Review Artikel Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa

Salam semangat

Generasi milenial

Apa kabar kalian semua? Semoga baik-baik saja yaa. Kali ini penulis akan berbagi mengenai tugas kuliah yang penulis dapat ketika semester 5 yaitu pada mata kuliah Sosiologi Politik dimana tugas ini berupa review artikel Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa. Berikut merupakan materi atau isi dari tugas tersebut.

Dalam artikel yang berjudul ”Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa” karya Nugroho Trisnu Brata (Dosen jurusan Sosiologi dan Antropologi, UNNES) menjelaskan mengenai budaya kekerasan yang dilihat dari sudut pandang nilai dan etika masyarakat Jawa. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan mengenai aspek politik yang terdapat pada masa kerajaan dan reformasi.

Artikel ini diawali dengan pembahasan mengenai budaya kekerasan yang dilihat dari sudut pandang nilai dan etika masyarakat Jawa. Selama ini masyarakat Jawa diidentikan dengan kebudayaan yang halus dan lembut. Akan tetapi, jika dilihat pada masa silam ternyata masyarakat Jawa kental dengan budaya yang keras dan bahkan sempat dijuluki sebagai “negara penakluk”. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kerajaan Jawa seperti Singasari, Mataram, dan Majapahit yang berhasil menaklukan sebagian wilayah Indonesia. Selain itu, implementasi budaya kekerasan dalam masyarakat Jawa ternyata dapat  melalui pertunjukan wayang di mana dalam pertunjukan tersebut menceritakan kisah peperangan, kekerasan dan pertumpahan darah yang secara tidak langsung dapat membuat penonton menyerap dan mengaplikasikan kisah tersebut dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu terjadi pergeseran budaya yang membuat masyarakat Jawa menjadi berkebudayaan yang halus, lembut dan penuh sopan santun.

Seperti yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno (1993) terdapat 3 prinsip yang terintegrasi dalam nilai dan etika masyarakat Jawa yakni hormat, rukun, dan isin. Hormat diartikan sebagai sikap di mana seseorang harus dapat membawa diri dan berbicara pada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Rukun diartikan sebagai hubungan antar individu maupun masyarakat dalam keadaan tentram tanpa perselisihan. Sedangkan isin diartikan sebagai rasa malu jika melakukan suatu perbuatan yang tidak semestinya dilakukan. Ketiga prinsip ini tetap dipegang teguh oleh masyarakat Jawa hingga saat ini.

Selanjutnya artikel ini membahas tentang aspek politik pada masa kolinial di kerajaan Jawa. Saat itu, terjadi campur tangan pihak kolonial dalam kedaulatan kerajaan Jawa salah satunya yaitu Kerajaan Mataram. Campur tangan pihak Belanda ini membuat suasana di kerajaan menjadi kacau dan melemah. Salah satu dampak adanya campur tangan pihak Belanda ini yaitu munculnya Perjanjian Giyanti tahun 1755 di mana membelah kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Setelah adanya Perjanjian Giyanti tersebut, pada tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro. Di sini, Belanda juga memainkan perannya dengan membantu meredamkan perang tersebut. Setelah perang tersebut dapat dipadamkan, Belanda mendapat imbalan berupa penguasaan seluruh wilayah Jawa kecuali Yogyakarta dan Surakarta. Kedua wilayah ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjadi kaki tangan colonial state yang waktu itu baru terbentuk.

Selanjutnya artikel ini membahas mengenai aspek politik pada masa reformasi. Pada masa kerajaan atau Kraton Yogyakarta, seorang sultan merupakan seorang raja dan kepala negara yang memiliki kekuasaan untuk mengatur wilayah kerajaan atau negaranya. Akan tetapi, setelah adanya pembacaan maklumat 5 September 1945 secara tradisi dan kultural Sultan Hamengkubuwono masih menjabat sebagai seorang raja namun beliau bukanlah seorang kepala negara. Ia dianggap sebagai raja atau pemimpin masyarakat Jawa saja.

Pada tahun 1998 terjadi kekisruhan atau kekerasan pada masyarakat Jawa. Kekerasan ini terjadi saat reformasi 1998 yang beragendakan melengserkan Presiden Soeharto. Pada beberapa daerah, peristiwa tersebut identik dengan kekerasan di mana terjadi pemberontakan dan amuk massa yang tidak terkendali. Saat itu Sultan Hamengkubuwono X juga turut serta dalam aksi reformasi 1998. Akan tetapi, Sultan Hamengkubuwono X tidak ingin aksi gerakan reformasi di Yogyakarta ini berujung pada aksi kekerasan. Akhirnya beliau melakukan tapa brata dan akhirnya menemukan ide bagaimana caranya agar gerakan reformasi tersebut dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya kekisruhan. Ide tersebut berasal dari budaya Jawa yang bernama Pisowanan Ageng.

Gerakan Pisowanan Ageng ini terjadi pada 20 Mei 1998. Saat itu, rakyat berbondong-bondong datang ke Kraton Yogyakarta untuk mengikuti gerakan reformasi. Lewat gerakan ini, Sultan Hamengkubuwono X memberikan hadiah makanan berupa gunungan garegeb untuk massa yang datang. Namun, pemberian makanan tersebut tidak berwujud gunungan tetapi berupa makanan yang disediakan oleh masyarakat sekitar tempat berlangsungnya aksi reformasi yang sebelumnya telah diperintah oleh Sultan Hamengkubuwono X untuk menyediakan makanan dan minuman secara gratis bagi para massa yang melakukan aksi reformasi. Pemberian gunungan garegeb ini dimaksudkan untuk menghindari aksi anarkis massa karena dengan acara makan bersama ini diharapkan terjadi penumbuhan rasa solidaritas dan menghilangkan perbedaan-perbedaan diantara mereka yang dapat menimbulkan kekerasan atau kekisruhan.

Dalam hal ini ternyata budaya memiliki peran dalam menentukan, mengarahkan dan memaksa manusia untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku di masyarakat. Salah satu nilai dan etika  yang berlaku di Jawa yakni tercakup dalam prinsip hormat, rukun, dan isin yang menjadi tolok ukur masyarakat dalam bertindak dan berperilaku. Sehingga masyarakat Jawa saat ini diidentikkan dengan budayanya yang adiluhung, halus, sopan, santun, dan berunggah-ungguh. Akan tetapi, ternyata budaya juga dapat mewariskan sikap keras pada masyarakat Jawa. Pewarisan sikap keras ini dapat melalui pertunjukkan wayang  yang mengisahkan peperangan, kekerasan, dan pertumpahan darah. Dengan kisah pewayangan ini menjadikan budaya kekerasan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber :

Brata, Nugroho Trisnu. Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa. Semarang : Jurnal Komunitas Sosiologi dan Antropologi. Edisi 2:91-101

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: