Diaspora, istilah ini mulai populer digunakan di Indonesia, meski belum banyak yang begitu memahaminya. Namun, istilah yang dipinjam dari sejarah jewish ini adalah fatka yang sedang terjadi diantara anak-anak bangsa Indonesia. Bahwa bukan hanya Indonesia saja yang memiliki jutaan generasi diaspora di berbagai belahan dunia, Cina sudah lebih dahulu melakukannya berabad-abad lampau, kemudian disusul oleh India.
Diaspora Indonesia adalah warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di luar negeri karena belajar, bekerja atau berbisnis, orang Indonesia yang sudah berganti menjadi warga negara setempat, atau orang keturunan Indonesia karena pernikahan orang Indonesia dengan orang asing, maupun orang asing yang cinta dengan Indonesia.
Salah satu diaspora Indonesia yang hidup sukses di negeri orang adalah Iwan Sunito. Pria kelahiran Surabaya ini adalah pengusaha properti besar di negara kanguru, Australia. Kerajaan bisnisnya dimulai dari mendirikan Crown Group Holdings (Crown Group), perusahaan berbasis di Sydney yang mengkhususkan diri dalam pengembangan properti, investasi properti dan hotel.
Perusahaan yang didirikan pada tahun 1994 oleh Iwan Sunito yang seorang arsitek bersama seorang temannya Paul Sathio yang seorang insinyur ini telah menjadi perusahaan holding yang merajai pasar pembangunan properti di Australia.
Iwan yang dahulu mengaku bukan anak yang pintar di sekolah karena sering tidak naik kelas ketika SD sampai SMA di Pangkalan Bun, Kalimantan. Namun berkat kerja keras kedua orang tuanya Iwan mampu pergi ke Australia dan mengambil kuliah, dan meraih Sarjana Teknik dibidang Aristektur. Kemudian melanjutkannya ke jenjang Master untuk manajemen konstruksi di negara yang sama. Semenjak kuliah itulah pengalamannya dibidang konstruksi diasah, bahkan pria yang sebenarnya memiliki kegemaran menggambar pesawat ini rela untuk tidak dibayar hanya untuk mencari pengalaman.
Bermodal perusahaan Crown, kata Iwan, satu per satu proyek properti dia kerjakan. Dia mengaku, kali pertama menggarap proyek besar adalah mengerjakan hunian bagi warga Australia dan hingga saat ini perusahaannya terus berkembang.
“Sudah 18 tahun kami telah mengembangkan aset menjadi US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 35 triliun. Kalau buat beli kuaci penuh tuh,” tawa dia.
Pria yang percaya dengan hukum 10.000 jam ini selalu menekankan bahwa pengalaman itu penting meskipun kita memiliki keterbatasan, bahasa misalnya.
“Biarpun saya punya keterbatasan bahasa Inggris tapi toh bisa jadi yang terbaik di Australia. Saya juga tidak lupa dengan bahasa jawa lho, karena logatnya tetap tidak bisa hilang,” paparnya.
Iwan yang beberapa waktu lalu hadir dalam Kongres Diaspora Ketiga ini, memiliki tips tentang bagaimana agar bangsa Indonesia bisa menjadi pemain properti yang sukses. Pertama, memulai. Kesuksesan, Iwan bilang tidak datang dengan sendirinya, namun harus melalui perjuangan dan kerja keras. “Mau bangun rumah nggak cuma fisiknya saja, tapi harus dipadukan dengan imajinasi dan sebagainya,” tuturnya.
Menurut Iwan, sukses tidak hanya tentang harta. “Saya nggak pernah punya visi bikin proyek satu juta dolar atau berapapun, yang penting kerjakan bahkan untuk hal-hal kecil. Kan saya pernah kerja cuci piring selama lima tahun dengan gaji tiga dolar di Australia,” kenang dia.
Kedua, sambungnya, menemukan peta jalan menuju kesuksesan dan ketiga, bermimpi yang terbaik. Sedangkan bagi para generasi muda yang ingin mengikuti jejak pengusaha sukses, Iwan berpesan untuk mulai menunjukkan kepada dunia tentang kekuatan-kekuatan kita.
“Kita punya budaya yang nggak mau terlalu menyombongkan diri, padahal di negara barat kekuatannya digembar gemborkan. Kita harus tunjukkan aset yang kita miliki bukan kekurangan dan apa yang sudah terjadi, bukan menjadi,” sarannya.
dari berbagai sumber