Masyarakat Tengger di Bromo (Fieldnote)

November 16, 2015 in ANTROPOLOGI | Comments (3)


suku_tengger_bromo

  • Hari ke-2 tanggal 1 April 2014

Sekitar pukul 02.30 dini hari, bus rombongan jurusan sosiologi dan antropologi Universitas Negeri Semarang telah tiba di terminal sekarpura. Untuk melanjutkan perjalanan ke gunung Bromo, harus berganti moda transportasi yaitu jeep. Setelah saya turun dari bus, saya disambut oleh pedagang asongan yang menjajakan sarung tangan, syal, tutup kepala, dan lain-lain. Saya heran, masih dini hari seperti ini tapi mereka sudah keluar rumah untuk berjualan mencari nafkah. Saya salut sama mereka semua. Mereka giat sekali bekerja, padahal dini hari seperti itu seharusnya mereka masih melaksanakan ibadah nyepi. Tapi melihat sekeliling daerah sana yang mayoritas beragama Hindhu, timbul pertanyaan mengapa disana tidak gelap gulita dan sunyi. Mengapa tidak seperti Hindu yang di Bali, saat Nyepi semua bandara, terminal, hingga pelabuhan untuk akses menuju pulau Dewata ditutup sampai selesainya Nyepi. Mengapa disini tidak? Lalu timbul lagi pertanyyan dalam benak saya apakah nanti daerah atas juga sama halnya dengan daerah ini, orang-orangnya yang giat bekerja?


Setelah menuggu beberapa saat, saya bersama ketiga teman saya Gisella, Nunik, dan Alfiyah menaiki jeep yang di dalam juga ada dua orang dari bromogreen. Salah satu dari mereka duduk di belakang bersama kami. Saat perjalanan yang menurut saya cukup lama dan dengan jalan yang banyak tikungan membuat kami sedikit pusing. Lalu kami menyiasati hal tersebut dengan bercerita di sepanjang perjalanan. Mas-mas dari bromogreen juga ikut bercerita mengenai daerah disana. Tapi, sepanjang perjalanan itu, Mas tadi yang saya lupa menanyakan namanya bercerita tentang pertanian yang ada disana, agama, serta banyak hal diceritakannya. Saat kami sedang serius mendengarkan, entah mengapa mas dari bromogreen itu bercanda yang membuat kami lama mengartikan itu. Kami di dalam jeep banyak bercandanya yang membuat kami tertawa. Lalu, mas itu bercerita juga bahwa dia tidak kuliah. Lalu saya bertanya pendidikan akhirnya apa , Mas tadi menjawab pendidikan terakhirnya SMA. Mucul berbagai pertanyaan di dalam benak saya, apakah semua orang disini seperti dia. Bahwa saya melihat rumah penduduk disini bagus-bagus yang memandakan mungkin mereka orang yang mampu. Lalu, mengapa mereka tidak banyak yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Lamanya perjalanan, akhirnya kami semua sampai di pananjakan untuk melihat sunrise. Turun dari jeep, saya merasakan udara yang begitu dingin yang menusuk hingga ke tulang. Saya beristirahat sejenak sebelum naik untuk melihat keindahan sunrise di gunung Bromo. Saat beristirahat itulah, saya banyak ditawari oleh pedagang yang menyewakan jaket tebal. Karena saya sudah persiapan membawa jaket tebal dari rumah, lalu say menolak dengan halus penawaran pedagang-pedagan tadi. Di tempat kedua ini, lagi-lagi saya menjumpai orang-orang yang dini hari mencari rizki di tengah dinginnya udara Bromo. Selain itu, sya juga melihat banyak orang-orang yang berjualan di warung tepi jalan pananjakan. Pagi-pagi buta mereka juga sudah membuka warungnya untuk ancari rizki dari para wisatawan. Lalu tidak lama berselang saya dan teman saya, menaiki tangga demi anak tangga untuk melihat keindahan ciptaan Tuhan.Setelah sesampainya di atas, keadaan di atas sangatlah gelap gulita. Jikapun ada cahaya, itu dari senter yang dibawa oleh wisatawan. Di pananjakan juga sangatlah dingin sampai bibir pucat karena kedinginan. Sambil menunggu sunrise datang, saya mengamati orang-orang di sekitar saya. Karena disana tidak hanya rombongan sosant saja. Banyak wisatawan asing yang datang juga untuk melihat sunrise di Bromo ini. Saat saya melihat beberapa wisatawan asing, ada salah satu wisatawan yang menarik perhatian saya. Ada satu wisatawan asing yang memakai pakaian yang terbuka. Padahal, temannya juga mengenakan jaket seperti saya. Saat disana juga tidak terlepas dari pedagang. Banyak juga terdapat pedagan yang menawarkan bunga edelwise atau yang biasa disebut juga bunga keabadian. Hal tersebut menambah kuat pemikiran saya mengenai masyarakat Tengger yang suka sekali bekerja. Mereka sangat giat sekali untuk bekerja tidak mengenal waktu mungkin. Karena berbeda sekali dengan kota Semarang maupun asal saya yaitu kabupaten Kudus. Karena untuk di Kudus sendiri, mereka rata-rata bekerja hanya pagi sampai sore, walaupun di daerah Colo yang banyak peziarah.

Lalu setelah saya menikmati sunrise, saya turun lalu menaiki jeep lagi dan menuju ke lautan pasir. Di dalam jeep tersebut juga ada Mas tadi yang berada saat berangkat. Mas itu bercerita lagi mengenai Bromo. Sesampainya di lautan pasir sana, juga banyak sekali wisatawan. Dari luar daerah, serta luar negara. Saya juga mencoba untuk naik ke kawah Bromo. Karena saya sebagai anak muda, juga tidak mau kalah dengan wisatawan asing yang sudah tua. Karena saya melihat mereka sangat bersemangat untuk naik ke kawah Bromo tersebut. Saat di lautan pasir, disana juga banyak pedagan, dari jual baju, makanan, samapai bakso pun ada. Selain itu juga ada yang menjual jasa kuda untuk naik ke kwah Bromo. Dari lautan pasir sampai naik ke atas, saya banyak ditawari oleh penjaja jasa kuda tersebut. Dari mulzi harga yang tinggi sampai terendah pun ditawarkan. Tetapi, lagi-lagi saya menolak dengan halus. Karena menurut saya kalau yang lain bisa naik dengan usaha sendiri dengan berjalan kaki, kenapa saya tidak bisa. Menolak juga banyak hal positif, selain menghemat uang juga saya dapat berfoto-foto di sepanjang jalan menuju ke atas sambil menikmati pemandangan hamparan pasir yang ada. Menuju kawah bromo memang penuh dengan perjuangan, melawan rasa capek yang menyelimuti diri. Di tengah-tengah perjalanan, saya juga melihat seperti ada tempat dan saya rasa itu tempat sesaji saat upacara kasada. Tetapi, saya juga tidak tahu pasti apa itu. Karena jelas saya tidak berani medekati ataupun memegang. Karena di daerah gunung pasti banyak sekali larangannya. Setelah sekian lama saya mendaki untuk mencapai ke kawah, akhirnya sampai juga. Rasa capek dan kesal rasanya terbayar dengan sudah berada di puncak. Rasanya puas sekali walaupun hanya beberapa menit saja berada di atas karena saya sudah disuruh turun oleh panitianya. Saat perjalanan menuju ke lautan pasir lagi, saya dan teman saya berpapasan dengan bapak-bapak dosen. Lalu tidak lama berselang, juga bertemu dengan bu Lilis yang sedag beristirahat karena kelelahan sepertinya. Sesampainya di lautan pasir, saya bertemu dengan Fajar yang sedang makan bakso. Lalu, saya dan Giselle ditraktir oleh Fajar. Saat saya makan, saya berpkir pasti makanan yang saya makan tidak sehat, karena lingkungannya yang penuh dengan pasir yang bertebaran. Apalagi saat saya sedang makan, ada orang yang sudah selesai. Ternyata mangkuk tersebut hanya dibilas dengan air saja itupu juga airnya tidak bersih. Saat melihat hal tersebut, saya menghentikan aktivitas makan saya, karena saya jadi tidak nafsu untuk memakan makanan tersebut lagi. Setelah itu panitia menyuruh saya dan teman saya untuk kembali ke jeep dan melanjutkan perjalanan menuju ke desa Ngadas. Saat naik ke jeep, Mas dari Bromogreen ikut menaiki jeep lagi. Lalu, di tengah perjalanan bertemu dengan salah satu teman dia yang sedang berjalan. Temannya tadi ikut jeep kami tetapi bergelantungan di pintu. Saya miris melihatnya dengan jalan yang seperti ini, hanya bergelantungan saja. Membahayakan sekali menurut saya, tetapi mungkin menurut mereka itu merupakan hal yang biasa, mungkin juga mereka sudah terbiasa dengan hal tersebut. Di tengah perjalanan, saya melihat turis yang berboncengan menggungakan motor dan helm. Saya berpikir, apakah turis tersebut membawa motor dari negaranya, atau membeli motor disini, atau menyewa. Pertanyaan saya tersebut hanya dapat saya simpan dalam benak saya. Karena tidak mungkin jika saya turun dan menanyakan hal tersebut pada orang yang bersangkutan. Di sepanjang perjalanan, Mas dari Bromogrenn juga menceritakan berbagai hal mengnai pertanian disana. Bahwa, tanaman yang ditanam disana kebanyakan adalah bawang dan kubis. Mas itu juga menyebutkan tanaman yang lain, tapi saya sgak lupa tanaman apa tersebut. Lalu, Mas itu juga bercerita bahwa pertanian disini tidak seperti di Bali yang dapat dibuat terasering. Pertanian di bromo itu berada di lereng-lereng gunung. Yang menurut saya, pertanian di lereng itu lebih susah daripada di dataran tinggi.

Setelah sesampainya di balai desa Ngadas, saya dan teman saya makan pagi terlebih dahulu. Lalu setelah makan pagi, saya dan teman saya menuju ke homestay. Karena kami ketinggalan deri teman-teman yang lain, saya dan 2 teman saya tidak tahu dimana homestay kami. Lalu, kami bertanya kepada Mas Bromogreen tadi dan kami ditunjukkan dimana homestay kami. Saya mengambil koper dahulu di homestay 1, dan karena mas tersebut tahu bahwa kami capek sekali, karena jalanan yang tidak rata, koper bawaan kami dibawakan sampai di depan homestay. Lalu, saya memasuki homestay dan saat saya masuk banyak ayat-ayat Al-Qur’an. Ternyata, pemilik homestay yang saya tempati merupakan muslim. Saya istirahat sebentar dan membersihkan badan dari debu-debu tadi saat di lautan pasir. Setelah itu saya menuju ke balai desa untuk menghadiri sarasehan dan dialog dengan tokoh setempat. Lumayan cukup lama kami semua menunggu dosen datang. Setelah itu, datang dosen dan 3 orang tokoh dari desa Ngadas. Ternyata saat perkenalan, itu merupakan kepala desa Ngadas, Dukun Pandita, dan satunya saya kurang tau siapa, namanya Pak Mulyono. Saat awal pembicaraan, mereka mengucapkan salam khas orang Hindu, tetapi juga mengucapkan Assalamualikum. Awalnya saya bingung, bapak-bapak tersebut sebenarnya beragama apa. Tetapi lalu setelah berbicara panjang lebar, akhirnya saya tahu bahwa bapak-bapak tersebut beragama Hindhu. Saya lalu mengerti bahwa mereka juga menghargai kami, karena kami mayoritas juga muslim. Awalnya saya menjawab salam mereka karena ketidaktahuan saya. Menurut ajaran agama saya, saat saya mengaji dan belajar mengenai toleransi agama saya, bahwa yang berbeda agama saat mengucapkan Assalamualaikum secara lengkap, haram hukumnya untuk menjawab salam tersebut. Di tengah dialog tersebut, tidak memungkiri bahwa saya sangat lelah, capek, dan mengantuk. Tetapi saya bertahan untuk tetap mendengarkan walaupun orang-orang di samping saya tidak kuat menahan kantuk, dan akhirnya mereka pun tertidur. Saat saya mendengarkan bapak dukun pandita bercerita mengenai bagaimana kepercayaan dan agama di mayarakat Tengger tersebut, saya juga mencatatnya. Karena laporan KKL kelompok saya mendapatkan tema religi dan kepercayaan. Seperti yang dikatakan oleh dukun pandita, bahwa masyarakat desa Ngadas menganut agam Hindhu Dharma. Dukun pandita mengatakan bahwa sama dengan Hindhu yang lain, hanya yang membedakan adt dan budayanya saja. Tetapi, terbersit dalam benak saya, pasti ada perbedaan dalam segi agamanya. Karena, saat saya melewati dini hari tadi bertepatan dengan hari raya Nyepi. Tetapi, banyak lampu-lampu yang menyala. Sebelumnya juga bapak kepala desa sudah berbicara banyak hal mengenai pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Bapak kepala desa mengatakan bahwa untuk pendidikan, masyarakat Tengger tidak terlalu tinggi. Banyak yang hanya lulus SD, SMP, maupun SMA. Tetapi juga ada yang menempuh pendidikan S1 tetapi hanya 2 orang. Untuk pekerjaan sendiri, pekerjaan pokok masyarakat Tengger itu bertani. Sektor pariwisata, hanya mereka jadikan sampingan saja. Bapak-bapak tersebut juga mengenakan pakaian yang serba hitam, mereka berkata bahwa itu merupakan budaya mereka. Setelah melakukan dialog, kami melkukan observasi untuk mencari data dari tema yang telah ditentukan tersebut. Sebenarnya waktu untuk observasi kurang efektif karena para informan masih berada di ladang. Mereka berada di rumah saat malam hari, tetapi saat malam hari kami ada presentasi dan komentar dari para dosen. Dan kami melakukan observasi juga dalam keadaan yang sangat capek sekali. Saya dan 3 teman saya, mencari informan dari sudut pandang Islam. Kami pergi munuju ke desa wonosari, disana terdapat makam Islam dan Hindu. Sebenarnya kami ingin kesana untuk melihat dan memotretnya. Tapi karena keadaan yang sunyi dan sepi serta tidak ada orang yang bisa ditanyai, mengurungkan niat kami. Karena kami tahu bahwa disini banyak pantangan dan larangan. Saat saya menuju ke masjid, ada 2 orang anak kecil di depan masjid. Saat kami, mendekat dan bertanya apakah masjidnya terbuka, mereka menjawab dan menunjukkan tempat wudhu. Setelah itu, mereka lari, rasanya mereka takut melihat kami. Kebetulan saya sudah shalat, dan saya menunggu teman-teman saya di depan. Anak tadi muncul lagi, lalu lari lagi. Saya jdi heran mengapa mereka seperti itu, padahal saya biasa saja. Akhirnya mereka keluar lagi dan akan kembali ke rumah. Saat melewati saya, mereka menyapa saya, dan lari. Saya berpikir, mungkin mereka malu dengan orang asing. Lalu, saya dan teman saya, melanjutkan pencarian dan kami bertemu dengan ibu-ibu yang sedang di pinggir ladang, kami permisi untuk bertanya. Lalu dengan ramah, ibu tersebut mengajak kami ke rumahnya. Saat kami sedang bertanya-tanya, terdengar suara anjing. Lalu kami menanyakan, mengapa ibu yang seorang muslim tetapi memelihara anjing. Ternya anjing tersebut dipelihara hanya untuk menjaga ladang mereka dari serangan monyet-monyet. Lalu , setelah saya selesai, kami menuju rumah bapak kepala desa wonosari. Bapak tersebut dengan senang hati menceritakan bagaimana kehidupan agama disana. Saat kami bertanya mengenai pandangan mengenai agama Hindhu disana, bapak tersebut menjawab dan mencontohkan saat hari raya Nyepi, bahwa banyak yang tidak mengikuti dengan lengkap walaupun juga ada yang benar-benar mengikuti aturannya. Saya berpikir, mungkin agama Hindhu disini juga seperti penelitian Geertz mengenai religi di Jawa. Ada abangan, santri, dan priyayi. Mungkin sebenarnya disini juga ada seperti itu. Lalu stelah melakukan wawancara, saya dan teman saya kembali ke homestay. Saat saya masuk ke rumah. Saya baru menyadari ada beberapa foto yang terpampang disana. Saya mencoba melihat-lihat foto tersebut, mungkin itu adalah anak dari pemilik homestay. Saya sedikit kaget, anak pemilik homestay tersebut adalah TNI AU. Yang mana setahu saya, untuk masuk TNI AU sangat susah, melebihi susahnya masuk ke TNI AD. Karena pasti sebelumnya juga mengikuti pendidikan terlebih dahulu, yang untuk masuk ke pendidikan tersebut sangat susah. Saya lalu teringat akan cerita bapak kepala desa saat dialog. Hal yang saya lihat tersebut, mematahkan pemikiran saya akan cerita bapak kepala desa tersebut. Bahwa, orang disini pemikirannya sudah maju, karena ada juga yang keluar dari pekerjaan mayoritas disana. Lalu, saat malam saya makan malam dan berkumpul di balai desa sampai pukul 12 malam.

  • Hari ke-3 tanggal 2 April 2014

Keesokan harinya saya packing dan beres-beres untuk menuju ke Malang. Sebelum saya meninggalkan homestay, ibu pemilik homestay keluar. Lalu saya berpamitan dan bersalaman serta berfoto dengan ibu tersebut. Saya menuju ke balai desa untuk sarapan dan melanjutkan observasi lanjutan. Kini, saat melakukan observasi lanjutan saya hanya berdua dengan teman satu kelompok dari rombel satu yang bernama nuufid. Walaupun kami hanya berdua, kami mecari informan di desa Ngadas. Kali ini, saya mencari informan yang beragama Hindhu. Karena situasi pada pagi hari, banyak orang yang pergi ke ladang. Kami sedikit kesusahan untuk mencari informan, dan akhirnya kami menemukan satu informan yang sedang berada di rumah. Lalu kami meminta ijin untuk sedikit bertanya-tanya. Pemilik rumah sangat ramah, kami disuguhi minuman dan makanan. Lalu kami bertanya mengenai bagaimana agama Hindhu disini saat melakukan perayaan Nyepi. Jawabannya, bahwa mereka semua itu menjalankan dengan aturan. Kami disini menemukan sudut pandang yang berbeda. Untuk kebenarannya sendiri, kami tidak tahu. Karena menurut saya, observasi disini sangat singkat. Susah juga untuk mendapatkan data yang lengkap sesuai dengan apa yang saya inginkan. Kami banyak bertanya hampir satu jam kami disana. Saya juga sedikit kesusahan, karena jawaban para informan standar. Tidak mengerucut, tidak sesuai yang saya harapkan. Ternyata, disini memang berbeda dengan hindhu yang berada di Bali. Saat saya menanyakan apakah mempunyai kitab, ternyata mereka tidak punya, dan mereka mengatakan bahwa kitab hanya dimiliki oleh dukun pandita saja. Lalu,setelah saya rasa cukup, saya dan teman saya kembali ke balai desa. Saat saya berada disana, saya heran kenapa tidak ada aktivitas pemerintahan di balai desa tersebut seperti yang ada di daerah saya. Saya lalu teringat perkataan kepala desa wonosari, bahwa bapak kepala desa tersebut pekerjaan utama saat pagi hari juga sama dengan yang lain yaitu bercocok tanam. Disini, keberadaan kepala desa rasanya hanya untuk formalitas saja. Setelah semuanya selesai, saya kembali menuju ke terminal sekarpura untuk melanjutkan perjalanan ke malang untuk berwisata. Di tengah-tengah perjalanan, saya melihat orang-orang yang sedang bekerja di ladang. Rasanya melihat mereka seperti itu, terlihat sekali bahwa kehidupan mereka aman, tentram, dan nyaman.


3 Responses to “Masyarakat Tengger di Bromo (Fieldnote)”

RSS feed for comments on this post.

  1. Comment by Dedi Arif SetiawanNovember 25, 2015 pukul 4:45 am  

    Ditunggu karya2 etnografi lainnya 😀

  2. Comment by oding wikantiNovember 27, 2015 pukul 12:04 pm  

    sangat menarik,,

  3. Comment by nunikNovember 29, 2015 pukul 4:49 am  

    kereen sekali karya etnografinya kak