………” kalimatku terputus oleh Zahdan.
“Maaf, itu sangat tidak logis jika ada komunitas di dalam komunitas. Apa jadinya pabean yang se-high ini harus mempunyai partner. Image baru apa yang akan kita dapatkan, saya rasa iti mustahil. Namun kedua hal di awal tadi sepertinya mungkin”. Semua pengurus pabean tercengang tak menyangka, Zahdan yang baru 4 bulan bergabung di komunitas pabean mengeluarkan kalimat yang mencekik itu. Awalnya seluruh pengurus terpana, namun serentak mengalihkan perhatian padaku karena mereka sadar bahwa Zahdan itu terlalu mengunggulkan pendapatnya yang tak lazim meskipun logis. Aku teringat kembali kata-kata R. Zeas. Akupun menanggapi apa yang di ungkapkan Zahdan
“Zahdan, kamu belum tau cara kita untuk mendirikan komunitas kecil itu, dan belum tahu kita akan mulai bekerja dari mana, berikan waktu padaku untuk menyelesaikan pembahasan program kita!”. Zahdan langsung meluruskan kakinya dan sedikit menarik gas dalam penyetiran kalimatnya.
“Tapi tetap itu sulit dan mustahil”. Dia keluar dari basecamp tanpa izin. Tanpa basa basi aku menyelesaikan presentasi dan rapat koordinasipun usai. Seperti rutinitas yang tak terencana sebelumnya, setelah rapat kemudian membahas kondisi personalia seluruh pengurus pabean. Hari itu benar-benar ada satu orang yang menjadi titik objek perbincangan. Ya “Zahdan orangnya. Dia seorang remaja berkulit putih, bermata bulat dan sangat berani mengungkapkan gagasan, walau mungkin diluar kendalinya. Siangpun larut berganti dengan senja kemerahan pada gugusan awan bintang. Seluruh pengurus pabean berlalu lalang menyetir sepeda motor guna kembali ketempat asal. Namun Zahdan dengan wajah merah padamnya membakar keadaan. Dia menderik bagai jangkrik dalam keheningan. Kesunyian merongrong kekesalan yang memang saat itu dalam keadaan cape, lesu dan sore pula. Dilema itu kontras diawali Zahdan dan Aku.
“Ozi, ayolah…. Mustahil kita dapat menumbuhkan daging dalam daging! itu hanya hal yang memakan waktu dan pikiran besar saja”. Terulang kembali sifatnya yang suka mendebat dan mengungkapkan respon “disagree” pada orang lain. Namun tak pernah kuanggap serius dia. Terkadang dia sangat fleksibel untuk beberapa keadaan. Anak yang satu ini memang benar-benar mengandung ego dan mengundang kontra. Peristiwa yang benar-benar membuahkan kontroversi pada komunitas pabean ahirnya tercium oleh FORDIKIN, namun sepertinya acuh.
“Zahdan, tidak masalah dengan argumenmu tadi itu sangat menantang, Akupun suka berdebat sepertimu disaat yang memekik. Itu bukan progamku namun agenda kita yang telah disepakati minggu kedua bulan ini”.
“so I say a little pray, and hope my dream will take me there…..
Where the skys are blue to see you once again…..
Overseas from coast to coast to find a place I love the most…..
Where the field are green to see you once again….
MY LOVE…….”
Nada itu sangat menarik perasaan. Itu yang berulang kali aku dengar saat bosan mengerjakan tugas untuk memanjakan pikiran sejenak. Ternyata Zahdan juga menyukai liriknya. Anak itu benar-benar aneh dari awal kami kenal dengan perdebataan kini ia berlalu dengan sebuah irama dari West Life itu. Wah semoga hari esok menjadi sekelumit kisah yang lebih menarik dari kemarin, Aku menutup buku tugasku dan membaringkan diri bersama Boby.
“Selamat malam Boby”, malam berlalu begitu cepat, begitu erat aku menarik selimut dari Boby yang ada disamping kananku. Akhirnya beningpun menembus kaca peraduanku, hilang sudah kenyamanan “Take a rest” untuk jam ini. Pagi itu menjadi tour yang sangat menakjubkan, keajaiban datang. Kebiasaan aku dan Zahdan yang selalu berbeda fikiran kini kami saling menyatu dan menjadi duo yang sangat kompak. Kesana kemari kami menjadi tim yang tidak dimiliki pengurus lain. Zahdan tetap dengan style dan nada iramanya yang berdenting tak kenal tempat dan saat. Sugesti itu benar-benar merasuk pada diri kami, sesuatu yang selalu kami yakini adalah “Kami berbeda, karena itu kami cocok untuk jadi teamwork”
Tatkala telah terlaksana, tanpa ada saling sudut dan saling lempar serta coorporate yang selalu tertancap dalam diri. Sampailah dimana ranting itu berbunga begitu merekah. Zahdan mengatakan tak mungkin daging itu tumbuh dalam daging, nyatanya sekarang kumpulan daging itu meranting, bercabang dan menghasilkan bunga yang benar-benar bermakna. Untuk beberapa kejurda, forum debat presentasi kami dapatkan mewakili pabean dan Espansa. Banyak komunitas yang kami kalahkan, walau sebagian orang tidak menggemari sebuah pertentangan namun tak dapat dihindarkan bahwa kompetisi pasti ada.
“Aku sangat bangga, tim kita akhirnya mempunyai image yang baik. Dulu Aku pernah mempunyai teamwork seperti ini, namun rekanku berkhianat dan sekarang lenyap dari komunitas pabean”benarlah, seperti apa tabiatku yang saat mempercayai orang akan bertindak “Open full”. Sikap keterbukaan yang mungkin tak ada batas, itu kulakukan atas dasar berani menjadi kawan atau timku harus berani menerima Aku apa adanya. Namun pikiranku kali ini meleset, tiga bulan kami berdua menyandang julukan “The Best Member Community” dan pada kurun itu pula keretakan dimulai. Zahdan tidak menyukaiku karena dulu aku menganggap Marsh Honton penghianat, Zahdan juga kenal dekat dengan Marsh Honton. Aku berusaha meyakinkan, namun Zahdan adalah Zahdan yang selalu bersikukuh dengan argumentnya. Pagi itu benar adanya Aku membaca pesan dari partnerku Zahdan.
“Ozies landfic partnerku, Aku rasa telah kenal lama jauh sebelum kau mengenal MH ( Marsh Honton ), untuk itu Aku rasa kita tidak sejalan dan Aku berharap relasi kita berakhir”.
Seketika semerbak hangat teh dipagi itu Aku rasakan hingga keujung kaki, untung bukan pecahan gelas yang aku injak. Awan gemuruh berlarian dan menghitam, Aku tak dapat berkata-kata. Pilu merambat hingga keujung rambut, bertabrakan dengan panas teh yang baru Aku aduk dan pecah. Dua hingga tiga jam kejernihan pikiranku tak kunjung berlabuh, Aku belum bisa membalas memo tronik dari Zahdan. Setelah lima jam berlalu Aku menulis beberapa kalimat yang intinya bukan ungkapan apa dan mengapa namun berusaha agar fikiran Zahdan berubah lewat intuisi bahwa ini tak seperti yang Zahdan kira. Itu terakhir kami berkomunikasi dibulan itu sebelum akhir bulan. Walau kami merupakan pengurus disuatu komunitas yang sama dan menjadi tim yang padu, sejak saat itu kami saling bertolak tak ada sapa ataupun tanya. Kami berdua acuh satu sama lain dan saling membelakangi. Mencoba kugambarkan dalam alunan rindu itu tentang arti sebuah relationship dan team work untuk semua yang telah kami capai menjadi hambar dan tak lagi hangat untuk diperbincangkan. Apa lagi setelah Zahdan menutup kalimatnya dengan “hidupmu hidupmu, hidupku hidupku”. Mau bilang teriris hati ini nyatanya telah hancur,mau bilang jahat realita mengatakan kalimat itu lebih dari sekedar merenggut nadi kebahagiaanku.
Namun aku bukanlah serapuh buih di lautan itu. Sudah banyak yang memberi dukungan pada kami waktu sebelumnya, aku tak mungkin berpindah haluan. Kini kami berjuang sendiri-sendiri. Tepat pada olimpiade besar,lomba presentasi seluruh Indonesian dan dalam satu komunitas boleh mengirimkan lebih dari satu perwakilan lomba. Aku dan Zahdan menjadi ujung tombak Pabean, kami berdua bersaing hingga akhirnya semua selesai dan Aku keluar menjadi juaranya. Peristiwa itu membuat Zahdan bertambah kacau dan kian mempunyai perasaaan sentiment kepadaku. Hingga saat itu,ketika Zahdan kehilangan arah dan perlahan tampak sepertinya Ia berbalik kembali kepadaku. Ini terjadi karena saat itu Zahdan tak lagi mendapat pendukungnya, dia di acuhkan dan komunitas kami mengambil langkah “Ostratisme” yakni suatu tindakan dengan mengacuhkan atau hampir menganggap tak ada pada si pembuat masalah. Itu sangat menyakitkan memang, namun karena sebuah konsekuensi maka tak dapat dihindarkan lagi. Saat dimana Zahdan dan Aku berakomodasi tak berlangsung panjang. Hingga konsiliasi atau kesepakatan yang kami ambil belum mencapai titik pasti, ternyata malah Aku yang harus angkat kaki dari Pabean. Aku tak menyalahkan Zahdan, karena itu mungkin terbaik bagiku.
R. Zeas juga sudah meyakinkanku akan hal ini, dan dialah yang secara langsung memberitahuku. Memang keputusan itu sangat tabu dan instan, disaat Aku mulai menemukan segumpal manis kehidupan dan emas kejayaan. Tapi Aku tersadar karena Aku yakin kedepannnya Zahdan dapat membina diri lebih baik dariku. Kami berdua hingga sekarang masih beradu pendapat, walau tak seasyik dulu. Ternyata intan yang belum di gosok secara penuh lebih berharga dari pada intan yang telah terjual. Meski orang-orang menikmati gemerlap intan itu, namun mereka akan lebih melihat hal yang baru dan lebih istimewa dari intan yang belum di gosok. Walau belum nyata teraba, namun di dalamnya ada inovasi yang luar biasa.
“Ozy…………,Faozy, kamu sadar sayang? Syukurlah akhirnya kamu membuka mata lagi”. Bunda memeluk erat tubuhku dengan cucuran air mata yang amat berharga. Dua minggu koma rasanya seperti dua tahun tak melihat dunia. Zah Daniel (Zahdan) turut melihatku dengan pilu. Aku bangkit dan memeluk Zahdan erat, dia bingung dengan sikapku. Akupun akhirnya usai menceritakan seluruh alam bawah sadar yang Aku alami selama dua minggu berbaring di rumah sakit. Aku menjadi malu, kenyataanku di sekolah yang bermalas-malasan dan lebih banyak mencari kesenanganku sendiri, Aku begitu bangga menjadi juara dalam mimpi belaka. Namun yang terpenting sekarang adalah Aku tak akan pernah melepaskan orang-orang di sekelilingku yang menyayangi dan menerimaku apa adanya. Dan hari itu aku mendapat satu pelajaran berharga, yakni “seberapa besar jadiya aku kelak, ditentukan seberapa besar aku menjalani setiap detik hari ini”.

0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.

Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.