Daftar / Masuk
17
Desember

Sastra Islami

Written by imam fauzi. Komentar Dinonaktifkan pada Sastra Islami Posted in:

Mengatasi Santri Nakal

Secuplik kisah…….

Di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, pernah ada salah seorang santri yang suka keluar malam. Ia selalu lolos dari pengawasan pengurus pondok. Anehnya, justru KH Abdul Karim mengetahuinya. Lantas beliau menulis pada secarik kertas dengan tangannya sendiri, “Kula mboten remen santri ingkang remen miyos” (Saya tidak suka santri yang suka keluar). Tulisan tersebut kemudian beliau tempelkan di bawah bedug.
Secara kebetulan, santri yang biasa keluar pondok tanpa izin itu ternyata pada malam harinya memilih tidur di bawah bedug. Betapa kagetnya santri itu, ketika membaca sebuah tulisan persis di depan matanya. Dia sangat mengenali tulisan itu, yang menulisnya adalah Mbah Kiai Abdul Karim. Yang selama ini dianggapnya tidak mengetahui kelakuannya selama ini.

Setelah peristiwa menakjubkan pada malam itu, santri itu insaf. Dia tidak lagi keluar pondok pada malam hari. Kita mungkin tidak sanggup meniru persis cara Mbah Abdul Karim. Tetapi kita bisa meneladani kebijaksanaan dan kearifan beliau. Murid atau anak yang nakal, mendidiknya tidak dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan. Pemaksaan dalam kadar tertentu memang akan menghasilkan tindakan seperti yang diinginkan si pemaksa. Tetapi pada saat yang bersamaan ia memantik bara api yang akan menjadi sumber bencana di waktu yang akan datang. Orang-orang yang terpaksa mengikuti dan melayani paksaan akan kehilangan rasa hormat kepada pemaksa. Seorang guru akan kehilangan kehormatan dari muridnya. Seorang bapak akan kehilangan bakti anaknya. Seorang suami akan kehilangan cinta istrinya.

Mungkin di pondok pesantren bukanlah tempat senormatif yang kita kira. Dimana semua santri memiliki sikap yang selalu taat dengan aturan atau perintah kiyai, bahkan di beberapa pesantren terdapat kejadian yang sampai mempermalukan martabat pesantren seperti aksi pencurian dan tindak anarkis. Namun, bukan berarti juga pesantren sebagai tempat pelampiasan rehabilitasi pelaku-pelaku tindak asusila atau bahkan para nara pidana. Karena banyak juga yang berfikiran bahwa pesantren menjadi sarana pelampiasan orang tua terhadap perilaku anaknya yang sudah tidak mampu di bimbingnya, akhirnya anak tersebut dimasukkanlah ke dalam pesantren dengan harapan dapat memperbaiki tingkah lakunya dan orang tua sedikit terbebas dari tanggung jawab mendidik anak secara langsung.

Adanya kejadian tersebut menimbulkan pemikiran bahwa akan jadi seperti apa nanti generasi islam penerus bangsa ini jika bibit santri berasal dari orang-orang yang memiliki pengalaman hidup gelap. Akankah akan muncul orang-orang seperti Mbah Mun, Gus Mus, atau Hamka? Pendapat tersebut tidaklah sepenuhnya salah, karena benar saja bahwa sesuatu yang baik seyogyanya berasal dari hal yang  baik. Namun jika realita yang terjadi adalah sebaliknya, maka itu menjadi tantangan tersendiri bagi pihak pesantren untuk mendidik generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang linier dengan hukum dan syari’at Islam. Mungkin benar juga bahwa virus-virus yang dapat meresahkan keberlangsungan hikmat di pesantren adalah berasal dari orang-orang yang dulunya mempunyai pengalaman hidup gelap, namun tidak jarang juga mereka yang benar-benar bertaubat justru output setelah lulus dari pesantren sebanding dengan mereka yang dari awal menempuh pendidikan di pesantren. Jangan sampai kita meragukan orang-orang yang benar-benar bertaubat kepada Alloh SWT.

Kritik Sosial Dari Kaum Pemikir Liberal Pada Kaum Pemikiran Konservatif:

Kau bilang kau seorang yang paling tinggi, tapi nyatanya kau hanya digerakkan atas dasar sinergi

Sinergi kewajiban, sinergi untuk pahala, takut dosa, rasa pamor juga pamer

Bukankah sejatinya kita berbuat atas dasar Lillah? Mau kita dapati apa, itu adalah hak preogratif-Nya

Kau gencarkan konsepsi-konsepsi, kau getolkan berfikir dan diskusi,

Serta kau budayakan berpikir dan mendebat

Kau bilang kau priyayi, tapi terus saja kau bersikap bodoh dan ketinggalan jaman

Kau bilang kau santri, tapi kenapa kau bantah status kesantrianmu

Tak menjalankan ritual kesantrian, terus jalankan ritual abangan

Tak jalankan ibadah jamaa’h,  subuh siang kau pelihara dengan istiqomah

Apakah kita hanya akan menjadi kaum pemikir?

Kaum yang mengandalkan rasio namun tidak bertindak secara rasional.

Paham semua konsep dan teori,  berfikir radikal namun analisis dangkal

Tak sadarkah dikau dengan kekuatan yang ada diluarsana?

Beribu petuah kau dapati, berjuta nasihat kau ilhami

Tangan-tangan suci yang menarikulur atas ketidakmampuanmu berjuang,

melawan kemelut buaian mimpi

kau selalu diajak untuk bisa, namun dengan frontal kau mengelak dan meremehkannya

Kau bilang itu kebersamaan, tapi kau hanya loyal dengan yang sejajar denganmu

Clue: Antara objektivitas, subjektifitas, dan intersubjektifitas

Objektifitas dalam subjektifitas

Subjektifitas dalam objektifitas

Objektif yang intersubjektif

Intersubjektif yang subjektif

Intersubjektif yang objektif

Disini kita tidak berbicara benar dan salah, karena yang tahu benar dan salah hanyalah Alloh

Dan kebenaran yang sering kita tolak adalah kebenaran filsafat

Dan kebenaran rasional adalah kebenaran ilmu pengetahuan

Dan kebenaran yang paling mudah dipahami, adalah kebenaran umum atas dasar konsensus.