Archive for November 25th, 2015

Author:
• Rabu, November 25th, 2015

KONDISI HANKAM MASA ORDE BARU

Misi Penerbangan Spritual Orde Baru – Bagian 1

Seperti diketahui kurun waktu 1960-1970 merupakan kurun waktu yang paling krusial dalam sejarah RI.  Suatu kurun waktu yang penuh konflik,  akibat adanya pergeseran kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru.  Walaupun proses pemindahan kekuasaan dari Bung Karno kepada Pak Harto telah diselesaikan secara konstitusional oleh MPR (S),  namun demikian konflik tidak dengan sendirinya mereda, karena di lapangan resistensi para pendukung Bung Karno terhadap keputusan tersebut sangat kuat, dan tidak  menyerah begitu saja.  Hal tersebut sangat menghawatirkan pemerintah Orde Baru,  sehingga pemerintah (baca Pak Harto) merasa perlu untuk meniadakan ancaman tersebut dengan segala cara, baik secara fisik maupun psikis, bahkan cara-cara spiritual atau supra natural-pun digunakannya.   Penggunaan cara –cara yang mengedepankan pendekatan spiritual oleh pemerintah Orde Baru telah  menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dalam dan luar negeri, terutama pers.  Memang pendapat umum menganggap upaya melalui pendekatan spiritual tersebut identik dengan upaya mistik atau perdukunan,  yang dinilai irrasional bila dikaitkan dengan penyelenggaraan kenegaraan.   Dari kalangan sendiri, dari tokoh tokoh Orde Baru yang berfikir rasional,  tidak sedikit yang ikut mengkritisi cara-cara tersebut sebagai melawan arus kemajuan dan teknologi, dan serta merta menyatakan ke-tidak setujuannya.  Sedangkan bagi pak Harto dan para penasihatnya,  pendekatan spiritual ini adalah demi melengkapi syarat-syarat kepemimpinan seperti yang dipercayai oleh masyarakat dan budaya  Jawa.  Pemimpin harus kuat secara lahiriah dan kuat kejiwaannya.   Untuk itu pendekatan spiritual menjadi sangat penting untuk memperkuat moral para pemimpin demi kokohnya pemerintahan, dalam hal ini Orde Baru.
Upaya spiritual ini tidak hanya dilakukan disekitar diri Pak Harto saja, tetapi meluas ke berbagai kota di Jawa dan di luar Jawa.  Bahkan dari Mayor Supar pembantu utama Pak Sudjono Humardani saya memperoleh informasi,  operasi spiritual juga mencapai Jepang dengan tujuan mengamankan dukungan Jepang kepada pemerintahan baru di Indonesia.   Untuk keperlun operasi di berbagai wilayah di Indonesia,  tentu saja memerlukan sarana transportasi udara.    Dalam situasi yang diliputi saling curiga,  AD yang baru saja kehilangan 7 jenderalnya oleh penghianatan PKI, jelas-jelas memilih pesawat-pesawat miliknya yang ada di Satuan Penerbangan AD (Penerbad) untuk mendukung misi-misi dimaksud.  Memilih Penerbad selain alasan kepercayaan,  juga karena alasan faktual di lapangan seperti lumpuhnya penerbangan sipil dan AU yang terkena imbas politik dampak G 30 S PKI.
Operasi spiritual atau kebatinan pada awalnya sangat dirahasiakan, mengingat fihak lawan politikpun menggunakan cara yang sama.  Lama-kelamaan kerahasiaan tidak lagi bisa dipertahankan, karena pada prakteknya operasi ini  sering ter-“imposed” kepada khalayak ramai, sehingga tidak bisa ditutupi lebih lama lagi.  Justru predikat kerahasiaan yang nempel pada operasi kebatinan telah membuat berbagai fihak menjadi sangat penasaran, dan mereka selalu berupaya untuk mengejar sumber berita yang mereka anggap paling kompeten.   Dan kamilah para crew yang menjadi sasaran utama,    karena “mereka” tidak pernah bisa mengakses pak Sudjono atau Romo (?) Diyat, yang memimpin kegiatan ini.   Karena kamipun selalu berusaha mengelak,  boleh dikatakan informasi mengenai isyu perdukunan ini menjadi mampat,   Maka gossiplah yang merebak di masyarakat yang  kemudian berkembang menjadi berbagai isyu:  seperti isyu perang dukun, perang kebatinan dan sebagainya.
Pengejaran berita oleh pers dalam dan luar negeri terhadap isyu perdukunan tidak pernah berhenti.  Bahkan sejak lengsernya Pak Harto dari tahta kepresidenan,  pengejaran oleh pers semakin gencar. Saya didatangi wartawan-wartawan asing dari Hongkong , Singapura, Australia  dan Inggris untuk mengorek keterangan dan/atau mengkonformasi kebenaran berita yang sudah dimilikinya, seperti kasus “pencurian” topeng Gajah Mada dari Pura Besakih,  Kembang Wijayakusuma dan lain-lain.  Permintaan mereka adalah  agar saya menuliskan pengalaman saya tentang misi-misi terbang di zaman sekitar peristiwa G 30 S, khususnya misi-misi yang berkaitan dengan mistik-isme.   Saya tidak keberatan untuk membukukan pengalaman terbang saya, tetapi keberatan bila saya harus menceritakan secara khusus misi-misi spiritual atau misi-misi  terbang yang berbau mistik.   Saya sudah mencium maksud mereka, yaitu selain untuk tujuan-tujuan komersiil juga untuk tujuan politik.  Dan saya  tidak ingin cerita saya dipolitisasi dan tidak ingin menambah beban fikiran Pak Harto yang waktu itu sedang “sakit permanen”.Disamping itu ,saya ingin tetap “honest” kepada orang atau fihak yang member kepercayaan.
Baru setelah Pak Harto “tiada”, saya berfikir apa salahnya bila saya menulis, sehingga ada sesuatu yang bisa saya wariskan kepada anak-cucu saya dan khalayak ramai yaitu pengalaman terbang saya dalam situasi konflik dan pergolakan politik, yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 60-70-an.  Dalam buku yang rencananya berjudul “Flight Mission”  atau  “Misi Terbang di Era G-30 S”,  saya akan bercerita tentang misi-misi yang dibebankan kepada saya, yang layak diceritakan kepada pembaca. Dalam buku ini dapat
ditemukan cerita-cerita tentang misi terbang  yang menarik, seperti 11 hari “ferry flight” pesawat Grand Commander Baltimore-Jakarta, atau “combat mission” malam hari bersama Pak Harto dan lain-lain  yang tidak kalah menariknya dari cerita tentang misi spiritual.   Semua kisah yang ditampilkan adalah cerita-cerita pilihan yang layak untuk diketahui umum. Saya bilang layak karena banyak sekali kejadian-kejadian aneh, lucu, seram, tidak masuk akal, kadang-kadang  irrasional dan  sering tidak sesuai dengan peraturan.   Saya menjamin akan kebenaran kejadian, namun waktu kejadian dan nama-nama perorangan yang tertera dalam tulisan saya ini, tidak terlalu akurat.   Kejadiannya sudah lebih dari 40 tahun yang lalu, tidak mudah untuk mengingat kembali segala kejadian yang dialami waktu itu.   Untuk keperluan penulisan sejarah, diperlukan penelitian yang seksama

 

Author:
• Rabu, November 25th, 2015

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASA ORDE BARU

 

Sosial dan Budaya
1. Jalan menuju monarki absolut atau demokrasi yang sesungguhnya?:
Dalam upaya menanam rasa nasionalisme yang kuat di dalam hati setiap rakyat Indonesia, dan agar terdapat pehaman tunggal Pancasila, maka pemerintah membuat beberapa program, salah satunya adalah P-4. P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) bertujuan untuk menjadi manusia Pancasila, atau Ekaprasetia Pancakarsa, yang berarti dalam keadaan apapun secara konsisten dan konsekuen mengamalkan Pancasila. Penataran ini ditujukan kepada setiap kalangan, dari pegawai negeri sipil sampai pelajar. Tetapi, apakah Pancasila harus dipahami secara tunggal? Apakah pendapat kita harus sama dengan pemerintah? Hal ini menjadi indikasi bahwa yang ingin dicapai oleh Soeharto bukanlah suatu kesatuan, namun suatu kontrol yang absolut terhadap rakyatnya. Bukti yang lain seperti pembreidelan beberapa media cetak, yang seharusnya dapat mencari dan mencetak berita apapun, bahkan yang dapat membahayakan posisi seorang presiden. Bahkan dalam orde baru ini kritik diharamkan, apalagi menjadi oposisi. Rangkaian hal ini membuat pandangan bahwa Soeharto tidak memiliki rencana sedikitpun untuk turun jabatan. Hal ini diperkuat dengan anggota DPR dan MPR yang sebagian besar dari pihak ABRI atau TNI, di mana menjadi bawahan yang wajib patuh terhadap pemegang komando, yaitu sang presiden. Sebagai hukuman bagi para oposisi, ada beberapa contoh, yaitu pengasingan, penangkapan, dan juga termasuk petrus (penembakan misterius). Walaupun memang tercipta keamanan, namun jika hal itu dicapai dengan kekerasan, maka lambat laun pasti akan terjadi pemberontakan yang besar, dan memang sudah terbukti sekarang.
2. Usirlah kaum tionghoa sampai ke negeri Cina:
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi. Hal ini berarti hak-hak asasi manusia mereka telah ditiadakan. Kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional, karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang kita perlukan, yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah ini karena khawatir, dari jumlah mereka yang banyak, akan menyebarkan pengaruh Komunisme, yang telah menjadi program Soeharto agar dapat dihapus dari tanah Indonesia sejak awal. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
3. Kulit yang matang, buah yang busuk.:
Sesuai dengan yang saya utarakan di atas, bahwa ketidakrataan pembangunan yang difokuskan di pulau jawa, akan menimbulkan masalah baru, yaitu kesenjangan dan kecemburuan sosial. Pembangunan antara pusat dan daerah, menimbulkan hubungan yang buruk antara sang pemberi ke penerima. Karena hal ini menimbulkan asumsi bahwa hanya warga pusat sajalah yang berhak hidup dengan sejahtera. Selain itu, muncul rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah di sejumlah daerah, terutama di Aceh dan Papua, yang lagi-lagi menyebabkan suatu konflik baru. Lalu terdapat lagi suatu program pemerintah, yaitu program transmigran, yaitu pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau lain yang masih belum padat dengan penduduk. Jika diperhatikan, ternyata sebagian besar yang tetap tinggal di pulau Jawa hanya orang Jawa. Masyarakat kemudian berasumsi bahwa Soeharto hanya mementingkan keturunan Jawa, yang akan mendapatkan pendapatan yang tinggi, dan tempat tinggal yang nyaman. Sekali lagi, dengan ini kesenjangan sosial hanya akan bertambah lagi, yang juga disebabkan tidak meratanya pendapatan di seluruh Indonesia.