Naskah Terpanjang di Dunia. Dari Indonesia

Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontar kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.

Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.

Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

La Galigo sendiri secara garis besar bercerita tentang awal mula kehidupan di muka bumi dan kehidupan orang Bugis yang pada dasarnya memiliki kepercayaan tentang keberadaan dewa-dewi yang mendiami tiga dimensi berbeda. Dimensi pertama, boting langiq (kerajaan langit) dan dimensi kedua buriq liu (kerajaan bawah laut). Selanjutnya dimensi ketiga yakni dimensi yang berada di antaranya atau bumi yang kita tempati.

Tokoh utama dalam cerita epos ini bernama Sawerigading yang merupakan keturunan keempat dari raja kerajaan langit. Sawerigading lahir sebagai anak kembar emas namun ia dipisahkan dari kembarannya, We Tenriabeng. Hal itu dilakukan agar mereka tidak saling jatuh cinta. Namun hal yang ditakutkan itu ternyata justru terjadi. Sawerigading dan We Tenriabeng bertemu dalam sebuah pesta dan saling jatuh cinta.

Ia kemudian meminang saudaranya sendiri. Namun karena hal tersebut adalah hal yang menantang adat istiadat akhirnya Sawerigading memutuskan untuk berlayar ke China untuk meminang gadis lain yakni I We Cudai. Seluruh rangkaian cerita La Galigo didominasi oleh perjalanan Sawerigading.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004. Memang nama Indonesia juga terangkat lewat drama yang disutradarai oleh Robert, namun yang patut dijadikan sorotan adalah mengapa bukan orang Indonesia sendiri yang memperkenalkan ke kancah internasional?

Oleh: Dwi Suprabowo (Lebaran.com)

Nenek Moyang Kita…Berlayar Hingga Madagaskar

ORANG Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian teranyar yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B, 21 Maret lalu. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina.

Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.

Penelitian DNA ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Secara arkeologis dibuktikan dengan temuan perahu bercadik ganda, peralatan besi, alat musik xylophone atau gambang, dan makanan tropis seperti tanaman ubi jalar, pisang, dan talas.

Dari sisi linguistik, kebanyakan leksikon penduduk Madagaskar berasal dari bahasa Ma’anyan yang digunakan di daerah lembah Sungai Barito di tenggara Kalimantan, dengan beberapa tambahan dari bahasa Jawa, Melayu, atau Sanskerta. Menurut Robert Dick-Read dalam Penjelajah Bahari, kemiripan ini kali pertama dikemukakan misionaris-cum-linguis Norwegia Otto Dahl pada 1929 setelah meneliti kamus Ma’anyan karya C. Den Homer (1889) dan karya Sidney H. Ray (1913). “Tapi, kita harus melihat lebih teliti lagi sebab asal-usul Ma’anyan masih diperdebatkan,” tulis Dick-Read.

Anehnya, Dahl sendiri menyebut kemiripan itu tak memecahkan semua misteri bahasa Malgache (Malagasi). Sebab, terdapat beberapa unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes (Sulawesi), terutama suku Bajo dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung. “Nenek moyang dari suku-suku inilah yang kemungkinan besar adalah para pelaut Indonesia yang telah berhasil menjelajah lautan hingga ke Afrika,” tulis Dick-Read.

Bahkan, tak hanya ketiga suku tersebut. Menurut S. Tasrif dalam Pasang Surut Kerajaan Merina, “mereka kemungkinan campuran dari ras Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi, atau orang-orang Indonesia Timur. Di sana, mereka berbaur membangun kebudayaan Malagasi. Para pendatang itu kemudian dominan di Madagaskar, karena penduduk aslinya sangat sedikit. Di kemudian hari, datang pendatang baru dari Arab, Pakistan, India, dan orang-orang Prancis yang membawa buruh-buruh Afrika hitam. Jadilah Madagaskar sebuah negeri multiras,” demikian dikutip Tempo, 21 September 1991.

Senada dengan pendapat Tasrif, ahli sejarah Afrika, Raymond Kent, dalam Early Kingdoms in Madagascar 1500-1700, menyimpulkan, “… pasti telah terjadi pergerakan manusia dalam jumlah besar yang datang secara sukarela dan bertahap dari Indonesia pada abad-abad permulaan milenium pertama. Sebuah pergerakan yang dalam istilah Malagasi kuno disebut lakato (pelaut sejati) karena mereka tidak berasal dari satu etnis tertentu.”

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa, intelektual pertama yang membahas hubungan Nusantara dan Madagaskar adalah Moh. Nazif yang menulis disertasi De Val van het Rijk Merina pada 1928 di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Adanya hubungan Indonesia dengan Madagaskar kemudian digunakan sebagai “politik kesatuan” oleh beberapa tokoh bangsa sejak 1920-an.

Pada peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, 20 Mei 1965, Sukarno, merujuk karya Nazif, mengemukakan: “…bangsa Indonesia itu adalah sebenarnya qua ras inter related dengan bangsa-bangsa yang mendiami Kepulauan Pasifik, Indocina, sampai Madagaskar.” Dalam beberapa kesempatan Sukarno kerap menyebut andil Indonesia dalam terbentuknya Madagaskar.

Dalam sambutan Kongres Indonesia Muda pertama tahun 1930, dikutip R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, tokoh pergerakan Kuncoro Purbopranoto mengatakan, “Indonesia merupakan satu negeri, dengan satu bangsa, dari Madagaskar hingga Filipina, dengan satu sejarah, sejarah Sriwijaya dan Majapahit…”

Tan Malaka setali tiga uang. Dalam Madilog, keyakinan Tan akan para pelaut Nusantara yang menjelajah hingga Madagaskar membuatnya memimpikan Republik Indonesia Raya sampai Madagaskar. “Tan Malaka dulu membayangkan wilayah Republik Indonesia Raya merdeka itu akan terbentang dari Pulau Madagaskar melintasi seluruh semenanjung Melayu, kepulauan Filipina, seluruh Hindia Belanda, termasuk Timtim sampai ke ujung Timur Papua,” tulis Sultan Hamengku Buwono X dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita.

Saking penasaran, Mohammad Yamin sampai pergi ke Madagaskar pada 1957. “Di Pulau Madagaskar bangsa Indonesia berkuasa mendirikan kerajaan Merina, yang diruntuhkan oleh tentara Prancis dalam tahun 1896, dan sampai kepada kerajaan ini tidaklah terkenal Konstitusi yang dituliskan,” tulis Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.

Namun, menurut Dick-Read, Merina yang merupakan penduduk mayoritas di Madagaskar, berasal dari nenek moyang berdarah campuran yang bermigrasi pada permulaan abad ke-16, yakni kaum Anteimoro yang kemungkinan berasal dari dataran tinggi Ethiopia bagian selatan dan kaum Hova.

“Besar kemungkinan bahwa kaum Hova merepresentasikan satu-satunya unsur Indonesia murni di Madagaskar,” tulis Raymond Kent.

Hubungan Indonesia-Madagaskar lebih terang dilihat dari bahasa. Yamin, tulisan Lombard, senang mencari persamaan antara bahasa-bahasa di Indonesia dan Malagasi. Yamin menyontohkan, “kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”

Contoh lain, “sebutan untuk bilangan dua, tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu, efat, dan limi. Ini mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak, mati, padi, dan tembok. Dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty, pary, dan tambuk.”

Atau “tenko dan baratang, bahasa Makassar untuk cadik dan tiang/galah cadik; dalam bahasa Malagasi disebut tengo dan baratengo,” tulis Dick-Read.

Marcopolo-lah yang menamai Madagaskar pada akhir abad ke-13. Dia menuliskannya Magaskar. Dia sendiri tak mengunjungi pulau itu. Gambaran pulau itu dia peroleh dari para pedagang Arab. Karena itu, menurut Dick-Read, dia keliru menyebut pulau itu subur, banyak gajah dan singa, dan makanan utama penduduknya daging unta.

Menurut Dick-Read, jika melihat kesejajaran kata Bajun (istilah setempat untuk orang di atas perahu) dengan Bajoo dan Manda (pulau yang dihuni oleh suku Bajun di Afrika Timur) dengan Mandar, “tidakkah cukup beralasan bila kita berpendapat bahwa kata Madagaskar memiliki hubungan dengan suku bangsa pelaut lain di Sulawesi, yang terkait dengan suku Bugis, Bajo, dan Manda –Makassar?”

Historia.id

Banyuwangi akan menjadi Dermaga Kapal Pesiar Internasional

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan peletakan batu pertama pembangunan marina atau dermaga kapal pesiar di Banyuwangi, Jawa Timur, rencananya akan dilakukan pada September 2015.

“Tadi dilaporkan Pelindo III akan membangun marina baru di Banyuwangi. Akan dimulai September tahun ini,” ujar Arief saat memantau Indonesia Yacht Show 2015 di Batavia Marina Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Kapal pesiar

Menurut dia, saat ini Indonesia memiliki sejumlah marina yang populer dan ramai didatangi wisatawan yakni Nusa Point (Batam), Batavia Marina (Jakarta), juga Padang Bai dan Benoa (Bali).

Namun, keberadaan dermaga sandar kapal pesiar yang minim itu masih belum optimal untuk mendukung target pemerintah yang mematok 1.500 kunjungan yacht tahun ini, naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebanyak 750 yacht.

Mantan Dirut PT Telkom itu mengatakan meningkatnya kunjungan yacht diharapkan bisa berdampak pada peningkatan devisa pariwisata.

Pasalnya, rata-rata kunjungan wisatawan mancanegara dengan yacht bisa menghasilkan devisa hingga 67,5 juta dolar AS dengan hitungan ada 750 kapal dengan rincian lima orang per kapal dengan pengeluaran sekitar 150 dolar AS per hari per orang dalam masa tinggal 120 hari.

“Sampai Juli lalu itu sudah hampir 800 kapal yang datang ke Indonesia sehingga saya optimis target 2015 bisa tercapai. Untuk 2019 kita harapkan ada sekitar 8.000 ‘yacht’ yang datang ke Indonesia,” katanya.

Untuk memenuhi target tersebut, pemerintah akan membangun 100 marina, termasuk yang dibangun oleh pengusaha pariwisata, dalam lima tahun ke depan.

Sebelumnya, PT Pelindo III (Persero) tengah mematangkan rencana pembangunan pelabuhan marina di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang akan dibangun di Pantai Boom.

Direktur Utama Pelindo III (Persero) Djarwo Surjanto mengatakan pembangunan marina itu menjadi salah satu upaya perseroan untuk mengembangkan bisnis di luar layanan pelabuhan komersial bongkar-muat barang.

Pengembangan marina itu sendiri akan dilakukan melalui anak usaha Pelindo III, yaitu PT Pelindo Properti. Pengembangan pelabuhan yang diperkirakan memakan biaya Rp200 miliar itu secara bertahap akan diintegrasikan dengan pengembangan marina yang dilakukan di Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) dan Benoa (Bali).

Perseroan akan menggandeng klub layar terbesar di Australia, Fremantle Sailing Club (FSC), dalam pembangunan dermaga yang diprediksi berlangsung selama satu tahun itu.

suara.com

Satelit Lapan A2 Karya Anak Bangsa Segera Mengangkasa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) terus bersiap. Bulan depan, mereka meluncurkan satelit buatan sendiri. Bangga jadi Indonesia!

Nama satelit yang segera mengorbit adalah Lapan A2/Orari. Ini merupakan penerus Lapan A1/TUBSat yang dibuat di Jerman. Secara fungsi, keduanya hampir sama, tapi Lapan A2 lebih canggih. Lapan A2 dilengkapi dengan kamera, Automatic Identification System (AIS), dan transmiter.

 

“Lapan A2 murni buatan teknisi Indonesia, juga dibuat di sini, di Bogor,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin kepada detikcom, Rabu (26/8/2015).

Lapan A2 berfungsi mencitrakan perubahan tata guna lahan, lalu lintas kapal, operasi keamanan laut, serta eksplorasi sumber daya kelautan dan perikanan. Juga dipakai untuk komunikasi radio amatir untuk mitigasi bencana.

Pemantauan aktivitas perikanan ilegal dengan kombinasi data satelit (Sumber: PSDKP)/pusteksat.lapan.go.id

Ahli Pustek membuat Lapan A2 dalam waktu 5 tahun. Pada tahun 2012, kata Thomas, sebetulnya satelit berbobot 78 kg itu sudah kelar. Namun karena berbagai kendala, peluncuran ditunda.

“Jika kondisi memungkinkan, rencananya 27 September mendatang diluncurkan di India. Setelah mengorbit, pusat kendali dilakukan di sini,” kata Thomas.

Soal nasib Lapan A1 yang mulai mengorbit pada tahun 2007, Thomas mengatakan satelit tersebut sejauh ini masih di orbit. Diperkirakan, Lapan A1 bisa bertahan 2-3 tahun ke depan. Hingga saat ini, satelit tersebut masih mengirimkan hasil pemantauan ke pusat kendali Lapan.

“Jadi Lapan A2 ini melengkapi, sebelum satelit sebelumnya tidak berfungsi lagi,” pungkas Thomas.
(try/nrl)

Detik.com

Luar Biasa! Indonesian Street Festival Perdana di New York, Amerika Serikat

Indonesian Street Festival untuk pertama kalinya dilaksanakan pada Sabtu, 22 Agustus 2015 dengan menutup 68th Street di mana Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York berada. Festival ini merupakan puncak dari rangkaian peringatan HUT RI ke-70 di kota New York, Amerika Serikat.

Dengan mengambil tema “Journey to Indonesia”, tidak kurang 2.000 pengunjung silih berganti menikmati berbagai acara dan penampilan seni dan budaya dari Sabang sampai Merauke acara yang diselenggarakan KJRI New York.

Dimulai dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, berbagai tarian nusantara seperti Saman, tari Tor-tor, Giring-giring, Pakarena, gamelan Jawa serta fashion show aneka busana nusantara menyedot perhatian pengunjung. Guna memberika edukasi bagi pengunjung tentang budaya Indonesia, disediakan pula berbagai workshop membatik, Bahasa Indonesia, kaligrafi Jawa, serta face painting bagi anak-anak. Aneka kuliner nusantara dari berbagai pulau dijajakan, antara lain nasi rawon, lalampa, ayam taliwang, nasi kapau, rendang, rujak cingur, serta berbagai jajanan pasar, seperti lemper, lapis Surabaya, es cendol, pempek, dodol, wajik, asinan Betawi, dan lain-lain.

KJRI New York mendapat dukungan penuh dari berbagai komponen ormas Indonesia di New York dan sekitarnya, seperti Perwakrin, Nusantara Foundation, Diaspora (IDN Tri State/New York-Jersey-Connecticut) dan mahasiswa (PERMIAS). Untuk meramaikan acara, Garuda Indonesia New York turut menjadi sponsor dengan menyediakan 10 tiket ke seluruh dunia dengan Garuda Indonesia melalui penarikan undian dan kuis.

Semangat perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan menjadi inspirasi pelaksanaan Indonesian Street Festival dan mematahkan mitos sulitnya penyelenggaraan street festival sejak 64 tahun KJRI New York berdiri. Merdeka!

sumber: Konsulat Jenderal Republik Indonesia New York

Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat..lalu Indonesia

Sampai dengan awal tahun 1970-an, hubungan telekomunikasi dalam negeri masih menghadapi kendala. Keberhasilan penggunaan jaringan satelit untuk hubungan luar negeri mendorong munculnya gagasan untuk memanfaatkan teknologi yang sama bagi kepentingan dalam negeri. Dari beberapa pilihan yang ada, sistem komunikasi yang memanfaatkan teknologi satelit dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi berbagai persoalan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pada tanggal 15 Pebruari 1975 Indonesia menandatangani pengadaan dua satelit, yaitu satu stasiun pengendali utama dan empat puluh stasiun bumi. Untuk menjalankan rencana tersebut, sebagai langkah persiapan pemerintah Indonesia mulai membangun sumber daya manusia dan fisik sejak tahun 1974. Beberapa orang Indonesia dikirim ke luar negeri untuk mempelajari sistem komunikasi modern.

 

Hal tersebut dilakukan sebagai upaya menerapkan proses alih teknologi komunikasi di Indonesia. Sebagai langkah selanjutnya kemudian dibangun pusat pengendalian satelit di Cibinong, Jawa Barat, yang kemudian diikuti oleh pembangunan beberapa stasiun bumi lainnya. Para pakar teknologi komunikasi Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri bekerja sama mengoperasikan teknologi komunikasi modern yang kemudian diberi nama Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa.

SKSD Palapa adalah sistem satelit komunikasi yang dikendalikan oleh sistem satelit komunikasi pengendali bumi yang dibuat oleh Hughes Aircraff Company (HAC) Perumtel Indonesia. Nama Palapa ini diambil dari Sumpah Palapa Gajah Mada yang akan mempersatukan Nusantara. SKSD Palapa dibangun pada tahun 1974-1976. Pada tanggal 9 Juli 1976 diluncurkan satelit palapa generasi pertama milik Indonesia di Cape Kennedy, Florida, amerika Serikat. Satelit Palapa dibuat oleh pengusaha pesawat Hughes dengan garis tengah satelit 75  inchi (1,9 meter), tinggi 13 kaki 3 inchi (4,04 meter), dan beratnya 300 kg. Peluncuran satelit ini dikoordinasi dan dipertanggungjawabkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) dan berfungsi sejak tanggal 16 Agustus 1976.

 

Indonesia tercatat sebagai negara keempat yang memiliki satelit setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Pada tanggal 11 Maret 1977 diluncurkan satelit Palapa A2 yang berfungsi sebagai cadangan yang siap digunakan apabila satelit Palapa A1 mengalami kerusakan atau gangguan. Satelit Palapa A1 dan A2 disebut sebagai satelit generasi pertama yang usia pakainya 7 tahun. Pada tanggal 18 Juli 1983 diluncurkan lagi satelit Palapa B1 untuk menggantikan satelit Palapa A1 dan A2. Satelit ini diluncurkan dengan pesawat ulang-alik Challenger yang disusul dengan peluncuran satelit Palapa B2. Kawasan kerja satelit Palapa B2 meliputi negara-negara ASEAN dan Papua Nugini.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Maret 1967 meluncurkan sateit B-2P. Selanjutnya berturut-turut diluncurkan satelit Palapa B-2R pada tanggal 20 Maret 1990, dan satelit Palapa B-4 pada tanggal 7 Maret 1992. Tanggal 16 Mei 1996 diluncurkan satelit Palapa C-1 untuk menggantikan posisi satelit sebelumnya. Selain satelit Palapa, satelit komunikasi yang lain adalah Telkom I dan Garuda I.

Apakah fungsi dan manfaat SKSD? Berikut 4 fungsi dan manfaat utamanya :

1. Hubungan komunikasi antardaerah, antarnegara lebih mudah.

2. Mempererat penyebaran informasi melalui televisi, internet, faksimile.

3. Mempermudah komunikasi telepon SLI, SLJJ, STO (Sentral Telepon Otomat).

4. Sebagai satelit penghubung (repeater). Untuk mengendalikan satelit Palapa telah dibangun beberapa stasiun di bumi.

Stasiun tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Stasiun Bumi Lintas Utama (SLU) di ibu kota provinsi.

2. Stasiun Pengendali Utama (SPU) di Cibinong, Jakarta.

3. Stasiun bumi lintas tipis dengan TV di daerah terpencil seperti di Bengkulu, Biak, dan Pangkal Pinang.

4. Stasiun bumi lintas tipis dan tanpa TV di daerah yang lebih terpencil lagi seperti di Ternate, Fak-Fak, dan Manokwari.

Sumber: https://www.sejarah-negara.com/2014/09/sejarah-peluncuran-satelit-palapa-dan.html
Konten adalah milik dan hak cipta www.sejarah-negara.com

Tari Gandrung dan Barong dipentaskan di Frankfurt Book Fair Jerman

Kesenian Tari Gandrung dan Barong kali ini tampil mewakili Indonesia di Frankfurt, Jerman pada 28-30 Agustus 2015. Seperti yang diungkapkan Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Bramuda, Rabu (26/8/2015).

