Tradisi Memperingati Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa di Pudak Payung Kecamatan Banyumanik Kota Semarang

  1. Sejarah Awal Mula Malam Satu Syuro

Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

1 Syuro adalah awal tahun Muharam, tahun Islam yang telah ditranskulturisasi dengan tradisi ritual Jawa kuno. Karaton Mataram menerima dan mengembangkan ide transkulturasi terutama sejak Sultan Agung dari Karaton Yogyakarta. 1 Syuro menjadi bagian penting dari sebuah siklus kehidupan manusia.

  1. Makna Malam 1 Syuro Bagi Masyarakat Jawa

Malam satu syuro merupakan salah satu ritus tahunan yang hampir setiap tahun dirayakan oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat Jawa yang berada di daerah Yogyakarta, Surakarta, Solo, Semarang, dan kota-kota lainnya. Malam satu suro merupakan suatu pergantian tahun pada penanggalan Kalender Jawa. Sama halnya dengan tahun baru pada umat Islam yang dimulai dengan tanggal 1 Muharram tahun Hijriah atau sama halnya dengan tahun baru Masehi yang dimulai pada tanggal 1 Januari Tahun Masehi.

Malam 1 Syuro sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik, perubahan tahun tetapi juga mempunyai dimensi spiritual. Orang Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa bertepatan dengan tahun Hijriyah, menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis. Orang-orang Jawa menjalanku laku ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya.

Lelakoning kanthi laku, yang dimaksud adalah laku spiritual. Setiap anggota masyarakat, anggota komunitas tertentu, atau institusi menjalankan tirakat dengan berbagai cara. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll.

1 Syuro menjadi bagian penting dari sebuah siklus kehidupan manusia. Ia menandai bergantinya Naga Dina dan Naga Tahun, yakni berubahnya sifat dan karakter kosmis, berserta dunia Gaib, yang secara langsung diyakini mempengaruhi kehidupan manusia dibumi. Orang Jawa melengkapi ritual kehidupan itu sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Maha Tinitah, yang diyakini sebagai Dzat Suci yang memberi hidup dan menghidupi. Seluruh gerakan bersama, manusia dan alam, roh-roh dan kehidupan gaib, semuanya berasal dari kekuasaanNya. Oleh sebab itu, pergantian tahun adalah terjadinya pergantian kosmis, yang disebut sebagai siklus cakramanggilingan. Yaitu, kehidupan diasumsikan berputar silih berganti seperti berputarnya roda. Ada saat jaman keemasan (age d’or), ada saat jaman mengalami masa kegelapan, kalabendu (age de sombre). Di jaman yang bergulir manusia harus selalu eling dan waspada.

Wujud dari perilaku eling dan waspada salah satunya dengan cara menjalankan ritual malem 1 Syura. Saat datangnya malam tahun baru, orang harus melakukan mesu diri (melakukan laku spiritual) dengan berkosentrasi pada penguasaan diri (mawas diri) selama semalam suntuk. Dalam situasi yang khusyuk tersebut, diri orang Jawa melebur ke dalam dunia yang tengah berubah. Memanjatkan kepada Yang Maha Agung doa dan permohonan serta rasa syukur terhadap berkah dan inayah yang selama ini diterimanya. Dalam kesempatan ini pulalah, seseorang membaca perubahan yang akan terjadi di tahun mendatang. Petunjuk akan apa yang terjadi pada masa depan sangat penting bagi orang Jawa, terutama untuk menyikapi Naga Taun dan mengantisipasi bencana dan menyiapkan berkah yang mungkin bisa diberikan kepadanya.

 

  1. Proses Tradisi Syuroan

Tradisi Suronan di daerah Pudak Payung sendiri berbeda dengan tradisi Suroan di daerah lain karena di sini proses tradisi Suroan dibuat lebih mudah. Di daerah lain tradisi Suroan lebih rumit seperti penyembelihan kambing, kirab kebo bule, kirab pusaka seperti yang dilakukan di Keraton. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.

Lain halnya lagi di Surakarta, peringatan malam satu suro dilakukan dengan mengadakan berbagai ritual. Orang-orang Jawa menjalani laku ritual malam 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya. Setiap anggota masyarakat, anggota komunitas tertentu, atau institusi menjalankan tirakat dengan berbagai cara. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll.

Tradisi Suroan di daerah Pudak Payung dilaksanakan lebih mudah, pukul 7 (tujuh) malam atau sehabis adzan Isya’ warga berbondong-bondong menuju perempatan kampung dengan membawa makanan atau minuman. Berbeda dari daerah yang lain seperti penyembelihan kambing lalu dimasak bersama, di Pudak Payung tidak ada aturan yang mengharuskan warga harus membawa makanan dan minuman yang ditentukan sehingga warga bebas membawa apa saja. Biasanya warga membawa nasi kuning, gudangan, nasi uduk, roti, jajanan pasar seperti arem-arem, lemper, dan masih banyak lagi. Ada juga yang membawa minuman seperti air mineral kemasan, susu, es teh, dan jahe. Tak hanya itu, ada pula warga yang membawa buah-buahan seperti jeruk dan semangka.

Makanan dan minuman tersebut lalu di taruh di perempatan jalan kampung beralaskan daun pisang atau kertas koran secara berjejer memanjang sejauh kurang lebih dua puluh meter. Semua warga dari anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, hingga kakek-nenek berkumpul di perempatan ini. Para warga pun bercengkerama bersama sembari menunggu sesepuh desa yang memimpin jalannya tradisi tersebut datang. Sesepuh desa baru akan datang ketika setelah kumandang adzan Isya’ karena di masjid setempat juga ada peringatan malam satu syuro sendiri, namun bedanya jika di masjid peringatan tradisi tersebut hanya didatangi oleh bapak-bapak.

Kumandang adzan Isya’ pun terdengar dan di perempatan jalan pun telah ramai sesak dipenuhi para warga yang tengah berkumpul. Tak beberapa lama sesepuh desa pun datang dan mulai mengawali jalannya acara. Sesepuh desa lalu mulai membacakan doa dan suasana yang sebelumya riuh ramai menjadi hening. Ketika sesepuh desa mulai membacakan doa dan permohonan, saya sendiri tidak begitu dapat mengerti doa yang dibacakan sesepuh desa tersebut karena menggunakan bahasa Jawa krrma inggil, namun setelah saya tanyakan kepada orang tua saya, inti dari doa tersebut adalah memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang diberikan kepada kita semua dan meminta lindungan dari bencana dan meminta agar diberi kesehatan untuk kita semua.

Setelah sesepuh desa selesai membacakan doa dan permohonan, sesepuh desa pun mempersilahkan warga untuk mulai memakan makanan dan minuman yang ada. Suasana pun menjadi ramai kembali karena warga mulai berebut makanan. Para warga pun makan bersama di perempatan jalan tersebut tidak mempedulikan dia kaya atau miskin, tua atau muda, semuanya terlihat senang makan bersama dan duduk di perempatan jalan. Setelah warga selesai makan, para warga bahu membahu membersihkan sisa-sisa sampah yang berserakan di jalan. Malam harinya, bapak-bapak melakukan lek-lek an yang artinya melek atau begadang hingga pagi hari di masjid, atau di pos-pos ronda di tiap RT masing-masing.

  1. Tujuan dari Tradisi Syuroan

Tradisi Syuroan di Kelurahan Pudak Payung Kecamatan Banyumanik Kota Semarang ini adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan kesehatan untuk kita semua. Selain itu juga mereka bersyukur atas terhindarnya Desa mereka dari berbagai bencana seperti banjir. Dengan demikian warga dapat hidup nyaman, rukun dengan saling membantu antara satu dengan yang lainnya.

  1. Esensi Tradisi Syuroan Bagi Masyarakat

Penyelenggaraan upacara adat atau aktivitas ritual memiliki arti bagi masyarakat yang bersangkutan, selain sebagai permohonan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai sarana sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tradisi Syuroan yang dilaksanakan oleh masyarakat Pudak Payung merupakan upacara religi yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang didasarkan atas adat kebiasaan atau suatu kepercayaan yang menandai kesakralan dan kehikmatan peristiwa tersebut.

Tradisi Syuroan di Pudak Payung merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang didalamnya terdapat nilai sosial budaya, nilai ekonomi, dan nilai keagamaan. Nilai sosial budaya dan ekonomi dalam tradisi Syuroan berfungsi sebagai sarana komunikasi, silaturahmi antar warga masyarakat Pudak Payung dan untuk melestarikan budaya leluhur yang diwariskan secara turun menurun. Sementara nilai keagamaan dalam tradisi Syuroan berfungsi sebagai sarana untuk mendakwahkan ajaran Islam.

GAMBAR TRADISI SYUROAN DI PUDAK PAYUNG

foto

10 thoughts on “Tradisi Memperingati Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa di Pudak Payung Kecamatan Banyumanik Kota Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: