Pengaruh Iklan Commersial Break dalam Masyarakat

pondsSeiring perkembangan dunia dan teknologi yang pesat, perkembangan kondisi pasar sekarang ini juga telah membawa pengaruh terhadap strategi yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam menawarkan dan memasarkan produk-produk mereka. Maka membuat perusahaan harus lebih pintar dalam memilih cara yang tepat untuk menginformasikan produk-produknya. Salah satu cara memasarkannya adalah dengan cara mengiklankan produk mereka di media massa seperti koran, surat kabar, majalah, tabloid, baliho dan tertutama media pertelevisian agar menarik minat para konsumen. Dengan tujuan agar suatu produk dapat dikenal dalam masyarakat dan mendapatkan keuntungan dengan terjualnya produk kepada para konsumen. Hal tersebut menjadikan iklan komersial break seperti tontonan umum karena iklan komersial break yang ditayangkan secara berulang-ulang dalam pertelevisian yang memungkinan hal tersebut diingat oleh masyarakat serta mendatangkan rasa daya saing

diantara para pengusaha agar dapat menciptakan iklan yang terpadu dan menarik perhatian sebanyak mungkin dari masyarakat yang sebagai konsumen. Namun seiring banyaknya iklan komersial break yang ada dalam pertelevisian diciptakan tanpa memperhatikan dampak yang disebabkan dari iklan yang tak memenuhi syarat-syarat serta tak memandang etika dan moral dari pengadaan iklan. Dan hal inilah yang melatarbelakangi saya untuk menulis makalah tentang pengaruh komersial break terhadap masyarakat sebagai komsumen dan menganalisis komersial break dalam presperktif Post Strukturalisme dari Roland Barthes mengenai “Semiotika” dalam bab Pembahasan.

 

Konsep Teori Semiotika Menurut Roland Barthes

Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiolog pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik, semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika visual.

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. Menurut Barthes penanda (signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified) merupakan konteks tanda (sign)

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Misalkan kita melihat dua kuntum bunga mawar dalam setangkainya, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga merupakan lambang cinta. Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cinta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.

Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna “persidangan”.  Lapis kedua ini yang disebut konotasi.

Pandangan Roland Barthes dalam Karya-karyanya

Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap sejumlah fenomena budaya pop seperti  dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida. Barthes dapat digolongkan sebagai salah satu tokoh cultural studies dari kutub pemikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai cikal bakal berdirinya kajian budaya ini.

  1. Mythologies

Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua subbab, yakni: (1) “Mythologies”, dan (2) “Myth Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya yang dikenal belahan bumi manapun termasuk di Indonesia. Barthes sama sekali tidak menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis dan legendaris tersebut.

Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citroën, plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang topik-topik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa.

Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di balik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya. Mitos merupakan salah satu type of speech. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang kedua yang berjudul “Myth Today”.

  1. Fashion

Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode.

Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia. Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya, mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang selama ini sering dikonter oleh para feminis.

  1. Camera

Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya.

Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa.

Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer Prancis yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).

Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).

Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto-foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).

Definisi iklan

  1. Menurut Rhenald Kasali (1992):

Iklan didefinikan sebagi pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan untuk masyarakat melalui suatu media. Beda dengan pengumuman biasa, iklan lebih membujuk orang untuk membeli.

  1. Menurut PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia):

Periklanan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa dan ditujukan untuk sebagian atau seluruh masyarakat.

  1. Menurut Dunn & Barban (1996):

Periklanan adalah komunikasi non-personal melalui beragam media yang dibayar oleh perusahaan, organisasi non-profit dan individu-individu dengan menggunakan pesan iklan yang diharapkan dapat menginformasikan atau membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut.

  1. Menurut Gilson & Berkman (1980):

Iklan merupakan media komunikasi persuasif yang dirancang untuk menghasilkan respon dan membantu tercapainya objektifitas atau tujuan pemasaran.

Jenis-jenis Iklan

Iklan bila ditinjau dari tujuannya terbagi menjadi :

  1. Iklan Komersial (Comercial Advertising).

Iklan komersial adalah iklan yang bertujuan untuk mendukung pemasaran atau mempromosikan suatu produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan/industri maupun personal. Contoh iklan ini adalah iklan produk yang biasanya di televisi yaitu iklan Gulagu, iklan Gudang Garam, iklan Oreo dan lainnya. Ada 2 macam iklan komersial, yaitu:

  1. Iklan Strategis

Iklan macam ini digunakan untuk membangun merek (brand). Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek dan manfaat produk maupun jasa yang diiklankan. Perhatian utama dalam jangka panjang adalah memposisikan merek serta membangun pangsa pikiran dan pangsa pasar. Iklan macam ini mengundang konsumen untuk menikmati hubungan dengan merek serta meyakinkan bahwa merek ini ada bagi para pengguna.

  1. Iklan Taktis

Iklan taktis adalah iklan yang memiliki tujuan yang mendesak. Iklan macam ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan ini memberikan penawaran khusus jangka pendek yang memacu konsumen memberikan respon pada hari yang sama.

  1. Iklan Korporat atau Iklan Perusahaan (corporate advertising)

Iklan korporat bertujuan untuk membangun citra suatu perusahaan yang pada akhirnya diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Iklan Korporat akan efektif bila didukung oleh fakta yang kuat dan relevan dengan masyarakat, mempunyai nilai berita dan biasanya selalu dikaitkan dengan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Iklan Korporat merupakan bentuk lain dari iklan komersial yang bersifat strategis yaitu ketika sebuah perusahaan melakukan kampanye untuk mengkomunikasikan nilai-nilai korporatnya kepada masyarakat. Iklan korporat sering kali berbicara tentang nilai-nilai warisan perusahaan, komitmen perusahaan kepada pengawasan mutu, peluncuran merek dagang atau logo perusahaan yang baru atau mengkomunikasikan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar. Contoh iklan bank BNI dengan logo baru yaitu 46.

  1. Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertising).

Iklan Layanan Masyarakat merupakan bagian dari kampanye sosial marketing yang bertujuan menjual gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat. Biasanya pesan iklan layanan masyarakat berupa ajakan, pernyataan atau himbauan kepada masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan demi kepentingan umum atau merubah perilaku yang “tidak baik” supaya menjadi lebih baik, misalnya masalah kebersihan lingkungan, mendorong penghargaan terhadap perbedaan pendapat, keluarga berencana, dan sebagainya. Contoh iklan ini adalah iklan himbauan jangan korupsi, iklan BKKBN, iklan untuk jangan golput dalam pemilihan umum.

Syarat-syarat membuat iklan

Dalam kumpulan istilah.com (2010: baris 4), syarat-syarat iklan adalah sebagai berikut :

Dilihat dari bahasa iklan

  1. menggunakan pilihan kata yang tepat, menarik, sopan, dan logis
  2. ungkapkan atau majas yang digunakan untuk memikat dan sugestif
  3. disusun secara singkat dan menonjolkan bagian-bagian yang dipentingkan

Dilihat dari isi iklan

  1. objektif dan jujur
  2. singkat dan jelas
  3. tidak menyinggung golongan tertentu atau produsen lain
  4. menarik perhatian banyak orang

Penayangan iklan komersial break (iklan antara atau disela-sela jeda sebuah tayangan yang sedang ditayangkan di televisi) yang secara berulang-ulang pada media pertelevisian membuat suatu iklan dapat dengan baik diingat oleh masyarakat yang menontonnya. Seiring dengan banyaknya iklan komersial break seperti menjadi kekuatatn ideologis yang tertanam yang membentuk kebiasaan budaya dan perilaku dari individu yang menontonnya. Seperti contoh iklan komersial break pada produk kencantikan (ponds, fair dan lovely, tjefuk, biore, marina hand and body lotion, vaselin, dll) yang marak beredar di Indonesia. Di dalam iklan tersebut menyuguhkan gambaran mengenai takaran kecantikan di Indonesia dengan wajah dan tubuh berkulit yang putih mulus seperti idaman tidak hanya bagi para wanita tetapi juga bagi para lelaki. Hal tersebut seperti sudah tertanam dalam setiap individu di Indonesia. Padahal senyatanya orang di Indonesia berkulit sawo matang. Sehingga kebanyakan wanita di Indonesia berduyun-duyun untuk menjadikan kulit mereka menjadi putih bersih dan mulus dengan membeli produk kecantikan itu sendiri ataupun dengan perawatan kulit yang lainnya juga. Namun hal itu berbanding terbalik dengan  takaran kecantikan di negara Afrika Barat yang memandang takaran kecantikan masyarakat disana dengan memiliki gusi berwarna hitam, karena diyakini bahwa seorang wanita yang “memiliki gusi hitam” akan membuat senyum mereka menjadi semakin menawan di mata lelaki disana. Di Burma dan Thailand yang merupakan Suku Kayan melihat takaran kecantikan disana dengan memakai gelang berbentuk melingkar yang beratnya bisa mencapai 10,5 kg disekitar leher mereka dengan tujuan agar “memiliki leher yang panjang layakanya leher jerapah”. Karena para wanita di Suku Kayan beranggapan bahwa leher dengan gelang yang bersinar merupakan tanda kedudukan dan keagungan mereka. Kemudian takaran kecantikan wanita di Ethiopia, tradisi wanita disana memandang “cantik adalah dengan bekas luka cakar”. Bekas luka tersebut bukanlah luka yang tidak disengaja, justru merekalah yang sengaja membuatnya sendiri dengan menyayat perut mereka. Mereka beranggapan bahwa semakin banyak bekas luka cakar, maka mereka semakin cantik dan luka tersebut dapat memuaskan lelaki. Dan di negara Afirka Barat, Mauritania menganggap takaran kecantikan wanita disana “Big is Beautiful”. Tentu takaran kencatikan tersebut berbeda sekali dengan takaran kecantikan di Indonesia.

