Haaay temen-temen, kali ini saya akan berbagi tentang tugas artikel mata kuliah Sosiologi Politik pada semester 5. Yang mengangkat tema Hubungan Patron-Klien.
Latar Belakang
Arus modernisasi dewasa ini disadari ataupun tidak telah membawa berbagai macam perubahan hampir di semua lini kehidupan. Salah satu perubahan konkrit adalah gencarnya penetrasi teknologi yang semakin memungkinkan manusia menjadi lebih mudah melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi seperti halnya alat komunikasi telah mampu mengubah persepsi masyarakat akan batas-batas ruang teritorial yang selama ini dianggap hampir tak terjangkau. Pada sisi yang lain, modernisasi juga telah secara pelan tapi pasti mengubah kultur lokal menjadi lebih terbuka dengan mengikuti perubahan yang terjadi. Pada titik ini, budaya lokal yang dianggap sakral oleh masyarakat dan selalu dijadikan pijakan dalam setiap tindakannya lambat laun mengalami pergeseran. Pesantren sebagai lembaga Islam tradisional tertua di Indonesia juga telah melakukan transformasi. Perubahan telah menyentuh institusi ini. Pesantren yang pada dasarnya merupakan subkultur dalam kehidupan setelah masyarakat, telah bergeser perannya tidak sekedar lembaga yang mencetak Kiai atau ulama tetapi juga intelektual muslim yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita para pendahulunya untuk memajukan umat Islam secara keseluruhan (Azra, 2001: 27).
Sejarah kedudukan pondok pesantren hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam di Indonesia. Catatan sejarah membuktikan bahwa lembaga pendidikan Islam tertua ini sudah dikenal sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari munculnya kerajaan Islam pertama di Aceh pada abad pertama Hijriyah, munculnya Wali Songo sampai permulaan abad ke XX, kemudian dilanjutkan dengan sejarah perjuangan mengusir penjajah di Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki ciri penting yang kiranya selalu melekat dan menyatu menjadi identitasnya, yaitu santri, kiai, masjid, pondok dan kitab klasik (kitab kuning). Hubungan kelima unsur tersebut sangat erat. Lebihlebih hubungan antara kiai dan santri, yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan pesantren. Istilah pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Namun istilah yang lebih ngetrend di kalangan masyarakat tradisionalis adalah nama pondok. Istilah pondok sendiri terlahir dari pengertian asrama atau tempat tinggal para santri yang terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti hotel atau asrama. Pondok ini merupakan tempat tinggal para santri dalam rangka menuntut pelajaran dan pendidikan keagamaan Islam di bawah asuhan para kiai.
Pembahasan
Pola Relasi Patron Klien di Pesantren Darul Fikri Malang oleh Eko Setiawan
Pola relasi kiai dan santri yang selanjutkan akan disebut dengan “hubungan antara kiai dan santri” dapat dikategorikan sebagai hubungan dialektik. Hubungan dialektik ialah hubungan di mana dua pihak saling memberi pengaruh dan akibat, kemudian interaksi dua pihak itu membuahkan hasil yang lain dari bentuk ke dua tindakan dua pihak tersebut. Seseorang yang merasa terancam oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh orang lain akan berusaha melakukan tindakan yang membuat orang itu mengubah tindakannya. Salah satu keunikan tradisi pesantren, yaitu relasi kiai dan santri yang begitu kuat dan sakral. Relasi santri dengan kiai berbeda antara murid dan guru di lembaga pendidikan non pesantren, penuh kepatuhan, ketulusan dan penghormatan atas kharisma kiai yang begitu tinggi. Pola relasi hubungan kiai dan santri berkaitan dengan kepemimpinan di pondok pesantren. Dalam hal ini kiai dan santri yang disatukan dalam pondok pesantren memunculkan pola relasi sendiri, sehingga kiai dalam memimpin sebuah pondok pesantren memiliki gaya kepemimpinan tersendiri.
Ada pun pola relasi hubungan kiai dan para santrinya di Pesantren Darul fikri dapat terdiri menjadi dua bagian: 1. Hubungan Guru dan Murid Santri akan selalu memandang kiai atau gurunya sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang dapat membawa keberuntungan (berkah) atau celaka. Kecelakaan yang paling ditakuti santri adalah kalau sampai ia disumpahi sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Karena itu santri berusaha untuk menunjukkan ketaatannya kepada kiai agar ilmunya bermanfaat, dan sejauh mungkin menghindarkan diri dari sikap-sikap yang dapat mengundang kutukan dari kiai tersebut. Perasaan hormat dan kepatuhan santri kepada kiai adalah mutlak dan tidak boleh putus, artinya berlaku seumur hidup si santri. Di samping itu rasa hormatnya yang mutlak harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, maupun pribadi. Melupakan guru dianggap sebagai suatu aib besar, disamping akan menghilangkan barokah guru. Tidak diragukan lagi bahwa setiap santri diharapkan memenuhi tuntutan kitab dalam sikapnya terhadap kiai. Yang mana dalam hal ini kiai menjadi guru dan santri sebagai murid dari kiai tersebut. Satu gambaran ideal tentang ketaatan murid kepada guru. “Salah satu cara menghormati guru adalah hendaknya tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak memulai percakapan kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di hadapan guru, tidak menanyakan sesuatu ketika sedang kelelahan, menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai beliau keluar, dan menghormati guru adalah juga menghormati anak-anaknya”. 2. Hubungan kiai dan para santrinya tampaknya tidak hanya sebatas hubungan antara murid dan guru belaka. Akan tetapi, lebih dari itu yaitu hubungan timbal balik di mana santri menganggap kiainya sebagai bapaknya sendiri, sementara itu kiai menganggap santrinya sebagai titipan Tuhan yang senantiasa harus dilindungi. Adapun peranan kiai sebagai orangtua, kiai merupakan tempat dimana santri mengadu, terutama jika santri mempunyai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri. Kedudukan kiai sebagai orangtua yang dianggap dapat memecahkan masalah secara bijak tampaknya tidak hanya menyangkut masalah santri secara individu, tetapi juga masalah yang terjadi antar santri.
Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang’ yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh. Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family. Hubungan patron-klien itu sendiri telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Pendapat yang hampir serupa juga diketengahkan oleh Palras, di mana menurutnya hubungan patron-klien adalah suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya. Lebih lanjut hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, di mana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.
Selanjutnya, agar dapat menjamin kontinuitas hubungan patron-klien antar pelaku yang terdapat di dalamnya, maka barang atau jasa yang dipertukarkan tersebut harus seimbang. Hal ini dapat berarti bahwa reward atau cost yang dipertukarkan seharusnya kurang lebih sama nilainya dalam jangka panjang atau jangka pendek. Dengan demikian, semangat untuk terus mempertahankan suatu keseimbangan yang memadai dalam transaksi pertukaran mengungkapkan suatu kenyataan bahwa keuntungan yang diberikan oleh orang lain harus dibalas.
Dalam penelitian ini hubungan patron-klien di Pesantren Darul fikri merupakan hubungan kiai dan santri yang diwarnai kepercayaan, wibawa, dan kharisma merupakan nilai-nilai tradisi yang terdapat di pesantren. Nilai-nilai yang terdapat di pesantren mengandung tiga unsur yang mengarah kepada terbentuknya hubungan patron-klien: pertama, hubungan patron-klien mendasarkan diri pada pertukaran yang tidak seimbang, yang mencerminkan perbedaan status. Seorang client (santri), menerima banyak jasa dari patron (kiai) sehingga client terikat dan tergantung kepada patron. Kedua, hubungan patron-klien bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara kiai dan santri menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari budaya penghormatan santri ke kiai yang cenderung bersifat kultus individu. Ketiga, hubungan patron tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas kurun waktunya. Hubungan patron-klien ini menempatkan kiai pada kedudukan yang tinggi, berpengaruh, dan berwibawa di hadapan santri. Memahami hubungan patron-klien pada kiai dan santri dalam pesantren dengan menyertakan latar suasana, waktu, dan tempatnya, merupakan proses pendidikan yang efektif, karena keduanya berangkat dari satu titik yang sama yakni keikhlasan.
Faktor-Faktor Eksistensi Budaya PatronKlien
- Kepemimpinan Kharismatik Kiai Biar bagaimanapun, seorang kiai adalah sosok ideal di mata santri-santrinya. Ia dianggap sebagai seseorang yang konsisten dalam pengamalan ajaran Islam yang telahia sampaikan kepada santri-santrinya. Kiai sebagai sosok yang ideal di mata santri mereka adalah sosok yang perlu untuk ditauladani oleh segenap santri. Santri menganggap kiai sebagai sosok yang diidolakan, dicintai, bahkan ditakuti sebab kiai adalah pewaris ajaran dan perilaku nabi. Patuh terhadap kiai dan seperangkat nilai-nilai yang telah dilembagakan pada pondok pesantren berarti itulah kepribadian menjadi seorang muslim yang sejati. Akibatnya, santri harus tundukkepada kiainya dengan jalan patuh terhadap aturan pondok pesantren dan kebijakan perintah yang diberikan kepada santrinya. Dalam diri santri terdapat rasa hormat dan kepatuhan yang tinggi, hal ini karena pada dasarnya untuk mendapatkan ilmu dari kiai maka seorang santri memiliki rasa rendah hati dan lapang dada. Hal semacam ini mengacu pada sebuah kitab klasik Ta’limul Muta’alim, tertulis sebagai berikut: “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah mereka ingat bahwa tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali dia menaruh hormat pada pengetahuannya tersebut, dan juga menaruh hormat kepada kiai yang telah mengajarnya. Dapat dipahami bahwa munculnya bentuk kepemimpinan kharismatik seringkali mengabaikan nilai-nilai demokratis sebab kepemimpinan tersebut tidak rasional. Segala perintah yang diberikan kepada warga pesantren tradisional terutama santrinya, hampir mutlak dikerjakan selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seringkali santri tidak menyadari apa tujuan tersirat dibalik suatu perintah itu tetapi mereka meyakini bahwa perintah seorang kiai adalah benar dan bertujuan baik bagi dirinya. Santri yakin sekali bahwa dibalik perintah orang suci itu terdapat suatu “barokah” jika dilaksanakan tetapi tidak patuh terhadap kiai berarti ingin mendapatkan “kualat”. Bentuk interaksi seperti ini menutup celah bagi seorang santri untuk melakukan kritik apalagi melawan terhadap gurunya.
- Barokah dan Kualat; Landasan Spiritual Realitas Sosial Kiai Ikatan guru-murid atau ikatan kiai-santri sampai kapanpun masih berlaku meskipun si santri tidak lagi belajar di kiai tersebut. Pengucapan sebutan bekas terhadap seorang guru seringkali dianggap sebagai hal yang hina yang tidak diperkenankan. Sampai kapanpun santri adalah murid kiai. Santri yakin jika melanggar aturan seperti ini berarti ia ingin mendapatkan “kualat” hidupnya serba tidak barokah. Seorang santri jika tidak ingin mendapatkan kualat karena berbuat tidak bijak terhadap gurunya maka ia harus melakukan penyerahan total, dalam artian tunduk kepada gurunya asalkan tidak melakukan perintah yang bertentangan dengan syariat Islam. Meskipun seorang guru tidak tahu kalau muridnya telah melakukan tindakan yang lancang, tetapi kualat akan diturunkan oleh Tuhan. Ini semua karena guru adalah orang yang dekat dengan Tuhan, dan atas seizin-Nya apapun dapat menimpa terhadap murid jika melawan terhadap gurunya dan atas seizin Tuhan pula sang guru dapat menyalurkan kemurahan dari Tuhan. Menurut Kiai Sumhudi dari Pondok Pesantren Darul fikri, dekat dengan guru berarti kita dekat dengan malaikat yang berarti pula kita dekat dengan Allah. Mendapatkan ridho guru, diyakininya pasti akan mendapatkan ridho dari Allah. Oleh sebab itu ilmu yang bermanfaat mengandung maksud, ilmu yang mendapatkan barokah dari guru yang berarti juga mendapatkan barokah dari Allah sehingga dapat disebarluaskan dan mendatangkan pahala (aspek ibadah). Secara teoritis penyaluran barokah tersebut di atas, terkait erat dengan pancaran cahaya Allah yang membekas pada kiai kemudian menyalur ke santri.
Kesimpulan
Dari jurnal di atas dapat kita simpulkan bahwa terlihat jelas hubungan patron-klien di dalam kehidupan pesantren, di mana kiai yang menduduki posisi patron dan santri yang menduduki posisi klien. Walaupun hubungannya dibagi dua, yaitu guru dengan murid atau bapak dengan anak tapi inti dari semuanya sama yaitu kiai memiliki kekuasaan penuh atas semua peraturan dan segala hal di dalam pesantren, dimana kiai dianggap memiliki doa yang mujarab, jika sebuah kutukan yang dilontarkan oleh kiai akan menimpa langsung kepada santrinya berupa ilmu yang tidak barokah sehingga akan menghambat segala hal di dalam hidup si santri. Oleh karena itu ketaatan sangat diutamakan oleh para santri di sini. Faktor ‘Barokah dan Kualat’ membuat santri semakin patuh akan seluruh peraturan yang diterapkan. Tetapi menurut pendapat pribadi saya, santri pun memiliki faktor lain, seperti ketaatan kepada Allah, dan kiai adalah pengantar ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Rasul.
Daftar Pustaka
- Setiawan Eko, EKSISTENSI BUDAYA PATRON KLIEN DALAM PESANTREN: Studi Hubungan Antara Kiai dan Santri Ulul Albab Volume 13, No.2 Tahun 2012
- Setiawan Eko, POLA RELASI PATRON KLIEN DI PESANTREN DARUL FIKRI MALANG Vol. 10 No. 1 Januari 2016