Setelah menempuh berjam-jam perjalanan, rombongan KKL jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi sampai di Pelabuhan Sleko, yaitu pelabuhan di mana kami menyebrang ke kecamatan Kampung Laut. Saya dan lima teman saya termasuk dalam tim etnovideografi, beserta dua presenter. Sejak awal kami turun dari bus, kami sudah menyiapkan seluruh peralatan untuk take video pertama yang menunjukkan kami telah tiba di pelabuhan Sleko. Namun kami mendapat sedikit kendala dari pihak TNI-AL setempat karena take video tidak memohon izin terlebih dahulu, Pak Kuncoro Bayu pun berusaha untuk menjelaskan dan tidak butuh waktu lama pasukan bersenjata tersebut memberi izin untuk take video di depan halaman Pangkalan TNI-AL Sleko. Karena mengambil video bukan waktu yang sebentar akhirnya kami menaiki perahu yang terakhir. Dalam perjalanan menuju desa Ujung Gagak, kecamatan Kampung Laut, Cilacap aktifitas kami mengambil beberapa video presenting dan pemandangan mangrove. Untuk pertama kalinya saya menaiki perahu kecil dengan jarak yang cukup jauh, tidak terbayangkan bagaimana jika saya bertempat tinggal di Ujung Gagak.
Di tengah perjalanan kami melewati desa Kleces. Desa ini dapat dikatakan pusat desa, atau pusat kecamatan Kampung Laut. Dimana terdapat puskesmas dan sarana pendidikan yang bisa dikatakan cukup lengkap dibandingkan desa lainnya. Dari pelabuhan Sleko kita sering melihat sampah-sampah berserakkan, ada pula yang dengan rasa tanpa bersalah masyarakat setempat membuangnya ke kanal yang kita lewati. Kami memilih desa Ujung Gagak dikarenakan desa tersebut dinilai lebih bersih dan masyarakatnya yang terbuka kepada para pendatang.
Setelah sampai di dermaga Ujung Gagak, kami menunggu para peserta KKL lainnya menuju homestay, dan kami mengambil beberapa video presenting di dermaga, untuk menunjukkan bahwa kita telah sampai di dermaga dan bersiap-siap untuk observasi di desa Ujung Gagak. Terdapat 9 homestay yang kami tempati. Tim etnovideografi mendapat homestay 8, yang berjarak cukup jauh dari Balai desa. Saat semua peserta observasi mencari informasi dari masing-masing narasumber, kami take beberapa video presenting dan wawancara dengan warga setempat, bertujuan untuk mendapat informasi sehingga dapat membuat narasi saat pengeditan video. Islam kejawen di desa Ujung Gagak masih sangat kental, namun ada beberapa warga yang membagi kepercayaan tersebut. Dalam persembahan atau disebut dengan Larungan, sebagian dari mereka mempersembahkannya ke laut, dan sebagian lainnya ada yang mempersembahkannya ke bumi. Ada yang dengan menanam sesaji tersebut, ada yang menaruhnya di dalam kamar khusus, dan ada juga yang menaruhnya di tempat-tempat yang menurut mereka keramat.
Pada malam harinya diadakan perkumpulan masyarakat di balai desa untuk menyiapkan sesaji yang akan dilarungkan ke laut. Sebagian besar ibu-ibu di daerah setempat membantu membungkusi makanan-makanan serta perlengkapan sesaji. Terdapat berbagai macam jenis makanan, pakaian, rokok, sandal, dalaman wanita dan pria, kopi, seekor ayam yang sudah dipanggang, dan kepala kambing yang dibungkus dengan kain kafan. Seluruh masyarakat bersama dengan peserta KKL berkumpul di balai desa. Kepala desa dengan tokoh adat setempat pun menceritakan asal-usul beserta tradisi di desa Ujung Gagak. Kami sebagai tim etnovideografi bertugas untuk merekam segala aktifitas dan keunikan di desa Ujung Gagak, dari mulai sampai hingga kembali ke pelabuhan Slengok. Untuk pertama kalinya saya mengikuti acara seperti ini, berada di ruangan yang bau dengan asap dupa dan kemenyan membuat saya tidak merasa begitu nyaman. Saya bukan orang yang terlalu senang dengan hal-hal mistis, melihat kepala kambing yang dibungkus dengan kain kafan seakan-akan seperti pocong di film-film horor. Acara tersebut selesai sekitar tengah malam. Kami tidak sengaja merekam beberapa sesaji dan pohon-pohon yang dianggap keramat. Beberapa kali handycam saya dan teman saya mengalami gangguan seperti kamera tidak focus atau blur, kamera tiba-tiba mati dengan sendiri, membuat bulu kuduk saya berdiri. Kurangnya pencahayaan dalam perjalanan menuju homestay membuat saya semakin merasa takut.
Keesokan harinya saya mencoba untuk bangun sebelum matahari terbit, untuk mengambil view dan merekamnya. Saya ditemani dengan salah seorang teman dari guide di desa Ujung Gagak, dia seorang fotografer yang ingin memperluas wawasan budayanya. Kami mengambil beberapa view dari belakang homestay dan di dermaga. Namun tidak satupun ada perahu yang mengantarkan anak sekolah, setelah saya menanyakan kepada anak-anak di sekitar, mereka menjawab “kalau ada larungan kami libur” adapula yang berkata bahwa mereka meliburkan diri.
Sekitar pukul 10 pagi sesaji disiapkan untuk dilarungkan ke lepas pantai, tim etnovideografi dibagi 2, ada yang mengikuti acara larungan dan saya mengambil dari sisi pendidikan dan perkebunan di desa Ujung Gagak. Saya dan tim saya mencoba memasuki ke sekolah dasar, dan yang membuat saya kaget ternyata kelas 4 dan kelas 5 menjadi satu. Saat kami tanya bagaimana cara belajarnya mereka menjawab “dibagi waktunya mas, kelas 5 dulu baru gurunya ngajar kelas 4”. Setelah itu kami menelusuri perkebunan Jeruk dan Pepaya milik warga yang letaknya cukup jauh dari pemukiman warga. Kami merekam beberapa presenting video untuk menunjukkan bahwa di Ujung Gagak tidak hanya menjadi nelayan masyarakatnya tetapi ada pula yang bertani.
Dosen-dosen pun mulai menyuruh para peserta KKL untuk bersiap-siap kembali ke pelabuhan Sleko, Kabupaten Cilacap dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Baturraden, Purwokerto. Demikianlah catatan kegiatan saya di Ujung Gagak, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Bahasanya menarik, mudah dipahami. Sayangnya tata letaknya kurang rapi kak. Maju terusss :thumbup
well thanks for your suggestion dude!
Bahasanya menarik, artikel yang bagus
terimakasih annisa
pembahasan mengenai tradisi sedekah bumi sangat mendalam dan mudah untuk dipahami , ditambah foto akan lebih menarik dan menguatkan
terimakasih masukannya ulya