Ia menjelaskan penampilan kesenian tari Gandrung dan Barong di Jerman merupakan salah satu acara pengisi event budaya Indonesia yang menjadi tamu kehormatan (Guest of Honour) di Frankfurt Book Fair 2015. “Ini adalah sebuah kohormatan dan kebanggaan bagi daerah yang diundang khusus mewakili Indonesia dalam ajang seni budaya internasional,” kata Bramuda.

Bramuda mengakatan bahwa selama di Jerman, kesenian tari Gandrung dan Barong tampil selama tiga hari berturut-turut di Museumsuferfest, Frankfurt bersama dengan penampilan beberapa musisi terkenal di tanah air, seperti Djaduk Ferianto dan Kua Etnika, Dwiki Dharmawan dan J-Flow.

gandrung

Beberapa kesenian akan ditampilkan diantaranya Barong Osing Prejeng, Barong Osing Gandrung, Jakripah dan pitik-pitikan formasi arak-arakan, Barong-Jakripah dan Paman Iris, Gandrung Profesional (Jejer-Gedhong-Paju) serta Jaran Goyang-Jaranan Buto-Kuntulan Ngarak Manten-Paju.

“Ada 11 orang yang terdiri dari mbok Temu Misti gandrung profesional, seniman, budayawan, penari, pengrawit dan pembaca lontar. Mereka dipimpin Aekanu Hariyono salah satu penggiat budaya Osing,” jelas Bramuda.

Tim dari Banyuwangi berangkat pada 25 Agustus yang lalu dan akan kembali ke tanah air pada 31 Agustus. Sebelumnya mereka melakukan latihan bersama dengan tim Djaduk Ferianto dan Dwiki Dharmawan di Jakarta. “Semua properti untuk tampil juga dibawa langsung dari Banyuwangi ke Jerman mulai Barong Using, Pitik-pitikan, jaranan buto, kendang, gong, kethuk, angklung paglak, patrol sampai jedhor pantus,” pungkas Bramud

Source : https://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/08/29/tari-gandrung-dan-barong-dipentaskan-di-frankfurt-book-fair-jerman/

Karya Ahmad Tohari diterjemahkan mulai diedarkan di Meksiko

“Sudah saatnya karya sastra Indonesia dinikmati oleh masyarakat Meksiko dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, bahasa Spanyol. Sudah saatnya karya sastra Indonesia berbahasa Spanyol tersebut membuka mata masyarakat Meksiko akan Indonesia yang kaya akan seni budaya, yang indah karya sastra, yang pluralistik masyarakatnya, yang luhur norma dan nilai kehidupannya, dan yang damai dan penuh toleransi.”?

Demikian disampaikan Duta Besar Republik Indonesia untuk Meksiko Yusra Khan, saat meluncurkan buku “El Regreso de Karman” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia Afrika (PSAA) – Universitas El Colegio de Mexico (Colmex), di Sala Auditorio Alfonso Reyes – Colmex (24/8).

Kubah Ahmad Tohari

Buku dengan judul asli ‘Kubah’ karya Ahmad Tohari ini diterjemahkan oleh salah seorang pengajar di PSAA – Colmex, Evi Yuliana Siregar, yang sejak tahun 1997 telah mengajar bahasa Indonesia kepada mahasiswa PSAA – Colmex. Buku “El Regreso de Karman” ini merupakan buku ke-tiga yang diterjemahkan Evi Siregar, setelah sebelumnya menerbikan terjemahan buku ‘Cerita Rakyat Indonesia’ (Cuentos Folcloricos de Indonesia) pada tahun 2012 dan buku ‘Sri Sumarah’ pada tahun 2008. Dalam sambutannya, Evi Siregar, yang juga Ketua Indonesian Diaspora Network – Chapter Mexico, menyampaikan bahwa upayanya menterjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Spanyol dengan tujuan agar lebih dikenal dan dipahami masyarakat Meksiko.

Upaya ini diapresiasi tinggi oleh Dubes RI. Menurut Dubes RI, terjemahan karya sastra Indonesia yang diterbitkan di Meksiko tersebut merupakan salah satu media jitu untuk lebih memperkenalkan Indonesia kepada masyakat Meksiko. Dubes RI juga menyampaikan apresiasi bagi Colmex atas kontribusinya dalam membantu pengembangan dunia sastra Indonesia dalam bahasa Spanyol dan memperkenalkan karya sastra Indonesia di Mexico. Dubes RI juga menyampaikan harapan agar kiranya lebih banyak lagi karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol.

Peluncuran buku yang dihadiri oleh sekitar 80 orang hadirin dari kalangan civitas academica Colmex serta tamu undangan tersebut, dihadiri pula oleh Karla Xiomara Luna, dosen Pusat Studi Linguistik dan Sastra – Colmex, dan Eduardo Limon, seorang jurnalis dari W-Radio dan Harian Milenio. Kedua memberikan pujian atas karya Ahmad Tohari yang sarat akan pesan moral dan nilai kemanusiaan, namun tetap deskriptif menggambarkan keragaman budaya Indonesia. Secara khusus, Limon menyoroti aspek kemanusiaan yang bersifat universal dari terjemahan buku Kubah tersebut. Limon juga menyampaikan bahwa rekonsiliasi merupakan budaya Indonesia yang ditawarkan kepada dunia.

Acara peluncuran buku tersebut dimeriahkan pula dengan pertunjukkan tari tradisional Indonesia, tari Cendrawasih yang ditarikan oleh alumni Darmasiswa asal Meksiko, Graciela López dan Selene Zepeda dan tari Lenggang Nyai yang ditarikan oleh Alexander Riyanto dari Tim Kesenian KBRI Meksiko City. Acara peluncuran buku juga dimeriahkan dengan kegiatan Pembukaan Pameran Foto dan Buku Indonesia, “Las Bellezas de Indonesia” di aula Perpustakaan Daniel Cosio Villegas – Colmex.

Bekerja sama dengan Perpustakaan Daniel Cosio Villegas, KBRI menyelenggarakan kegiatan Pameran “Las Bellezas de Indonesia” selama 5 hari (24 – 28 Agustus 2015) di di aula perpustakaan. Beberapa koleksi foto tempat wisata dan budaya Indonesia seperti Danau Toba, Tari Bondoyudho, Upacara Melasti, dan Angklung dipamerkan. Dipamerkan pula beberapa koleksi buku mengenai Indonesia yang dimiliki oleh Perpustakaan Daniel Cosio Villegas, beberapa akademisi Colmex, dan KBRI, antara lain berjudul ‘Batik, from Tradition to Global Trend’, dan ‘Islam and the State in Indonesia’.

Kegiatan pameran foto dan buku Indonesia tersebut dibuka oleh Duta Besar RI untuk Meksiko Serikat, Wakil Rektor Colmex bidang Akademik, Dr. Jean Francois Prud´Homme, Direktur PSAA – Colmex, Dra. Hilda Varela, dan Direktur Perpustakaan, Michaela Chávez Villa. Pembukaan yang terselenggara pada tanggal 24 Agustus 2015 ini dihadiri oleh sekitar 30 orang akademisi dan pustakawan Colmex. Dalam sambutan pembukaannya, Dubes RI menyampaikan harapan agar kiranya kegiatan pameran foto dan buku mengenai Indonesia ini dapat semakin membuka mata kalangan Colmex khususnya akan keragaman Indonesia.

Sambutan hangat disampaikan dari civitas academica yang hadir dalam kegiatan Pameran “Las Bellezas de Indonesia” dan Peluncuran Buku “El Regreso de Karman”. Partisipasi aktif KBRI dalam kedua kegiatan di Colmex tersebut merupakan upaya berkesinambungan untuk senantiasa menyambung titik-titik hubungan antara Indonesia dan Meksiko di kalangan universitas dan di bidang kesusastraan. Upaya ini diharapkan akan mendorong lebih banyak kontak dan kerja sama di masa mendatang. Pada kesempatan tersebut, KBRI juga melakukan upaya sosialisasi beasiswa Darmasiswa dan KNB (Kemitraan Negara Berkembang), yang mendapatkan antusiasme tinggi dari kalangan mahasiswa Colmex yang hadir.

kemlu.go.id

Indonesia Membangun Landasan Udara untuk Nelayan

Lesunya perekonomian tidak lantas membuat semangat untuk memajukan industri kelautan menjadi kendur. Buktinya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti saat ini sedang membangun landasan pacu di 15 desa nelayan untuk mempermudah pengiriman hasil laut di desa-desa tersebut.

Landasan ini memiliki panjang sekitar 1 kilometer saja ini dibangun untuk menjaga hasil laut tetap segar ketika sampai di lokasi pengiriman. Dampaknya adalah hasil laut yang ditangkap oleh para nelayan menjadi lebih bernilai dan biaya pengiriman menjadi murah. Bahkan, rencananya dengan landasan pendek ini bisa saja para nelayan juga bisa langsung mengekspor hasil lautnya ke luar negeri Seperti Jepang atau Eropa.

susi pudjiastuti

“Kami dapat mengirimkan produk-produk segar kami segera pada hari yang sama ke Jepang atau Eropa dengan membuka penerbangan langsung dari Indonesia bagian timur,” jelas Susi.

Langkah ini menurutnya adalah penghancur masalah pengirimian yang dulunya selalu membutuhkan waktu yang lama.

“Masalahnya adalah saat ini kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai Jakarta.” ujar Menteri yang dikenal dengan tanpa kompromi ini.

Hal ini dijelaskannya pada saat berada di Singapura untuk memberikan kuliah umum tentang kebijakan maritim Indonesia dan tantangan yang dihadapi yang diadakan oleh S. Rajaratnam School of International Studies. Di sana dirinya juga bertemu dengan para pemodal untuk membahas tentang pembangunan Landasan Udara ini.

‘Ini adalah upaya untuk membuka pintu global baru terhadap sektor perikanan yang merupakan langkah terobosan bagi Indonesia.” katanya.

straitstime.com

Purwakarta ‘diserbu’ Kesenian dari 5 Benua

Globalisasi ternyata semakin menyebar ke seluruh dunia tanpa mengenal batas. Kini kesenian manapun dapat tumbuh dan berkembang meski bukan dari habitat aslinya. Bahkan terkadang budaya lokal lah yang mendapatkan dampak negatifnya, menjadi tidak lagi lestari. Namun Sabtu (29/08/15) yang lalu Pemerintah Kabupaten Purwakarta menyengaja mengundang 14 negara untuk menampilkan budaya seninya pada masyarakat dalam tajuk Festival Budaya Dunia.

Dalam Festival Budaya Dunia tahun ini, seluruh delegasi menampilkan berbagai kesenian mulai dari tarian hingga atraksi. Mulai dari pertunjukkan Shaolin Kungfu dari negeri Tiongkok, Mesir menampilkan tarian-tarian whirling? Sufi, tarian Baghara dari India, Zeybek & Teke dari Turki, hingga tarian tradisional Folk dari Italia.

Suguhan musik orkestra Mariachi dari Meksiko juga hadir. Demikian juga parade musik dan tarian Cape Town Minstrels, serta atraksi musik perkusi drum tradisional khas negara Jepang. Sementara Indonesia menampilkan kesenian dari 6 Provinsi di nusantara.

Indonesia yang diwakili komunitas seni Sukowati dari Kabupaten Gianyar, Bali, menampilkan tarian Ogoh-ogoh yang sudah dikenal di dunia internasional.

Illustrasi: kesenian Ogoh-ogoh dari Bali (Foto: wikimedia.org)

Juga terdapat utusan tujuh provinsi di Tanah Air yang akan memeriahkan pesta penutup Bulan Kebudayaan. Banten akan menampilkan atraksi Debusnya, DKI Jakarta mempertunjukkan Ondel-ondel, Jawa Timur dengan Semut Merahnya dan Jawa Tengah menampilkan kesenian tradisional Banyumasan.

Selain itu, ada juga delegasi peserta dari tiga kabupaten kota di Jawa Barat. Mereka dari Ciamis dengan seni Dugig, Garut dengan Surak Ibra, dan Kota Bogor yang membawakan seni Boboko Logor.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Purwakarta menggelar berbagai event budaya dalam rangkaian hari jadinya. Tahun lalu, festival seni budaya negara Asia Pasifik yang menyedot ribuan penonton digelar di pusat kota. Ini bisa dibuktikan dengan angka kunjungan tamu hotel yang sudah jauh-jauh hari meningkat hingga 80 persen.