Selain itu, iklan komersial break pada semua produk perawatan rambut, yang menyuguhkan bahwa rambut yang bagus adalah rambut lurus. Padahal di Indonesia, lebih tepatnya Papua mayoritas mereka asli berambut keriting. Menyebabkan trend rebonding atau meluruskan rambut itu sempat menjadi booming dikalangan masyarakat terutama bagi kalangan remaja.

Iklan komersial break Teangin Cap Badak yang menyuguhkan suasana perkuliahan dengan seorang dokter nan ternama, tiba-tiba salah satu peserta kuliahan ada yang tampak kuyu dan lemas. Kemudian sang dokter memberikan Teangin Cap Badak agar mengobati masuk angin si mahasiswa. Tanpa disangka akhirnya mahasiswa tersebut bersendawa keras sekali. Dan iklanpun ditutup dengan bunyi sendawa lagi. Padahal bagi tradisi ataupun adat Jawa sendawa sembarangan sama halnya dengan kentut sembarangan, dan kentut itu sendiri merupakan hal yang mejijihkan. Dan masih banyak iklan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan.

Iklan komersial break selain digunakan untuk memasarkan sebuah produk agar produk yang ditawarkan terjual kepada masyarakat sebagai konsumen, di dalam iklan itu sendiri mempunyai pesan-pesan tersemubunyi yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan kepada penerima iklan (konsumen) yang dimana pesan tersebut dirancang untuk mempengaruhi sikap dan perilaku gaya hidup dengan menganjurkan tentang bagaimana kita bisa memuaskan dorongan dan aspirasi terdalam melalui konsumsi. Sehingga iklan dikenal sebagai akar sebab dari neomania (kegilaan terhadap hal-hal baru akibat termediasi oleh sejumlah iklan yang telah dilihatnya).

Saya ambilkan contoh pada iklan komersial break Teangin Cap Badak bila ditafsirkan secara denotatif  mengambarkan suasana perkulihan diantara sang dosen yang merupakan dokter dengan mahasiswanya. Tiba-tiba ada mahasiswanya yang tampak kuyu dan lemas dan sang dokter memberikan Teangin tersebut dan mahasiswapun bersendawa setelah meminumnya. Bila ditafsirkan lebih dalam (secara konotatif) iklan tersebut menggunkan peran dokter, dimana dokter dalam masyarakat dianggap sebagai orang yang lebih pintar dari masyarakat pada umumnya dan dipercayai mampu mengobati segala macam panyakit. Sehingga ketika sang peran dokter memberikan Teangin tersebut sang mahasiswapun terlihat tampak segar dan sehatan dengan menunjukan sendawanya. Selain itu logo pada Teangin yang menggunakan cap Badak menandakan tanda kekuasaan dan kedamaian. Dimana dalam alam nyatanya sang badak memiliki postur tubuh yang lebih besar. Myte seperti ini kemudian dikaitkan pada produk tersebut dengan harapkan dapat menjadi yang terbaik dan unggul (menguasai) dari produk yang sejenisnya. Dalam pemasaranya-pun sang pembuat iklan membuat kode “yang ada cap badaknya” dan kode tersebut secara berulang-ulang disampaikan pada saat iklan membuat masyarakat lebih mudah dalam mengingat akan produk ini, dengan tujuan produk ini dapat terjual degan cepat.

Dampak Iklan bagi Masyarakat

  1. Iklan dapat memberikan pesan yang salah kepada masyarakat.

Dikatakan bahwa tujuan utama iklan adalah membujuk para calon pelanggan untuk melakukan pembelian barang. Kadang kala, banyak orang pada akhirnya membelanjakan uangnya pada level membuang-buang uang karena mengira mereka membutuhkan suatu produk, padahal sekedar menginginkan karena tertipu pesan salah yang ditekankan oleh iklan.

  1. Iklan dapat menjadi hal berbahaya bagi masyarakat.

 Iklan membuat seseorang menginginkan hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Hal ini pada akhirnya dapat menggiring ke sifat materialistis, egois, konsumenrisme atau membuat seseorang merasa inferior atau tidak puas dengan dirinya sendiri saat tidak memiliki atau menggunakan suatu produk.

  1. Iklan dapat memberikan efek sangat buruk kepada anak-anak.

Anak-anak tidak mengetahui jika tujuan iklan adalah untuk menjual suatu barang atau jasa. Jadi, anak-anak melihat iklan dan dapat diyakinkan dengan mudah bahwa apa yang mereka lihat di iklan adalah apa yang mereka inginkan. Iklan membuat produk-produk yang ditawarkan terlihat menarik dan merupakan idaman.

Simpulan

Iklan didefinikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan untuk masyarakat melalui suatu media dengan membujuk orang untuk membeli dengan harapan pesan dari iklan yang disampaikan dapat menginformasikan atau membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut. Dengan berbagai macam jenis iklan yang ada, proses penayangan iklan komersial break lah yang secara berulang-ulang pada media pertelevisian membuat suatu iklan dapat dengan baik diingat oleh masyarakat yang menontonnya. Seiring dengan banyaknya iklan komersial break seperti menjadi kekuatatn ideologis yang tertanam yang membentuk kebiasaan budaya dan perilaku dari individu yang menontonnya. Yang memberikan kecenderungan yang lebih dalam di masyarakat kotemporer yang semakin terurbanisasikan. Selain itu makna iklan kadang disalah artikan oleh masyarakat yang sebagai pembaca iklan, ada juga iklan yang kurang sesuai apabila dilihat oleh anak-anak dibawah umur dengan menyuguhkan tayangan yang tidak layak dipertontonkan bagi anak-anak, iklan juga menjadi akar sebab dari neomani atau sebuah kegilaan pada hal-hal baru akibat termediasi dengan sejumlah iklan yang telah ditonton oleh masyarakat.

Oleh sebab itu dibuatlah persyaratan dalam membuat iklan agar iklan yang ditayangkan sesuai dengan keadaan dari masyarakat yang berdasarkan etika dan moral.

Saran

  1. Dengan makin maraknya iklan yang beredar di pertelevisian kita sebagai masyarakat harus selektif dalam melihat isi mapun makna yang akan disampaikan dari iklan.
  2. Sebagai konsumen kita diharapkan bijak dalam membeli setiap produk yang kita inginkan, dimana sebuah produk yang kita beli harus dilihat terlebih dahulu apakah barang itu bermanfaat bagi kita ataukah sebaliknya, agar kita terhindar dari perilaku konsumtif terhadap produk-produk yang diiklankan.
  3. Janganlah terlalu percaya atau menanamkan dalam diri anda bahwa sesuatu yang terdapat dalam sebuah iklan merupakan suatu kebenaran yang mutlak, karena sekarang banyak iklan yang melakukan modifikasi didalam isi dari iklan. Seperti iklan kecantikan yang modelnya kulitnya lebih diputihkan karena efek edit foto atau gambar.

DAFTAR PUSTAKA

Danesi Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media : Jalasutra.

https://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/09/semiotika-menurut-pandangan-roland_820.html

https://bolu91.wordpress.com/2011/05/23/makalah-fenomena-iklan-komersial-televisi/

https://hermawayne.blogspot.com/2009/09/kecantikan-menurut-persepsi-berbagai.html

1 comments

  1. artikelnya sangat membantu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: