Sabar, Berkarya Tanpa Batas Dalam Keterbatasan

“Dalam konteks hidupku, ketika aku telah dalam posisi kekurangan maka yang harus aku lakukan adalah membuat pasangannya berupa kelebihan dengan cara memanfaatkan potensi yang ada. Kekurangan tidak untuk dihilangkan. Kekurangan itu adalah untuk dicarikan kompensasinya, sehingga kekurangan dan kelebihan itu remain there, co-exist together. Hidup jadi seimbang karena kutub tidak mungkin hanya satu” kata Sabar.

Itulah pandangan hidup yang dimiliki Sabar Subadri, seorang penyandang cacat yang menunjukkan eksistensinya melalui lukisan. Sejak lahir Sabar tidak memiliki tangan, sehingga  ia harus melakukan segala aktivitasnya dengan kaki.

Berawal dari hobinya mencorat-coret lantai dengan kapur ketika masih kanak-kanak, kemudian berkat dorongan dari orang tuanya yang mengganggap bahwa mungkin ini adalah jalan hidupnya, Sabar terus mengembangkan dirinya. Sejak itu melukis menjadi aktivitas yang paling banyak menyita waktu  hidupnya

Pria kelahiran Salatiga 4 Januari 1979 ini menjadi salah satu anggota AMFPA ( Association of Mouth & Foot Painting Artistic) sejak tahun 1991. AMFPA adalah sebuah yayasan seni yang berpusat di Swiss beranggotakan para pelukis yang berkarya hanya menggunakan mulut dan kaki saja. Melalui yayasan tersebut Sabar menyalurkan hasil karyanya untuk dinikmati masyarakat dunia.

Di rumahnya, di daerah Klaseman  Salatiga,  Sabar mendirikan sebuah studio lukis dengan desain ruangan yang unik bernuansa natural. Di dalamnya terdapat beberapa hasil karyanya yang terpajang rapi di dinding. Aliran lukisan yang dianut Sabar adalah natural-realisme, di mana kebanyakan lukisannya bercerita seputar alam, manusia dan binatang. Karena terlihat begitu “nyata”, tak jarang lukisannya dibeli orang-orang terkenal.

Menurut pria bungsu dari tiga bersaudara ini, kesulitan melukis secara teknis tidak begitu ia rasakan. Hanya saja terkadang masalah ide yang sulit didapat. Ia tidak ingin asal-asalan melukis untuk mendapatkan uang, tapi ingin menunjukkan pesan atau makna yang terkandung di dalam lukisannya. Karena menurutnya di Indonesia sekarang ini banyak seniman yang terlalu money oriented sehingga mengesampingkan sisi kualitas karya seni itu sendiri.

“Bungah Klawan kang Cinawis”

Meski cacat fisik yang ia miliki sering menghambatnya untuk bermobilisasi keluar rumah, tapi tak berarti ini menghambatnya melihat dunia. Di studionya yang berukuran 19 x 19 m, Sabar memiliki beberapa rak koleksi buku dan fasilitas akses internet 24 jam.

Tak heran jika dari hobinya membaca banyak tokoh besar yang mempengaruhi hidupnya. Seperti Edward deBono yang mengajarinya seluk-beluk pikiran, Stephen Hawking yang ‘menyemangati’–nya menjelajahi alam semesta walau dengan keterbatasan, dan juga Charles Darwin yang mengajarinya untuk melihat alam semesta apa adanya, tanpa dipengaruhi oleh konsep-konsep.

Dengan motto hidupnya “bungah klawan kang cinawis” bagi Sabar kebahagiaan  itu tidak untuk dicita-citakan apalagi harus menuntut banyak persyaratan. Cukup dengan mensyukuri apa yang sudah ada. Sabar tidak pernah merasa putus asa dengan keadaannya. Menurutnya, menyesal dan kecewa itu urusan emosi yang mestinya bisa ditunda atau bahkan dicegah kedatangannya dengan proses berpikir yang komprehensif.

“Mestinya setiap orang belajar cara mengelola pikiran. Pada saat berpikir, kita harus tahu pola-pola pikir itu apa saja; mulai dari identifikasi, analisis, konstruksi, dekonstruksi, solusi, dan lain-lain. Kalau memahami ini semua, putus asa itu akan terdengar menggelikan,” kata pria yang kini masih mengenyam pendidikan tinggi bahasa asing di Universitas Krisen Satya Wacana.

Berkarya Tanpa Batas

Melukis telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan bagi Sabar. Karena selain menjadi sumber penghasilannya dengan melukis Sabar dapat menggambarkan perasaan-perasaannya. Seperti beberapa lukisannya yang selalu menggambarkan seorang gadis yang sedang sendirian di taman atau hutan. “ Itu mewakili perasaanku … kesepian,” ujarnya yang sampai sekarang memang masih mengharap kedatangan seseorang untuk menjadi pendamping hidupnya.

Tak puas hanya dengan melukis, Sabar juga sedang mencoba mengembangkan karyanya di bidang sastra. Sepertinya ia ingin lebih meyakinkan pada orang-orang bahwa dalam keterbatasannya ia dapat berkarya tanpa batas.

Kini dia sedang menggarap sebuah novel perdananya yang berkisah tentang perjuangan sebuah masyarakat melawan kolusi dan suap. Mungkin karya ini juga mewakili perasaannya dalam melihat kondisi bangsanya sekarang ini. RN-(D0207024)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: