Sederetan tank angkut amfibi Marinir TNI Angkatan Laut terjun dari dermaga ke Selat Sunda di Cilegon, Banten, Senin (5/10/2015). Tank-tank tersebut melaju dengan kecepatan tinggi, lalu menghunjamkan diri ke laut dari ketinggian 5 meter lebih. Rantai tank tetap utuh….
Sebelumnya, defile tank tempur utama M2A-4 Marder, kendaraan tempur pengangkut pasukan M-113 dan IFV Marder, serta Anoa, lalu tank Marini BMP-3 juga melintas melaju di depan panggung kehormatan tempat Presiden dan Panglima TNI berdiri. Semua tank tersebut menggunakan rantai dan sebagian roda, ban dan penggerak, serta suspensinya dibuat di sebuah bengkel kerja di Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Edi Suyanto, pendiri Indo Pulley, adalah sosok di balik produksi rantai tank buatan dalam negeri tersebut. Kemudian, lima tahun lalu dia mulai memproduksi rantai tank AMX-13 buatan Prancis yang jumlahnya 600 unit lebih digunakan TNI.
“Waktu itu saya diminta KSAD Jenderal (TNI) Pramono Edhie untuk membuat rantai tank AMX. Setelah uji litbang TNI AD, dinyatakan lulus. Saya selanjutnya juga berinovasi membuat ban tahan peluru kaliber 7,62 milimeter. Ban itu bisa dikendarai hingga 120 kilometer setelah kempis. Lebih jauh dibandingkan standar NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) yang hanya bisa sejauh 20 kilometer setelah tertembak,” kata Edi di Depok, Selasa (6/10).
Dia juga dilibatkan Kementerian Pertahanan untuk memproduksi rantai tank, serta sus-pensi dan roda tank untuk beberapa proyek kerja sama Kementerian Pertahanan dengan mitra asing.
Inovasi yang dilakukan Edi Suyanto juga menambah kemampuan kendaraan tempur. Misalnya, penambahan komponen karet pada rantai tank BMP-3 memungkinkan tank Marinir buatan Rusia itu melompat di landasan beton tanpa menyebabkan rantai terputus. Pada versi asli milik Rusia, rantai tank tersebut tidak memakai bantalan karet.
Harapan serupa dikemukakan Ricky Egam, pendiri PT Sari Bahari di Kota Malang, Jawa Timur. Ricky melalui Sari Bahari memproduksi bom latih, bom hidup, dan roket latih serta roket hidup yang digunakan TNI AU. Beberapa produknya sudah diekspor ke mancanegara, seperti kepala roket asap ke Cile dan AS tahun 2013.
Kepala roket asap ini dijadikan sarana berlatih pilot-pilot tempur angkatan bersenjata Cile. Kepala roket asap buatan Sari Bahari memiliki keunggulan mampu mengeluarkan asap selama 2 menit setelah terkena sasaran.
Produk lain hanya mampu mengeluarkan asap kurang dari 1 menit. Kepulan asap pasca ledakan sangat vital bagi pilot tempur, sebagai penanda bom yang ditembakkan tepat sasaran atau tidak.
“Saya salut, baru saja Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna meminta 10 perusahaan BUMN dan swasta untuk serius memasok kebutuhan TNI AU. Ini langkah maju,” kata Ricky, yang mampu memproduksi puluhan ribu bom latih. Khusus bom latih jet tempur Sukhoi ukuran 100 kilogram, hanya diproduksi di Indonesia sehingga sangat potensial untuk diekspor.
Saat ini, Sari Bahari sedang mengembangkan rudal petir, yaitu rudal darat ke darat seberat 10 kilogram yang bisa melesat dengan kecepatan 250 kilometer per jam. Ditargetkan, tahun 2016 PT Sari Bahari sudah bisa mulai menjual produk tersebut.
Sari Bahari dibangun Ricky tahun 1993. Awalnya, perusahaan itu hanya melayani pengadaan barang dari badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang industri strategis (pertahanan). Barang yang disuplai Sari Bahari di antaranya beragam mesin dan suku cadang peralatan strategis militer.
“Perusahaan domestik sebenarnya memiliki kemampuan memproduksi alutsista untuk kepentingan pertahanan dalam negeri. Hanya, memang butuh niat baik pemerintah. Jika setiap periode kepemimpinan fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan alutsista domestik, saya yakin perusahaan dalam negeri bisa memenuhinya. Kita bisa memenuhi kebutuhan alutsista tanpa harus selalu impor,” kata Ricky.
TNI AU, misalnya, menurut Ricky, sudah mengambil langkah strategis dengan memberikan payung hukum bagi perusahaan dalam negeri untuk mengembangkan alutsista bagi kepentingan TNI AU. “Beberapa bulan lalu, Kepala Staf TNI AU Agus Supriatna menandatangani kesepakatan yang mengajak 10 rekanan, baik BUMN maupun BUMS (perusahaan swasta), untuk mengembangkan alutsista bersama-sama. Ini langkah baik mendukung pemenuhan kebutuhan alutsista oleh perusahaan dalam negeri,” kata Ricky.
Kemandirian Industri pertahanan dalam negeri yang menghasilkan alutsista perlu merangkul industri terkait lainnya demi mencapai kemandirian industri pertahanan nasional secara menyeluruh. Kunci untuk memajukan industri alutsista dalam negeri demi memperbaiki kondisi perekonomian terletak pada memajukan lini industri pendukungnya.
“Bicara unsur pertahanan, kita harus melihat jejaring industri sampai pada pendukungnya. Jangan sampai kita memajukan industri pertahanan, tetapi lini jejaring industrinya tidak terbangun dengan baik,” kata Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/10).
Mahfudz mencontohkan industri baja untuk bahan baku pembuatan sejumlah alutsista, seperti badan tank atau kapal. Kalau industri baja tidak dikembangkan, tentu sulit memenuhi bahan baku. Hal itu menyebabkan sebagian produk industri pertahanan dalam negeri masih bergantung pada hasil impor.
Secara terpisah, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan komitmen untuk menggunakan produk dalam negeri. “Kami memesan dari PT PAL dan sejumlah galangan kapal swasta di Batam, Lampung, Jakarta, hingga Samarinda. Kalau ada bagian yang belum bisa dibuat di dalam negeri, tentu bisa diupayakan alih teknologi dengan negara tempat kita memesan,” kata Ade, yang merancang platform peluncuran rudal Yakhont di KRI Oswald Siahaan. (ong/age/dia/che/sem/ody)
Kompas.com