Bagaimana Aku Bisa Menghentikan Mimpimu, Nak?

            Aku ingin menjadi dokter. Aku ingin menjadi dokter. Aku ingin menjadi dokter.

Setiap detik, setiap saat, setiap hari selalu saja itu yang berdengung di otakku. Hanya memikirkan tentang memakai jas putih yang pas di tubuhku membuatku selalu ingin berlonjak dan semangat belajar semakin menggebu-gebu. Alasannya sederhana saja kenapa aku ingin menjadi seorang dokter. Semua orang membutuhkan dokter dan semua orang juga menghormati dokter. Bagiku jabatan seorang dokter adalah jabatan paling prestius dan keren. Dokter seperti seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk menyembuhkan pasien. Dan aku ingin menjadi malaikat itu.

Aku orangnya memang sedikit ambisius. Setiap kali menginginkan sesuatu, aku selalu berusaha untuk mewujudkannya. Termasuk cita-citaku itu. Aku berharap sekali bisa diterima menjadi mahasiswa kedokteran di salah satu Universitas favorit yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggalku. Menurutku, masalah jauh atau tidaknya itu tak masalah, yang terpenting cita-citaku untuk mendapat gelar prestisius itu terwujud.

Begitu selesai kelulusan SMA, aku segera mengikuti ujian masuk perguruan tinggi yang kudambakan. Sebelumnya aku belajar mati-matian agar bisa lolos seleksi itu. Saat ujian aku bisa mengerjakan soalnya dengan baik meski ada beberapa yang kupikir sangat sulit. Tapi aku optimis bahwa aku bisa masuk.

Dan ternyata, sebulan setelah mengikuti tes itu, pengumumannya menyatakan bahwa aku memang berhak bergabung menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas itu. Kalian bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Senang? Ahh, lebih dari senang. Euforia. Lebih dari euforia malah. Mungkin ini lebay, tapi aku berkata serius. Sama seperti yang kalian rasakan saat salah satu keinginan kalian tercapai.

Segera setelahnya aku mengabarkan pada Ayahku bahwa aku diterima menjadi mahasiswa kedokteran. Aku hanya mengabarkan pada Ayah karena hanya Ayah satu-satunya orang tua yang kupunya. Ibuku sudah meninggal sejak aku berumur sepuluh tahun dan Ayahku tak pernah menikah lagi setelahnya. Saat aku mengabarkan berita bahagia itu, Ayahku tersenyum dan mengelus-elus rambutku. Dia berkata bahwa dia sangat bangga padaku.

Ayahku adalah orang yang kusayangi di dunia ini. Aku hanya tinggal bersama beliau selama ini, karena aku tak punya adik atau kakak. Beliau membesarkanku dengan baik dan tak pernah berkata ‘tidak’ padaku. Saat aku mengatakan pada Ayah bahwa aku sangat ingin menjadi seorang dokter, Ayahku adalah orang pertama yang mendukungku. Dan beliau berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku. Melegakan sekali rasanya mempunyai Ayah seperti Ayahku yang murah senyum dan baik hati.

Meski rasanya berat meninggalkan Ayah di rumah sendirian. Apalagi jarak antara Universitas dengan tempat tinggalku sangat jauh, yaitu harus naik kapal atau pesawat untuk menyeberang pulau dan itu butuh waktu yang lama untuk sampai. Namun karena aku harus berjuang demi cita-citaku, aku harus tangguh dan belajar mandiri.

Ayah mengantarku di pelabuhan saat aku hendak berangkat. Beliau mengatakan bahwa apapun kesusahan yang aku alami di sana aku harus menghubungi beliau, termasuk dalam hal keuangan. Ayahku memang bukan pekerja PNS, beliau hanya seorang petani di daerah kami yang terpencil, namun aku tahu bahwa Ayah bisa menepati janjinya untuk membuatku menjadi sarjana kedokteran.

Ayah melambaikan tangannya saat kapal yang aku naiki berangkat. Beliau tersenyum dan lewat sebuah gerakan isyarat, beliau menyuruhku untuk berhenti menangis. Itu adalah kali terakhirnya aku melihat senyum beliau.

Universitas tempatku menimba ilmu sangatlah elite. Biaya hidup di sana sangat mahal. Aku yang awalnya berpikir bahwa hari-hari yang kujalani bakalan mudah ternyata tak semudah yang kukira. Biaya makan menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat dari biaya makanku di desa. Juga biaya kuliahnya sangat mahal. Aku menjadi sering meminta Ayah. Seperti yang aku bilang, meski beban biayaku sangat besar, Ayah selalu mengusahakan biaya itu untukku. Beliau tak pernah mengatakan tidak pada setiap kebutuhanku dan dalam sekejap langsung mengirimkan uang yang kubutuhkan ke ATM-ku. Hidupku menjadi berkecukupan dan aku bisa dengan fokus mengikuti kuliahnya tanpa harus memikirkan biaya hidup atau apalah itu.

Namun hanya satu yang membuatku sedih, yaitu letak daerahku yang sangat jauh sehingga aku tidak bisa pulang untuk menemui Ayah. Meski begitu aku tetap bertekad dalam hati bahwa aku akan segera menyelesaikan kuliahku dan aku akan pulang setelah menjadi sarjana. Saat aku pulang nanti, aku bisa memamerkan gelarku pada teman-temanku dan pastinya Ayah akan bangga padaku. Semua orang pasti akan mengirikanku. Itulah yang selalu aku pikirkan.

Hingga akhirnya setelah empat tahun kuliah, aku diwisuda dan menjadi sarjana kedokteran dengan IPK cumlaude. Ber-IPK cumlaude membuatku semakin tak sabar untuk memberitahukannya pada Ayah dan terutama memamerkannya pada teman-temanku yang dulu pernah menertawai cita-citaku. Aku akan memamerkan pada mereka bahwa selama bersungguh-sungguh semua orang bisa mencapai cita-citanya. Salah satunya aku.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Saat aku kembali ke kampung halamanku dengan mengenakan jas putih yang kubanggakan, aku dihadapkan pada kondisi kebingungan. Pasalnya, rumah yang dulu aku tempati kini ditempati orang lain yang sama sekali tak kukenal. Aku bertanya pada mereka tentang keberadaan Ayahku, namun mereka sama sekali tak tahu.

Akhirnya aku menelepon Ayahku sembari berpikir bahwa Ayahku pasti pindah rumah karena lingkungan di sini menjadi tak nyaman. Tapi kenapa Ayah tak memberitahuku? Saat menelepon Ayahku, aku mendengar suara perempuan yang mengangkat telepon. Dan, di sana terdengar sangat berisik. Perempuan itu bertanya tentang siapa aku dan aku menjawab bahwa aku anaknya Ayah.

“Ya Allah…” Perempuan itu bersyukur yang terdengar memang benar-benar bersyukur. Lalu perempuan itu memberitahuku tentang alamat dimana Ayahku berada. Segera aku pergi ke alamat itu. Aku sudah tak sabar untuk menemui Ayah dan memeluk beliau.

Namun yang terjadi kembali di luar dugaan, saat aku sampai di alamat yang dimaksud yang kulihat bukanlah yang aku perkirakan. Di hadapanku berdiri sebuah rumah yang tak bisa dibilang rumah. Rumah itu seperti sebuah gubuk yang sudah reyot yang bahkan atap-atap sudah tak lagi utuh sehingga kalau hujan bakal kehujanan dan kalau panas bakal kepanasan. Dindingnya terbuat dari bambu yang bagian bawahnya sudah terkikis oleh air sehingga tikus sebesar apapun bisa memasukinya. Tiang yang menyangga rumah itu bahkan terlihat miring dan dimakan rayap. Jika saja kau mendorongnya sedikit saja tentu tiang itu akan ambruk yang berarti kerobohan rumah itu.

Di tiang miring itulah tergantung sebuah bendera yang terbuat dari kertas minyak berwarna kuning. Aku tahu apa maksudnya. Dan itulah satu kenyataan yang menghantamku dengan keras. Membuatku tersungkur di tanah hingga menyebabkan jas putih yang kupakai menjadi sangat kotor terkena debu.

Ah, apalah arti dari jas ini.

Kenyataannya, Ayahku adalah orang yang telah mengorbankan hidup dan hartanya hanya demi keegoisanku untuk menjadi seorang dokter.

***

Ayah kita seringkali keberatan, tapi tak pernah ditampakkan.

Ayah sering kali merasa sakit, tapi tak pernah dirasakan.

Ayah sering merasa lelah, tapi dibiarkan.

Ayah adalah orang yang tak mungkin bisa menentang keinginan kita.

Ayah adalah malaikat, lebih dari malaikat apapun di dunia ini.

 

SELAMAT HARI AYAH

−Rabu, 12 November 2015−

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.

Gaya Busana di Kalangan Mahasiswa UNNES

Gaya Busana di Kalangan Mahasiswa UNNES

 

Dewasa ini, gaya berbusana atau fashion merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada zaman dahulu fashion hanya difungsikan sebagai kebutuhan primer, namun seiring berkembangnya zaman, fashion tak lagi sekedar pemenuhan kebutuhan, akan tetapi fashion menjadi alat yang digunakan untuk pencitraan diri seseorang. Busana merupakan pencitraan dan penyampaian pesan-pesan yang digunakan untuk menegaskan berbagai status sosial. Lestari (2014: 226) menyatakan bahwa melalui busana seseorang mampu mengomunikasikan sesuatu pada orang lain tanpa menggunakan kata-kata lisan. Di sini dapat dikatakan juga, bahwa seseorang mengirim pesan tentang dirinya melalui fashion atau busana yang dipakainya. Fashion membuat setiap individu dapat mengekspresikan apa yang sedang dirasakannya melalui corak warna ataupun model fashion yang dikenakannya.

Busana menjadi hal yang tak akan pernah lepas dari perhatian individu karena busana dapat menjelaskan berbagai macam karakter individu. Kita biasanya menilai karakter individu melalui apa yang dikenakan. Selain itu, penggunaan fashion juga menjadi alat bantu untuk mengindentifikasi pekerjaan, selera, hingga asal-usul seseorang.

Modernitas menganggap fashion sebagai ciri penting yang terus mengalami inovasi dengan penghancuran yang lama dan mengganti dengan yang baru. Fashion dan modernitas jalan beriringan untuk menghasilkan pribadi-pribadi modern yang secara konstan terus mencari identitas diri mereka melalui gaya, busana, sikap, dan gaya trendy sebagai wujud kemajuan serta menjadikan individu senantiasa merasa cemas jika tak sanggup mengikuti mobilitas zaman (Lestari 2014: 227).

Kampus merupakan ruang sosial yang mempunyai banyak identitas sosial dari masing-masing individu, dimana banyak terjadi persaingan untuk mendominasi busana. Busana menjadi sebuah identitas untuk setiap kelompok mahasiswa. Busana ini akan membentuk beberapa tingkatan di kalangan mahasiswa, antara lain busana yang moderat, konservatif, liberal ataupun yang trendy. Kesemuanya, baik secara langsung maupun tidak langsung menegaskan identitas mahasiswa.

Kelompok yang berada di kalangan mahasiswa biasanya didasarkan atas fakultas masing-masing Universitas. Fakultas memuat jurusan yang saling berkaitan. Mahasiswa yang memilih sebuah jurusan, ketika berkumpul maka akan terjadi penyeragaman, baik itu seragam dalam hal pemikiran, karakter, hobi, ataupun fashion. Jadi, perbedaan fashion di kalangan mahasiswa dapat dilihat dari fakultas masing-masing.

Universitas Negeri Semarang memiliki delapan fakultas. Biasanya, pada tiap fakultas terjadi persaingan atau perebutan untuk memperoleh citra. Setiap mahasiswa cenderung berusaha untuk mengungguli mahasiswa dari fakultas yang berbeda dengannya. Dan juga, dari delapan fakultas tersebut dapat kita lihat perbedaan antar mahasiswanya, baik itu berbeda dalam hal kepribadian, karakter, fashion, dan lain-lain. Perbedaan fashion juga mewarnai dunia kampus yang multi-identitas ini. Perbedaan ini dapat dilihat dari gaya masing-masing mahasiswa.

Gaya busana mahasiswa di tiap fakultas, biasanya dipengaruhi oleh perspektif dan aktivitas mahasiswa tersebut. Semisal, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK). Kebanyakan mahasiswa maupun mahasiswi FIK mengenakan fashion yang sporty. Mereka biasanya dalam kesehariannya mereka mengenakan pakaian kaos yang berkerah dan sepatu olahraga. Pemakaian busana ini disebabkan aktivitas mereka yang menuntut untuk berpakaian yang nyaman saat digunakan untuk berolahraga. Seorang atlet, biasanya tidak terlalu memperhatikan gaya busana yang mereka kenakan. Dalam hal memilih pakaian, mereka biasanya tidak memperhatikan apa yang sedang trendy pada masa sekarang, melainkan mereka memilih busana yang mereka kenakan berdasarkan pertimbangan apakah pakaian itu nyaman digunakan dan mampu menyerap keringat dengan baik atau tidak.

Berbeda halnya dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) cenderung pilah-pilih dalam hal busana. Baik mahasiswa maupun mahasiswi Fakultas Hukum dinilai sangat fashionable. Dikatakan demikian, karena dalam kesehariannya mahasiswa dan mahasiswi FH selalu mengenakan pakaian yang sedang trend pada masa sekarang, baik untuk acara formal ataupun acara nonformal. Namun, gaya berbusana mahasiswa dan mahasisiwi FH cenderung pada gaya busana orang-orang borjuis ataupun artis dan aktor di Indonesia. Mahasiswi FH cenderung mengenakan sepatu high heels dan pakaian yang mewah. Sedangkan untuk mahasiswa FH, mereka berusaha tampil cool dengan mengenakan kaos berkerah, celana jeans, sepatu olahraga, dan jam tangan.

Melihat fenomena itu, salah seorang mahasiswa FH menyatakan bahwa sebagian dari mahasiswa FH berasal dari Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat terkenal akan fashion mereka yang mewah. Kemudian, mahasiswa Jawa Barat itulah yang kemudian memberikan dampak kecenderungan fashion terhadap mahasiswa lainnya.

Lain halnya dengan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Mahasiswa dan mahasiswi FBS mempunyai gaya berbusana yang beragam. Keberagaman ini disebabkan oleh kecenderungan mahasiswa dan mahasiswi FBS yang berusaha mengekspresikan apa yang mereka sukai. Semisal, mahasiswa Bahasa Jepang. Mahasiswa Bahasa Jepang cenderung berusaha menampilkan fashion dari Jepang. Begitu pula dengan mahasiswa Seni Tari yang cenderung menyukai fashion yang mudah untuk mereka bergerak dalam tarian mereka. Mahasiswa jurusan Bahasa Arab pun demikian. Mereka berusaha menampilkan fashion sesuai dengan bidang yang mereka tekuni. Namun, dari keseluruhan mahasiswa FBS dinilai fashionable. Dalam hal ini, fashion yang mereka kenakan berbeda dengan fashion yang dikenakan dengan anak FH. Fashion yang dikenakan oleh mahasiswa dan mahasiswi FBS adalah fashion yang saat ini sedang trendy dan khas anak muda pada umumnya, bukan fashion golongan borjuis. Mahasiswa FBS juga sangat memperhatikan penampilan mereka. Biasanya mereka akan berpenampilan serapi dan seanggun mungkin dalam berbagai forum, baik itu forum normal ataupun forum nonformal.

Meski demikian, ada sejumlah mahasiswa FBS yang berpenampilan lain dari mahasiswa FBS lainnya. Ada beberapa mahasiswa yang tidak terlalu memperhatikan fashion dan penampilan mereka. Fashion yang mereka kenakan biasanya seadanya dan cenderung tidak rapi. Beberapa mahasiswa fakultas tersebut mengungkapkan bahwa mahasiswa yang seperti itu biasanya berasal dari Jurusan Seni Rupa. Hal ini mungkin terjadi disebabkan mahasiswa seni rupa adalah mahasiswa yang suka berimajinasi yang kemudian menuangkan imajinasi mereka menjadi sebuah karya seni yang bernilai tinggi, sehingga mereka tidak mementingkan penampilan mereka. Dan bidang yang mereka tekuni tidak menuntut mereka untuk berpenampilan yang rapi, menarik dan trendy. Lain halnya dengan mahasiswa jurusan Seni Musik. Baik mahasiswa maupun mahasiswi Seni Musik selalu berusaha menampilkan penampilan mereka yang rapi, menarik dan trendy, terutama saat mereka sedang pentas.

Mahasiswa FBS sangat pintar dalam memilih fashion yang mereka gunakan dalam setiap acara. Fashion yang mereka kenakan selalu disesuaikan dengan acara atau forum yang mereka kunjungi. Misalnya saat mereka akan menghadiri acara seminar nasional, maka mahasiswa FBS akan mengenakan pakaian yang pantas untuk menghadiri seminar tersebut. Atau saat mereka menghadiri acara pertunjukan seni, maka mereka akan mengenakan fashion yang tepat.

Fakultas yang selanjutnya yaitu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Dalam kesehariannya, penampilan mahasiswa dan mahasiswi FMIPA cenderung monoton. Kebanyakan dari mereka lebih menyukai mengenakan batik dan kemeja. Untuk mahasiswi FMIPA, penampilan mereka dapat dikatakan sangat sederhana, yaitu kebanyakan keseharian mereka mengenakan kemeja batik, bawahan hitam dan tas punggung. Sedangkan untuk mahasiswa FMIPA, mereka cenderung mengenakan kemeja baik batik atau tidak, bawahan celana hitam kain, sepatu hitam kulit dan tas punggung. Jarang sekali ditemukan mahasiswa FMIPA yang mengenakan kaos berkerah untuk kegiatan kuliah mereka sehari-hari.

Dari fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa mahasiswa FMIPA tidak terlalu mengikuti fashion masa kini. Meski ada juga mahasiswa FMIPA yang fashionable namun jumlah mereka tergolong sedikit.

Hal tersebut disebabkan mahasiswa FMIPA mempunyai jiwa seni yang relatif kecil. Mereka tidak bisa mengekspresikan apa yang mereka rasakan melalui fashion. Bagi mereka, fashion bukanlah sesuatu yang penting. Fashion bagi mereka yaitu cukup berpenampilan formal dalam segala kondisi. Untuk itu, mereka lebih senang mengenakan batik ataupun kemeja.

Demikian pula dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Sebagian mahasiswa FIP juga lebih senang mengenakan pakaian yang formal seperti mahasiswa FMIPA. Hal ini disebabkan karena bidang mereka yang menuntut mereka untuk berpenampilan rapi. Seperti mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Paud (PG Paud). Mahasiswa PG Paud cenderung berpakaian formal disebabkan oleh tuntutan bidang yang mereka tekuni.

Sedangkan untuk ketiga fakultas yang tersisa yaitu Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Ekonomi (FE), kebanyakan mahasiswa dari fakultas tersebut cenderung fashionable. Pakaian yang mereka kenakan, biasanya adalah pakaian yang sedang trendy pada masa sekarang. Pada Fakultas Teknik, terdapat mahasiswa yang dituntut untuk fashionable. Mahasiswa tersebut adalah mahasiswa Tata Busana. Mahasiswa Tata Busana sangat memperhatikan busana yang mereka kenakan. Sedangkan untuk mahasiswa FIS, karena mereka cenderung menyukai kegiatan-kegiatan sosial, mereka sangat mengikuti perkembangan fashion. Begitu pula dengan mahasiswa FE, meski dalam beberapa kesempatan, fashion yang mereka kenakan cenderung pada fashion dunia kerja perkantoran.

Keberagaman atau perbedaan fashion di kalangan mahasiswa Universitas Negeri Semarang merupakan fenomena yang wajar terjadi, disebabkan adanya perbedaan pola pikir, karakter, dan selera. Dari fenomena tersebut, fashion dapat dikatakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan pribadi masing-masing mahasiswa dan juga sebagai sarana mengidentifikasi jurusan apa yang mereka tekuni. Keberagaman itu terjadi adanya perbedaan pola pikir mahasiswa dalam hal memfungsikan busana yang mereka kenakan.

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.

Pendataan E-skripsi sebagai Bahan Pustaka bagi Mahasiswa#2

Pendataan E-skripsi sebagai Bahan Pustaka bagi Mahasiswa#2

 

Sebagai mahasiswa, tugas dari dosen merupakan makanan kita sehari-hari. Tugas itu bermacam-macam. Ada yang berupa laporan, soal-soal, atau membuat makalah. Dalam mengerjakan tugas-tugas itu tak jarang kita membutuhkan daftar pustaka yang berkaitan dengan tugas itu. Daftar pustaka itu bisa berupa buku, jurnal, laporan penelitian, makalah, skripsi, dan lain-lain. Namun kebanyakan dari mahasiswa lebih memilih jalur alternatif yaitu dengan searching di internet, daripada mencari buku di perpustakaan. Alasan keadaan ini sederhana saja. Salah satu alasannya yaitu kemudahan dan keefisienan penggunaan file hasil searching di internet yang biasanya berupa file pdf. File pdf itu tersimpan dengan baik di laptop, sehingga jika ingin membukanya kita hanya perlu membawa laptop saja. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan buku.

