Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Hampir disetiap daerah atau Kabupaten/Kota terdapat kekayaan sumber daya alam. Kekayaan tersebut mulai dari minyak bumi, batu bara, timah, emas, pasir dan mineral lainnya.

Kebumen yang memiliki sungai Luk Ulo memang sudah terkenal dengan produksi gentengnya yang tumbuh dan berkembang pesat. Sekarang ini pun pembangunan pabrik genteng semakin bertambah banyak. Hal ini dibarengi dengan pertumbuhan pembangunan di indonesia. Tidak bisa dipungkiri jika negara yang sedang berkembang pasti sedang gencar-gencarnya mengadakan pembangunan baik dari sektor usaha/produksi maupun pendidikan.

Kegiatan pembangunan yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan pasir juga meningkat. Akibatnya aktivitas penambangan pasir turut meningkat. Sektor pertambangan sangat besar di Kabupaten Kebumen, terbukti dari banyaknya usaha pertambangan/ penggalian di tiap kecamatan yang ada di Kabupaten Kebumen. Kenyataan yang ada didalam masyarakat bahwa adanya penambangan pasir di sungai Luk Ulo sudah meresahkan masyarakat pada umumnya. Karena penambangan terhadap pasir di sungai Luk Ulo sudah pada titik menghawatirkan.

Julukan untuk Kebumen adalah kota genteng. Pabrik genteng tersebar banyak disetiap penjuru kota Kebumen. Banyak orang menganggap bahwa produksi genteng itu merugikan negara, dan memang saya katakan iya. Kerugian yang dihasilkan dari produksi genteng banyak. Menyangkut bahan baku berupa tanah liat memang sulit untuk dihindari, karena memang dari turun temurun masyarakat sudah percaya dengan bahan yang paling bagus untuk pembuatan genteng adalah tanah liat, apalagi dibarengi dengan tekstur tanah liat di daerah kebumnen yang terbilang bagus, dan dari jaman belanda pun sudah dijadikan tempat pembuatan genteng.

Kegiatan penambangan pasir DAS Luk Ulo telah berlangsung sejak lama dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan. Penambangan pasir umumnya dilakukan di daerah pesisir pantai, dan daerah aliran sungai. Penambangan pasir yang berlebihan terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Luk Ulo Kabupaten Kebumen – Jawa Tengah. Pasir, kerikil, serta berbagai jenis batu alam setiap hari diangkut untuk keperluan bangunan. Pasir, kerikil, serta berbagai jenis batu alam setiap hari diangkut untuk keperluan bangunan dan ornamen taman yang dijual keluar daerah atau di sekitar kota Kebumen. Menurut Ansori (2005), dalam satu hari, paling tidak 340 – 500 truk mengangkut pasir di Luk Ulo yang lalu lalang pada siang ataupun malam hari. Hal ini berarti sekitar 1500 m3/hari atau 540.000 m3/tahun, pasir diangkut dari dasar sungai. Pada saat sibuk antara pukul 09.00 – 16.00 WIB serta cuaca cerah, kepadatan truk pengangkut pasir sekitar dua truk/ 3.5 menit atau berkisar antara 40 – 35 truk/jam. Penambangan pasir dilakukan ratusan orang di sepanjang DAS Luk Ulo, dari 213 aktivitas penambangan galian golongan C (pasir) hanya dua puluh pengusaha (± tiga persen) saja yang memiliki Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD) (Raharjo & Sartono, 2007). Pada tahun 1970-an, pasir Luk Ulo di sekitar Kota Kebumen masih banyak, namun sekarang sudah hampir habis, sehingga penambangan bergerak ke arah utara hingga mencapai kilometer ke-18 dari kota ke arah hulu (Ansori, 2005). Selain, dipasarkan di wilayah Kabupaten Kebumen, pasir dipasarkan ke Purworejo, Cilacap dan Banyumas.

Ditahun 1990an, di Desa Muktisari masih terlihat asri dan indah. Walaupun kegiatan penambangan pasir sudah dilakukan. Namun, dampaknya belum terlihat. Karena kegiatan penambangan pasir masih menggunakan alat manual seadanya. Tidak seperti tahun 2000an, penambangan pasir sudah mulai menggunakan alat bantu yang canggih, sehingga kegiatan penambangan pasir begitu cepat. Dan ditahun 2000 merupakan awal eksploitasi pasir besar – besaran.

Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penambangan pasir di Kebumen antara lain: lahan pertanian dan areal permukiman terancam longsor, kerusakan jalan yang parah akibat truk-truk pengangkut pasir, erosi horisontal pada tebing-tebing sungai yang semakin luas, dan lain sebagainya. Sehingga terjadi penurunan produktivitas pertanian, dan meningkatkan potensi banjir dan gerakan tanah.

Lima belas tahun terakhir, Kebumen mulai kehilangan sebagian tanah dan pasirnya. Di Desa Muktisari, sejauh ini sudah kehilangan lebih dari 5 rumah warga dan beberapa pekarangan karena terbawa longsor di pinggir sungai Luk Ulo. Saat ini, warga yang tinggal di pinggir sungai sudah mulai bersiap – siap menyiapkan lahan baru untuk membuat rumah, karena khawatir sewaktu – waktu rumahnya terbawa longsor seperti rumah warga yang lainnya.

Sarana dan prasarana yang sangat dilihat adalah jalan desa. Jalan desa di Desa Muktisari selalu mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut disebabkan oleh kegiatan lalulalang truk pembawa pasir yang bermuatan berat. Jalan desa di Muktisari tidak pernah tahan lama. Dua sampai tiga tahun saja, jalan desa sudah rusak. Sehingga beberapa tahun sekali harus diperbaiki dan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Material pembuatan genteng tidak hanya pasir, namun juga lempung. Lempung mengandung kaolinit, monmorilonit, illit serta mineral induk. Kualitas lempung yang berasal dari Kebakalan setara dengan lempung dari Kedawung, lempung Kebagoran mempunyai kualitas lebih rendah dibandingkan lempung Kedawung, sementara itu lempung Plumbon kurang baik. Analisis kimia menunjukkan bahwa lempung dari Kebakalan dan Plumbon mengandung Fe2O3 sebesar 18,48 – 20,15 %. Indeks plastisitas berkisar antara 19,23 – 28,12% , susut kering sekitar 6%, susut bakar 9.5% sehingga memenuhi syarat untuk genteng keramik.

Tingkat produksi genteng diperkirakan 174.424.333 bh/th, produksi batu bata 60.300.000 bh/th, maka diperlukan lempung 369.528,88 m3/th. Cadangan lempung yang ada diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan selama 52,9 tahun. Nilai ekonomi cadangan lempung Rp 1,95 triliun, nilai potensial kerugian lahan akibat tidak panen Rp 84,78 milyar, nilai sewa sawah pada petani seharga Rp 63 juta/Ha, sehingga menguntungkan.

Penambangan lempung tidak hanya dilakukan di area persawahan, namun juga di area pekarangan warga. Kegiatan menambang tanah lempung belum manjadi sorotan publik. Dikarenakan, area yang digunakan untuk menambang biasanya milik pengusaha genteng atau batu bata itu sendiri. Sehingga yang merasakan kerugiannya pun perorangan. Akan tetapi, di Desa Muktisari yang merasakan kerugiannya tidak hanya individu saja, tetapi semua masyarakat. Banyak pekarangan yang digunakan untuk menambang tanah lempung tidak digunakan kembali dan beralih fungsi menjadi tempat sampah warga, karena bekas tempat menambang berbentuk cekung kedalam seperti lubang yang besar.

Beberapa tahapan kegiatan penambangan secara garis besar adalah:

  1. Pembabatan (clearing)
  2. Pengupasan tanah penutup (stripping)
  3. Penggalian bahan galian (mining)
  4. Pemuatan (loading)
  5. Pengangkutan (hauling)
  6. Penumpahan (waste dump)

Adrian Sutedi (2012:43) Pertambangan mempunyai beberapa karakteristik, yaitu tidak dapat diperbaharui (non-renewable), mempunya resiko relative lebih tinggi, dan pengusaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun social yang relative lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada umumnya. Ini artinya setiap proses pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau melepaskan biji tambang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan pasir di sungai, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan.

Beberapa dampak negatif akibat pertambangan jika tidak terkendali antara lain sebagai berikut:

  1. Kerusakan lahan bekas tambang.
  2. Merusak lahan perkebunan dan pertanian.
  3. Membuka kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan.
  4. Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya.
  5. Pencemaran baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi dll.
  6. Kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir.
  7. Banjir, longsor, lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati.
  8. Air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke sungai yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut.
  9. Menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.
  10. Sarana dan prasarana seperti jalan dll. rusak berat.

Solusi akan permasalahan lingkungan ini, sebagai berikut:

  1. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat tentang bahaya yang terjadi.
  2. Memberikan wawasan tentang pemanfaatan lingkungan yang tidak bisa di daur ulang.
  3. Penegakan hukum yang berat.
  4. Membuat pagar-pagar beton disekitar tebing sungai.
  5. Memanfaatkan lahan pertanian yang sudah tidak produktif dengan taman hidroponik di lahan tersebut dan membuat area pemancingan atau budidaya ikan.