kuliahku

Konservasi Budaya Malam Satu Suro di Jateng dan DIY

by on Nov.13, 2015, under Konservasi

Kirab-1-Suro

 Penanggalan Tahun Hijriah dan Tahun Jawa

Menurut Tahun Saka (Jawa) yang sekarang ini telah mencapai hitungan ke 1944. Untuk tahun ini datangnya tanggal 1 Suro 1944 bertepatan pada malam Selasa Wage tanggal 1 Muharram 1432 Hijriah atau 7 Desember 2010 Masehi. Perbedaan kalender jawa dengan kalender Hijriah yakni kalender Jawa relatif lebih tetap sifatnya atau relatif tidak ada perubahan dari dulu sampai sekarang.

Jikalau dilakukan penghitungan maka waktu jatuhnya lebih dapat di pastikan sementara kalender hijriyah mengikuti pergerakan bulan jadi bisa bergeser 1 hari / 2 hari. Akan tetapi suroan acap kali dianggap sama dengan tahun Hijriah, jadi misalnya untuk 1 sura 1945 tahun WAWU Windu Kuntara akan jatuh pada tanggal 27 November 2011. tanggalnya pasti, akan tetapi kalau 1 muharam bisa jadi kurang dari tanggal tersebut atau bisa lebih dari tanggal tersebut. Ke dua sistem penanggalan tersebut memang sama-sama menggunakan sistem penanggalan Qomariyah atau lunar sistem, hanya saja yang membedakan ialah di kalender jawa sudah di pastikan 5 pasaran yang berulang dan 7 hari yang berulang (jika menganut sistem saptawara).

Asal kata dan Arti nama Hari (Padinan). Akad (minggu), berasal dari kata Arab “ahad”, yang berarti hari pertama. Senen (Senin), berasal dari kata Arab “istnain”, yang berarti hari kedua. Slasa (Selasa), berasal dari kata Arab “tsalatsah”, yang berarti hari ketiga. Rebo (Rabu), berasal dari kata Arab “arba’ah”, yang berarti hari keempat. Kemis (Kamis), berasal dari kata Arab “khamsah”, yang berarti hari kelima. Jemuwah (Jum’at), berasal dari kata Arab “jumu’ah”, yang berarti hari untuk berkumpul. Setu (Sabtu), berasal dari kata Arab “sab’ah” (sabat), yang berarti hari ketujuh.

Hubungan pasaran, empat unsur dan Sedulur 4 itu adalah sebagai berikut : Pasaran Legi bertempat di Timur, Anasir (elemen) Udara, memancarkan sinar putih. Pasaran Paing bertempat di Selatan, anasir Api, memancarkan sinar merah. Pasaran Pon bertempat di Barat, anasir Air, memancarkan sinar kuning. Pasaran Wage bertempat di Utara, anasir Tanah, memancarkan sinar hitam. Pasaran Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, anasir Eter, memancarkan sinar manca warna.

Sejarah Awal Mula Malam Satu Suro di Jawa

Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Dalam penetapan 1 Suro, pihak kraton menggunakan penanggalan atau kalender internal kraton yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang merupakan cikal bakal dinasti Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alaman di Yogyakarta. Setiap malam 1 Suro Kraton Surakarta selalu menggelar rangkaian upacara adat kraton. Salah satu acara yang selalu mendapat perhatian umum adalah kirab pusaka milik kraton yang didahului dengan mengarak kawanan kerbau pusaka milik kraton. Meskipun Istana Mangkunegaran merupakan salah satu pecahan dinasti Mataram, namun dalam peringatakan 1 Suro atau 1 Muharam, mereka menggunakan dasar kalender yang ditetapkan Pemerintah.

Penerapan Ritual Satu Muharram di Masyarakat Jawa

Syura adalah awal tahun Muharam, tahun Islam yang telah ditranskulturisasi dengan tradisi ritual Jawa kuno. Karaton Mataram menerima dan mengembangkan ide transkulturasi terutama sejak Sultan Agung dari Karaton Yogyakarta. 1 Syuro menjadi bagian penting dari sebuah siklus kehidupan manusia. Orang Jawa melengkapi ritual kehidupan itu sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Maha Tinitah, yang diyakini sebagai Dzat Suci yang memberi hidup dan menghidupi. Seluruh gerakan bersama, manusia dan alam, roh-roh dan kehidupan gaib, semuanya berasal dari kekuasaanNya.

Di jaman yang bergulir manusia harus selalu eling dan waspada. Apa wujud dari perilaku eling dan waspada salah satunya dengan cara menjalankan ritual malem 1 Syura. Saat datangnya malam tahun baru, orang harus melakukan mesu diri (melakukan laku spiritual) dengan berkosentrasi pada penguasaan diri (mawas diri) selama semalam suntuk. Dalam situasi yang khusyuk tersebut, diri orang Jawa melebur ke dalam dunia yang tengah berubah. Memanjatkan kepada Yang Maha Agung doa dan permohonan serta rasa syukur terhadap berkah dan innyayah yang selama ini diterimanya.

Ngalap Berkah Ritual malam 1 Syura sebagai manifestasi dari rasa syukur orang-orang Jawa dan malam penuh harapan agar kehidupan di setahun ke depan lebih baik, kirab malam 1 syura adalah medan gaib yang dipercaya mampu mendatangkan berkah. Apa saja yang diperoleh dari Karaton, baik berupa percikan air dari jamasan pusaka, kotoran kerbau bule yang menjadi cucuk lampah, atau apa saja lambang-lambang yang diterima setiap orang yang datang ngalap berkah malam itu, semua pribadi memperolehnya dengan cara yang unik. Setiap orang menerima lambang-lambang khusus, yang memberi tanda berkah yang khusus pula bagi setiap orang. Kebo Bule adalah simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa.

Rangakaian Acara Malam Satu Suro Di Yogyakarta

Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta. Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya.

Biasanya masyarakat dan pengunjung kegiatan ritual ini akan memperebutkan Udik-udik berupa hasil bumi. Banyak orang percaya bahwa hal ini untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertanian semakin melimpah. Kedua rangkaian upacara ritual ini selalu dikunjungi oleh banyak wisatawan dan peserta upacara dari berbagai penjuru daerah dalam dan luar DIY, kebanyakan adalah pelaku ritual kejawen dan wisatawan yang ingin melihat peristiwa adat tahunan ini.

Rangakaian Acara Malam Satu Suro Di Solo

Setiap malam 1 muharam atau terkenal malam satu Suro , maka kraton Solo akan menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Kraton, ikut serta juga dalam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule ( Kerbau ) yang di juluki Kebo Kyai Slamet. Acara kirab pusaka ini berangkat dari kraton Solo tepat pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa jalan protokol di kota Solo dengan di iringi oleh punggawa istana dan para pasukan istana. Upacara ini di gelar untuk menghormati dan sekaligus memperingati Bulan Suro (Muharam). Kegiatan Kirab ini hingga sekarang selalu menjadi salah satu momentum yang paling meriah di kota Solo, dan selalu menarik minat masyarakat kota Solo pada khususnya untuk melihat dan mengikuti prosesi ini. Banyak juga masyarakat di sekitar kota Solo, bahkan dari luar kota dan para turis asing sangat antusias mengikuti acara tradisional tersebut. Apabila upacara kirab yang di ikutkan di dalamnya Kebo Kyai Slamet tersebut benar-benar sangat di tunggu oleh masyarakat. Acara yang sudah menjadi kegiatan rutin Kraton Solo tersebut, selainkan menampilkan mitos dan legenda kebo Kyai Slamet, juga bermacam macam keris dan tosan aji istan lainnya yang di arak keliling dengan sebuah prosesi upacara spiritual dan kental sekali dengan budaya Jawa.

