By JS Khairen *
Pada 2045, Indonesia akan berusia 100 tahun. Saat itu yang akan menjadi pemimpin di berbagai tempat ialah generasi muda sekarang.
Siapkah kita menyongsong satu abad Nusantara? Akan seperti apa bangsa ini nantinya? Akankah terus tenggelam atau berjaya? Mana pun, ada peran kita di dalamnya. Masa depan dibangun dari sekarang, bukan diwariskan oleh orang tua. Tanggung jawab besar ini kita pikul bersama, kawan. Generasi muda Indonesia hari ini disebut generasi sok tahu dan penuh wacana.
Duduk di kafe dengan gadget di tangan. Sebuah kemewahan semu. Sebagai generasi wacana, apa saja selesai oleh mereka tapi minim praktik. Hanya sampai di ujung bibir, tak ada langkah nyata. Hampir semua sisi kehidupan diprotesnya, tapi tingkahnya tak semakin baik. Mewah dan pura-pura mewah, pura-pura maju, pura-pura kaya. Padahal bangsa ini kenyang perkataan, haus perbuatan kata Alfatih Timur.
Indonesia sedang menggenggam generasi yang rapuh penuh simbol, gadget, mal, nongkrong, jalan-jalan, ketawaketiwi dan tak peduli dengan mereka yang tertatih menjalani kehidupan hari demi hari. Generasi hampa, tidak kukuh dan tentu saja tidak militan. Tapi di tengah situasi semacam itu muncul beberapa anak muda yang kreatif yang bisa menjadi ladang nafkah bagi banyak orang.
Memberikan Sesuatu Pada Negara?
Puluhan tahun lalu, mantan Presiden Amerika Serikat JF Kennedy, berpidato “Jangan tanyakan apa yang negaramu bisaberikanpadamu, tapitanyakan apa yang bisa kau berikan pada negaramu.” Kalimat ini dikagumi hingga saat ini. Sering digunakan untuk membangkitkan semangat patriotisme di belahan dunia mana pun. Bagi saya sendiri, dulunya ungkapan ini berkesan negatif.
Bagaimana mungkin nelayan miskin, buruh yang dihimpit utang, atau pasukan oranye yang harus bangun di pagi buta sempat memikirkan untuk memberikan sesuatu pada negara yang bahkan belum bisa membuat mereka sejahtera ini. Bukankah harusnya kita bertanya, apa yang sudah diberikan negara ini pada penambang di Ijen yang harus mengangkat seratus kilogram lebih sulfur setiap harinya? Atau kenyamanan publik apa yang sudah didapatkan para pembayar pajak?
Sudahkah negara ini menyelamatkan kaum miskinnya? Kita pun dihadapkan pada tantangan multidimensi. Kusut masai di mana-mana. Saya baru memahami ucapan JF Kennedy setelah merenungkan itu semua. Kita harus bangun tempat hidup yang lebih baik di masa depan dengan kecintaan pada bidang masingmasing. Tempat hidup itu bernama Indonesia.
Bukan Warisan
Membaca teori dari Prof Rhenald Kasali mengenai selfdriving, anak muda mana yang tidak terbakar emosinya? Dalam hati, saya berceletuk “Seenaknya ini profesor mengatakan kebanyakan anak muda kita adalah passenger.” Teori itu menyindir bahwa “Kita adalah burung dara yang diikat sayapnya.” Namun jika merunut pada pemaparan Prof Rhenald Kasali dan berkaca pada realita keseharian, saya berpikir “Benar juga ini, gawat!” Kurang lebih teori itu mengatakan; setiap manusia diberikan kendaraan yaitu dirinya sendiri.
Jika berhasil menjadi good driver untuk diri sendiri maka ia bisa lanjut ke tahap selanjutnya yaitu drive others, drive your society dandrive your nation. Bagi yang terperangkap akan menjadi passenger. Potensi yang ia miliki terkubur di alam pikirannya. Nyaris tak ada karya nyata karena dikerubungi badai wacana.
Takut mengambil risiko dan minim inisiatif. Lebih jauh lagi, di beberapa negara dikenal istilah strawberry generation. Yaitu mereka yang kreatif, banyak akal, gemilang dan berprestasi. Tapi akan halnya stroberi, generasi ini lembek tidak tahan pada tekanan. Sedikit saja dimarahi langsung depresi. Tidak mendapat yang diinginkan, langsung galau berkepanjangan.
Sebagian besar empati kita, semangat kita yang menggebugebu, kreativitas kita yang tak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya telah terkubur. Namun, itu semua masih bisa dibangkitkan. Kita masih bisa keluar dari badai wacana untuk Indonesia masa depan.
The Conritium Cell
Mungkinkah Soekarno- Hatta hanya duduk merenung berkepanjangan, dan tiba-tiba Indonesia merdeka? Mungkinkah seorang pelajar SMA merenung saja sambil menggigit ujung pena dan sekerlip mata ia menjadi lulusan UI, UGM atau ITB? Jawabannya tidak mungkin. Semua itu hanya bisa tercapai karena wacana yang dikonkretkan. Kita dianugerahi kemampuan membangun visi.
Uniknya, tak kita iringi dengan memperkuat concritium cell atau “sel mengonkretkan sesuatu” pada diri kita. Tentunya hingga saat ini sel ini tidak ada secara ilmu biologi, melainkan hanya kiasan saya saja. Ada teman-teman kita yang sebagian besar wacananya selalu ia konkretkan, kita bisa belajar darinya karena concritiumcell -nya kuat. Mengasah sel ini, tentu diperlukan daya dobrak dan daya juang.
Pendahulu kita yang telah sukses, pasti berdarahdarah sebelumnya. Mereka rela tidur lebih sedikit untuk berkarya. Jika Anda ingin mengasah ini, triknya adalah Anda harus keluar dari zona nyaman. Bawa keresahan dan kegalauan Anda terhadap apa pun itu menjadi bahan bakar untuk sebuah karya, agar Anda tidak ikutikutan seperti kebanyakan anak muda yang bisanya mengumpat atau mengata-ngatai orang saja. Selain itu, bisa juga dengan melakukan perjalanan ke luar negeri sendirian.
Negeri yang jauh, yang asing sehingga Anda benar-benar tak punya tempat untuk bersandar selain diri sendiri. Seperti yang saya dan rekan-rekan mahasiswa FE UI tuliskan dalam buku berjudul “30 Paspor,” yang akan segera difilmkan. Konon katanya, Anda baru tahu siapa diri Anda setelah menjadi minoritas. Seperti kata penulis Agustinus Wiboro, “perjalanan fisik adalah perjalanan yang jauh ke dalam hati”.
Jika hari ini kita menganggap banyak hal buruk berseliweran, jika hari ini kita menganggap Indonesia masih terpuruk, maka jangan biarkan generasi setelah kita mengatakan dan melihat hal serupa nantinya. Kawan, ini suratku untukmu. 30 tahun lagi, jika kau kembali membacanya, pastikan kau tersenyum saat itu.
*Novelis, Kepala Divisi Kreatif Rumah Perubahan Rhenald Kasali @JS_Khairen
(ars)
source: https://nasional.sindonews.com/read/1043308/18/surat-untuk-anak-muda-indonesia-1441941485