Home > Anthropology > Manusia dan Kebudayaan

Manusia dan Kebudayaan

2.1. Keanekaragaman Makhluk Manusia dan Kebudayaan

Munculnya Renaissance menimbulkan rasionalisme yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa mengalami Aufklaarung (pencerahan), berbagai bidang kajian banyak dilakukan termasuk upaya untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaan di berbagai dunia. Berbagai macam kajian anatomi komparatif yang dilakukan lebih ditekankan atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu, mereka juga mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah laku makhluk manusia. Beraneka macam gejala perilaku makhluk manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dianalisis secara induktif dengan mencari unsur-unsur persamaan yang ada. Berbagai tokoh penting muncul dalam hal ini diantaranya yaitu August Comte dan Herbet Spencer. Selanjutnya pemikiran penting lainnya muncul dari C.L de Secondat, Baron de la Brede de Montesquieu yang mengatakan bahwa keanekaragaman masyarakat manusia itu, di samping lebih disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing, juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internnya.

Seorang ahli pra sejarah V. Gordon  Childe (1956) berpendapat bahwa ada tiga jenis revolusi dalam sejarah kebudayaan manusia, yaitu mulai mengenal sistem bercocok tanam, mulai bertempat tinggal di kota-kota, dan revolusi industri. Sedangkan tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi dalam tiga periode yaitu, periode liar, periode barbar dan periode peradaban.

2.2. Konsep Kebudayaan

Dalam antropologi, aspek penting kebudayaan adalah pola-pola tindakan manusia dan kelakuannya. Pembatasan konsep kebudayaan menekankan pada aspek belajar merupakan pendapat dari C. Wissler (1916) dan C. Kluckhohn (1941). Menurut E.B Taylor (1881), konsepsi kebudayaannya lebih didasarkan atas teori evolusi, selanjutnya pembatas kebudayaan A.L. Kroeber (1948) lebih didasarkan pada pemikiran historical particularism, culture and personality (Linton, 1936), structural functionalism (Malinowski, 1945), structuralism (Levi Strauss, 1972), ethnomethodology (Luckmann, 1979). Perubahan kebudayaan menganggap bahwa struktur sosial merupakan bagian yang statis, dan bagian yang dinamis adalah berbagai bentuk interaksi sosial. Seorang peneliti harus mampu mendeskripsikan unsur-unsur terkecil dari suatu kebudayaan dan mampu menganalisis berbagai gagasan, perasaan dan emosi yang melatarbelakanginya. Geertz berpendapat bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perorangan. Sistem pemaknaan ini mempunyai 2 aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek evaluatif. Aspek kognitif menentukan orientasi sekelompok orang terhadap tempat hidupnya. Sedangkan aspek evaluatif diperoleh suatu pengetahuan dan kepercayaan yang ditransformasikan menjadi nilai-nilai. Leslie White (1969) mengatakan pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi dan kekuasaan, dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa. Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, kebudayaan merupakan suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya.

2.3. Ekologi dan Homeostatis

Dalam kaitannya dengan kebudayaan, suatu perubahan ekologis juga membuat manusia menyesuaikan berbagai gagasan mereka, misalnya tentang kosmologi, suksesi politik, kesenian dan sebagainya. Penerapan azas-azas analisis ekologis serta konsep-konsep yang dipergunakan untuk mengungkap azas-azas tersebut pada manusia dapat dilakukan dengan metode memandang bahwa seluruh masyarakat manusia itu sebagai fenomena biotik seperti yang lain, kemudian menerapkan konsep ekologi itu secara langsung dan menyeluruh. Ini merupakan pendekatan khas mazhab human ecology yang dipelopori sarjana sosiologi Robert E. Park dalam American Journal of Sociology (1934,42:1-15). Pendekatan ekologi berupaya menemukan spesifikasi lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan proses alam tertentu dalam suatu kerangka analisis ekosistem. Ekosistem sendiri terdiri dari komunitas biota dari organisme yang saling berhubungan. Studi mengenai ekologi menurut Geertz (1963) adalah mengkaji hal-hal yang bersifat ekonomik, tentang rumah tangga, mengenai organisme hewani termasuk hubungan hewan dengan lingkungannya. Terpeliharanya keseimbangan sistem atau homeostatis merupakan kekuatan pengatur perimbangan alam atau the balance of nature. Maksud sejarah sosial dalam bukunya Geertz bukan hanya sekedar kisah orang dan peristiwa tetapi lebih merupakan bahasan mengenai perubahan struktur sosial, perubahan dari suatu keseimbangan sosial atau homeostatis ke keseimbangan lainnya.

2.4. Ekologi Budaya

Untuk pertama kalinya pendekatan ekologi dilakukan oleh Julian H. Steward (1955) dengan memakai istilah cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi tertentu. Ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Berbagai upaya pengaturan kembali tersebut berpengaruh pula terhadap struktur sosial mereka, akhirnya sampai pada suatu pendapat bahwa pertama, ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu. Kedua, pola-pola kelakuan dalam rangka mengeksploitasi suatu daerah, erat kaitannya dengan suatu bentuk teknologi yang diciptakan dan ketiga pola-pola kelakuan dalam rangka itu akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari kebudayaannya. Steward berpendapat bahwa hubungan antara kebudayaan dengan alam sekitarnya dapat dijelaskan melalui aspek-aspek tertentu dalam suatu kebudayaan. Yang merupakan pusat perhatian dari ekologi budaya lebih berdasarkan pengalaman empirik, terutama yang paling erat hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan.

2.5. Determinasi Lingkungan dan Posibilisme

Dalam perkembangannya di kalangan ahli antropologi Amerika, muncul pemikiran yang berlawanan. Kaum Possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif atau merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Untuk itu, kaum possibilis berpendapat bahwa suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai sebab utama yang menyebabkan perbedaan suatu kebudayaan, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi. Dengan kata lain bahwa keadaan alam lingkungan tidak sepenuhnya merangsang timbulnya suatu pola kebudayaan tertentu. Sebagian besar penganut paham environmentalism berpendapat bahwa pada dasarnya perbedaan perilaku sosial dari makhluk hidup, demikian pula bentuk fisik dan kejiwaan adalah karena mereka itu hidup dalam suatu wilayah yang memiliki iklim berbeda.

 

Pertanyaan yang di ajukan dari uraian tersebut :

  1. Bagaimana implementasi pendekatan ekologi dalam mengkaji kejadian kebakaran hutan yang ada di Riau? Dan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut menurut pendekatan ekologi lingkungan?
  2. Dimana letak perbedaan pandangan antara kaum Possibilism dengan kaum antropogeografis? Dan faktor apa sajakah yang membedakan kedua pandangan tersebut.
Categories: Anthropology Tags:
  1. November 30th, 2015 at 04:30 | #1

    keren kak,,, lanjutkan

  2. November 30th, 2015 at 05:42 | #2

    alangkah lebih baiknya sumber dicantumkan yaa 🙂

  3. December 1st, 2015 at 08:27 | #3

    coba struktur penulisannya diganti lebih menarik, biar tidak terkesan tugas kuliah yang diuplod hehe

  4. December 2nd, 2015 at 02:35 | #4

    Sudah baik dan cukup menjelaskan apa yang akan disampaikan

  5. December 2nd, 2015 at 06:44 | #5

    penomorannya diedit ya, biar bagus tampilannya 🙂

  1. No trackbacks yet.