Malam Satu Syuro di Pura Mangkunegaran. Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Syura, masyarakat memperingatinya dengan berbagai cara. Ada yang tirakatan, membaca tahlil, dan sebagainya. Khusus di Keraton Solo, peringatan itu ditandai dengan kirab.Upacara Malam 1 Suro (Muharam) merupakan tradisi peringatan pergantian Tahun Baru Jawa yang menjadi ritual tahunan dalam budaya Jawa. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll. Sedangkan di Karaton Surakarta atau di Mangkunegaran melakukan kirab dan jamas pusaka. Masyarakat berjalan mengelilingi keraton dengan harapan menyempurnakan laku sebagai orang Jawa. Mereka ada yang dilakukan di rumah, di sanggar ada juga yang masjid dan di langgar, bahkan di jalanan. Di Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura. Dalam ritual itu KGPAA Mangkunagoro melepas kirab pusaka dengan berjalan dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan.

Demikianlah, selalu saja muncul peristiwa yang seakan-akan hendak menembus batas logika berpikir setiap kali peringatan malam 1 Sura digelar di Pura Mangkunegaran. Menariknya, berebut bunga atau udhik-udhik itu hanyalah salah satu di antaranya. Di luar itu masih ada peristiwa lain yang tak berbeda jauh. Misalnya saat usai kirab pusaka. Sebuah pemandangan menarik kembali terjadi, ketika rute kirab itu kemudian disusuri kembali oleh puluhan warga, baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Dengan berjalan kaki, mereka berlaku diam saat menyusuri rute kirab mengelilingi beteng Pura.

Kehadiran Kebo-kebo bule di tengah Kirab malem 1 Syuro oleh Karaton Surakarta Hadiningrat yang berjumlah 12 ekor tersebut dipercaya mempunyai mukjisat atau kekuatan gaib, termasuk binatang yang dikeramatkan. Banyak cerita seputar Kebo-kebo bule itu yang dianggap bukti adanya kekuatan gaib dan punya mukjisat dan keramat itu. Menurut kisahnya, orang-orang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke Karaton, bagaimana mungkin sampai di sana yang jaraknya lebih dari 250 Km dari Karaton Solo. Juga pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih dari 100 km dari Karaton, di Wonogiri dan kota-kota lain.
Gaibnya adalah ketika ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya di malem 1 Syura. Bayangkan saja, peranannya tidak tanggung-tanggung, sebagai cucuk lampah (Sang Penuntun). Ini peranan yang utama dan sangat mulia. Ia adalah pengawal, penunjuk jalan, karena Raja melihat bahwa mata batinnya, meskipun fisiknya Kebo Bule, tetapi mempunyai daya linuwih dibandingkan manusia yang sudah terinfeksi oleh halunisasi dan virus-virus materi serta imajinasi surga dunia. Tidak heran jika di malem 1 Syuro orang-orang ramai-ramai memperebutkan kotoran Kebo Bule. Ini adalah bukti nyata bahwa Kebo Bule mempunyai kekuatan gaib, yang dipercaya orang-orang Jawa mampu mendatangkan berkah. Bahwa yang sebenarnya, adalah bentuk penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi dan kemuliaan yang dimiliki oleh Kebo Bule.

KESIMPULAN

Ritual tahunan yang dilakukan setiap satu tahun sekali sekali ini. Dan pada umumnya setiap peringatannya dirayakan dengan meriah. Begitu juga halnya dengan ritual malam satu Suro atau Muharram merupakan upacara perayaan tahunan masyarakat Jawa yang dianggap sebagai tahun baru kalender Jawa atau secara tidak langsung merupakan tahun baru masyarakat Jawa. Pada umumnya dilakukan ritual-ritual seperti kirab pusaka, tapa bisu, kungkum, tirakatan atau pagelaran wayang kulit, nyekar di Cepuri Parangkusumo, Kethoprak Lesung Tamba Lara, ruwatan, jamasan atau memandikan benda pusaka, dan selamatan. Peringatan 1 suro bertepatan dengan 1 muharam pada kalender umat islam yakni kalender Hijriah. Pada dasarnya Orang-orang Jawa menjalani ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah mengharapkan perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya.

Posted by MAS PUR……


Leave a Reply

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

Blogroll

A few highly recommended websites...

    Archives

    All entries, chronologically...