What is trassi?” Demikian pertanyaan Anna Forbes tatkala berjejak di Ambon. Anna merupakan istri dari naturalis sohor asal Inggris, Henry Ogg Forbes. Pasangan itu menjelajahi Nusantara tahun 1880-an.
Ketika Anna berada di dapur, dia melihat paket kecil dalam bungkus daun pisang yang tergeletak di lantai. Kemudian dia bertanya kepada Kobez—demikian Anna menulis nama seorang anak lelaki yang mengingatkan kita pada kobis sayuran. Kobez merupakan seorang koki yang melayaninya selama di Ambon.
“Barang apa ini?” tanya Anna kepada Kobez sembari menyentuh bungkusan itu dengan hati-hati.
“Oh! Nyonya, itu adalah terasi.”
“Terasi? Macam mana pula itu terasi?
“Melezatkan masakan, Nyonya.”
“Apakah saya pernah menyantapnya?”
“Pastilah, Nyonya; ini enak sekali.”
“Kamu pasti bohong! Apakah kamu berencana meracuni saya dan juga dirimu sendiri?”
“Wah, kalau bohong saya bisa kena gondokan, Nyonya, tetapi ini memang betul-betul enak,” kata Kobez. Kemudian lelaki itu memegang lehernya dan berikrar, “Sumpah mati!”
Anna pun membuangnya jauh-jauh dari Kobez yang terlihat sendu setelah kejadian ini. Kendati demikian, Anna tak berniat mengancam si koki apabila dia mengambil kembali bungkusan mengerikan itu.
Anna bukanlah orang Eropa yang pertama yang merasa aneh dengan terasi. Dalam catatan perjalanannya ke Hindia Belanda yang berjudul Insulinde (yang diterbitkan ulang seabad kemudian berjudul Unbeaten Tracks in Islands of The Far East), Anna menyebut nama William Dampier. Dampier adalah penjelajah Inggris pertama yang mengelilingi dunia sebanyak tiga kali sejak tahun 1679 hingga 1691, dan tentu saja berkunjung ke Nusantara. Dampier menjadi orang Inggris pertama yang menjelajahi sebuah kawasan yang kita kenal sekarang sebagai bagian dari Australia, kira-kira 80 tahun sebelum Kapten James Cook mendarat di sana.
Dampier menerangkan tentang terasi dalam catatan penjelajahannya yang sohor, A New Voyage Round the World yang terbit pada 1707. Tampaknya inilah catatan tertua dari Eropa yang mengungkapan rasa terasi.
“Sebuah komposisi bau yang kuat, namun menjadi hidangan yang sangat lezat bagi penduduk asli,” tulis Dampier dalam bukunya.
Dampier juga menuliskan bahwa dahulu terasi, ikan dan garam yang diolah seperti acar masih dicampur arak dan dimasukkan guci untuk mengawetkannya. “Aromanya sangat kuat. Namun, setelah menambahkannya pada masakan rasanya menjadi gurih.”
Catatan perjalanan Anna Forbes tersebut diterbitkan pertama kali di tahun 1887. Perempuan itu memulai penjelajahannya dari Batavia, kemudian berlayar menuju Pulau Sulawesi dan berlabuh di Makassar. Dirinya menetap beberapa lama di kota ujung selatan itu, sebelum dirinya melanjutkan berlayar ke Maluku, Ambon, Banda, dan terakhir di sebuah permukiman orang-orang Portugis di Timo (atau Timor), Nusa Tenggara.
Anna menceritakan perjalanannya yang menurutnya adalah bagian dari menjalani hidup. Lengkap dengan kenikmatan, kesenangan dan rasa ketidaknyamanan seperti demam sepanjang perjalanan. Tidak terkecuali terasi, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dapur Nusantara, telah memberikan kenangan pengalaman melancong baginya.
nationalgeographic.co.id