File yang biasanya digunakan dalam daftar pustaka mahasiswa yaitu skripsi. Skripsi hasil searching mahasiswa ini biasanya hasil skripsi mahasiswa Universitas lain. Di sinilah letak ironinya. Kita biasa menggunakan bahan pustaka berupa skripsi dari Universitas lain, padahal bisa jadi mahasiswa dari Universitas kita, tepatnya di jurusan kita juga mempunyai file skripsi yang dapat dijadikan sebagai sumber pustaka di tugas kita.

Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengumpulkan file skripsi dari mahasiswa Universitas kita ini dalam bentuk file pdf atau semacamnya sehingga bisa dijadikan bahan pustaka bagi mahasiswa yang membutuhkan. File tersebut bisa disimpan di komputer operator dalam perpustakaan Jurusan atau Fakultas. Sehingga dalam setiap perpustakaan membutuhkan setidaknya dua atau tiga komputer yang terhubung secara langsung di komputer operator. Komputer ini nantinya yang akan digunakan mahasiswa dalam mencari daftar pustaka yang diinginkannya.

Sebagai Universitas Konservasi, tentu saja hal ini sesuai dengan program yang dicanangkan, yaitu mewujudkan Universitas Konservasi yang bereputasi. Karena pengaplikasiannya tidak membutuhkan penggunaan kertas dan menjadikan skripsi mahasiswa Universitas sendiri sebagai bahan pustaka mahasiswa yang lain.

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.

 

KULTUM MAHASISWA SEBAGAI KONSERVASI MORAL#1

KULTUM MAHASISWA SEBAGAI KONSERVASI MORAL#1

 

Tujuan terbesar bagi bangsa Indonesia adalah menghadirkan generasi emas yang mampu membawa perubahan signifikan dalam kemajuan negara, baik itu kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, transportasi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Pemerintah telah mengupayakan segala macam cara untuk menghadirkan generasi emas ini, khususnya dalam bidang pendidikan. Pendidikan di Indonesia diupayakan merata untuk semua kalangan, terutama untuk warga di daerah pelosok.

Karena terlalu fokus dalam pencapaian ini, seringkali kita melupakan sesuatu yang penting. Semua tujuan itu tidak akan tercapai, jika warga Indonesia tidak mempunyai moral yang baik. Seringkali kita melihat acara berita di televisi yang menayangkan tentang betapa buruknya moral bangsa Indonesia. Bahkan hal tersebut secara nyata dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Contoh nyatanya adalah adanya kecelakaan di jalan, namun semua orang yang lewat jalan itu hanya sedikit sekali yang peduli. Ini adalah hal yang sering saya pertanyakan. Jadi, bagaimana Indonesia bisa menjadi maju jika moral bangsanya begitu rendah?

Untuk itu, perlu adanya usaha untuk memperbaiki moral bangsa. Seringkali disebut bahwa generasi emas hadir dalam generasi muda Indonesia, khususnya mahasiswa. Mahasiswa identik dengan generasi emas yang menjadi tumpuan harapan bagi pemerintah dan juga warga negara. Mahasiswa adalah generasi intelektual yang dipercaya bisa membawa perubahan pada negara bahkan dunia.

Namun semakin cepatnya arus globalisasi masuk ke Indonesia menyebabkan beberapa mahasiswa terpengaruh dan menjadi jauh dari ajaran agama. Ajaran agama sudah mulai dilupakan dan menyebabkan kebobrokan moral. Sejatinya, sumber daya manusia di Indonesia telah berkembang dan mempunyai banyak potensi untuk memajukan negara. Namun kurangnya ilmu moral atau akhlak menyebabkan kemajuan itu menjadi sebuah kemunduran yang sangat signifikan.

Keadaan yang semacam ini terjadi di berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Mahasiswa tak lagi menjaga tata krama, sopan santun, dan berpikiran picik sehingga apabila menjadi pejabat akan menjadi pejabat yang picik. Hal ini terjadi karena mahasiswa tak lagi mendekatkan diri pada Tuhan, dan memilih untuk terus-menerus mencari ilmu dunia saja, bukan lagi ilmu akhirat.

Untuk itu pelu adanya upaya penyeimbangan ilmu pengetahuan di dunia mahasiswa sehingga tercipta mahasiswa yang bermoral. Alangkah baiknya jika di dunia mahasiswa diadakan kultum atau semacam pengajian wajib setiap seminggu sekali. Sehingga mahasiswa menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Seperti yang dikatakan Albert Einstein bahwasanya ilmu tanpa agama adalah lumpuh, sedangkan agama tanpa ilmu adalah buta.

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Award di Universitas Negeri Semarang. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.