IDENTITAS DAN KRISIS BUDAYA Membangun Multikulturalisme Indonesia

Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai era reformasi, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.

Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan, lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki, merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial, semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.

Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita semakin merebak dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat khususnya Amerika sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya alien (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002). Hal ini misalnya bisa dilihat dari semakin merebaknya budaya McDonald, makanan instan lainnya dan dengan demikian, budaya serba instan, meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permissivisme, kekerasan, dan hedonisme, mewabahnya MTVisasi, Valentine day, dan kini juga prom night di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada cultural imperialism baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam Orientalisme. Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas di Indonesia dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid nampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid apalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi mereka dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih lanjut. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal. Padahal identitas nasional dan lokal tersebut sangat mutlak bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara bangsa Indonesia.

Pluralitas dan Multi-Kulturalisme: Bhinneka Tunggal Ika
Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura sebagaimana dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini khususnya Indonesia dipandang sebagai lokus klasik bagi konsep masyarakat majemuk/plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnival (1944, 1948).
Menurut Furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall ini banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif homogen, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama dan gender. Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-9).

Meski demikian, berbeda dengan doomed scenario Furnivall, masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosial-budaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti Indonesia gagal menemukan common platform yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini mendorong bangkitnya sentimen etno-religius yang dapat sangat ekplosif, karena didorong semangat yang bernyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz 1973).

Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, maka para penguasa negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik keseragaman budaya (monokulturalisme atau monoculturality). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme.
Secara restrospektif, politik mono-kulturalisme atau monokulturalitas yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas untuk developmentalisme telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pela gandong di Ambon, republik nagari di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi, local geniuses juga berfungsi sebagai defense mechanisme dan sekaligus early warning system yang dapat mengantisipasi ancaman terhadap keutuhan tradisi dan sistem sosio-kultural dan, dengan demikian, memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah menghancurkan local genius ini, pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak sejak 1996 tidak terlepas dari hancurnya local geniuses tersebut.

Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan mono-kulturalisme, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

sumber : https://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-membangun-multikulturalisme-indonesia

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: