Materi Antropologi SMA Kelas XII Unit 2 : Proses Globalisas Dan Strategi Mempertahankan Dan Memperkuat Nilai-Nilai Budaya Indonesia

Tantangan Global terhadap Kelestarian Budaya Lokal

Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses yang sebenarnya sudah lama terjadi di belahan bumi ini, akan tetapi di era sekarang ini yaitu era modern proses globalisasi lebih berkembang dan banyak dikenal orang. Hal ini terjadi karena globalisasi sekarang wujud atau hasilnya lebih konkrit, menyentuh pada sistem, dan sangat bervariatif. Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan(Winarno:2006:39). Globalisasi yang ditandai dengan evolusi informasi menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam kehidupan skala nasional maupun internasional.

Dua faktor yang menyebabkan terjadinya globalisasi:

Kemajuan teknologi dan perubahan sosial serta perubahan kebudayaan membuat jarak antar negara semakin dekat. Kemajuan teknologi telah memfasilitasi transportasi antara tempat dunia menjadi semakin dekat, menciptakan kesamaan dalam cita rasa, memperlancar arus komunikasi. Dengan kemajuan teknologi tersebut, maka hambatan jarak bagi semua aktivitas yang berskala global dapat dikurangi sampai batas minimal dan kemudian berpeluang untuk menciptakan saling ketergantungan antara satu aktor dengan aktor yang lain di arena global.
Terjadinya konvergensi dalam kebijakan ekonomi, politik dan kebudayaan antarnegara. Dari sisi kebijakan ekonomi, sesungguhnya kecenderungan konvergensi tersebut semacam ini sudah bisa dilihat sejak dua dasawarsa terakhir, yang dikenal sebagai fenomena kejayaan aliran ekonomi neoklasik

Globalisasi nilai dan informasi muncul karena teknologi yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh informasi secara cepat dan mudah, Dalam konteks ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa globalisasi informasi akan memiliki implikasi luas bukan semata-mata karena perubahan teknologi komunikasi, akan tetapi karena globalisasi informasi ini juga membawa akibat globalisasi nilai-nilai atau budaya. Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan implikasi globalisasi informasi ini cukup luas dan mendasar. Globalisasi menggeser nilai nilai nasionalisme dan kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan, misalnya : hilangnya budaya asli suatu daerah, terkikisnya nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong, kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup yang tidak sesuai dengan adat kita.

Konsepsi kebudayaan Indonesia memang sangat sulit untuk menentukan kriteria yang cocok untuk masyarakat yang hidup di negara ini. Pancasila sebagai basis ideologi, yang menyimpan nilai-nilai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ belum cukup untuk membicarakan kebudayaan Indonesia. Secara tekstual, Pancasila memang sangat relevan dengan ragam budaya yang ada. Akan tetapi, dalam realitasnya, masih banyak yang menanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dari sini, kita tidak dapat menyalahkan kondisi realitas tersebut. Pemerintah sebagai pemegang kekuasan dalam hal ini, harus cepat tanggap, melihat fenomena-fenomena ketidakpuasan terhadap nilai-nilai ideologi pancasila, gejolak dekadensi moralitas bangsa. Karena, ketimpangan sosial, kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan yang ada dalam pancasila, sudahkah aplikatif terhadap masyarakat saat ini. Kalau memang belum, satu kewajaran bila ada yang mempertanyakan kejelasan nilai-nilai pancasila yang dianggap sebagai nilai-nilai dan identitas kebudayaan bangsa Indonesia. Kalau memang sudah, mari kita lihat bersama realitas obyektif yang terjadi dalam masyarakat saat ini.

Ketidak jelasan akan pemahaman nilai-nilai kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pola fikir yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Arus budaya globalisasi yang sudah mengakar dan mendarah-daging pada pola fikir masyarakat sosial. Demikian itu sudah jelas, bila dilihat dari budaya konsumtif, instan, stail, gaya hidup dan lain-lain. Budaya globalisasi tidak dapat dibendung, ditentang, apalagi ditolak. Yang mesti kita lakukan sekarang ini adalah bagaimana budaya globalisasi mendatangkan manfaat bagi budaya Indonesia, serta bagaimana memfilterisasi budaya tersebut yang mempengaruhi pada pola fikir kebudayaan bangsa Indonesia.[1]

  1. Budaya Indonesia dan Globalisasi

Kesadaran akan pentingnya memperhatikan kebudayaan nampaknya semakin meningkat. Hal ini jelas tidak bertentangan dengan titik berat bidang kesadaran akan adanya rongrongan dari luar (globalisasi). Sebaliknya, justru kesadaran akan pentingnya pendekatan budaya, mengingatkan kita bahwa bagaimanapun jalan yang ditempuh, tetaplah manusia sebagai tujuan dan subyek globalisasi.[2] Hendaknya manusia tidak dikorbankan untuk mencapai tujuan lain selain dirinya.

Kendati ada sinar-sinar cerah yang menggembirakan, cukup memprihatinkan juga bahwa lalu pendekatan kebudayaan diartikan semata-mata sebagai kesenian. Sedangkan kita sudah cukup paham bahwa kesenian dan kebudayaan yang kebanyakan diperlihatkan melalui pendekatan visualisasi simbol-simbol seni dan budaya tersebut. Sepertihalnya dunia hiburan, film-film, sinetron dan tontonan televisi yang itu semua produk globalisasi.[3] Pada dasarnya, kebudayaan adalah keseluruhan hidup, proses dan aktivitas manusia dalam keberadaannya dimuka bumi ini. Jika membicarakan bangsa ini, maka arti kebudayaan adalah penjelmaan kelakuan sekelompok manusia berpokok pada pola sikap budi manusia yang berdasarkan pemandangan hidup dunia serta melahirkan mentalitas dan cara berfikir kebudayaan.

Lain dari pembicaraan kesadaran akan kebudayaan yang ada di Indonesia, hal yang paling utama yang harus disadari adalah mengenai globalisasi. Keberadaan globalisasi di tengah-tengah budaya yang belum jelas adalah satu keniscayaan. Berbicara mengenai globalisasi berarti membicarakan dunia dalam konstalasi politk, ekonomi, social-budaya. Bangsa ini disatu sisi memiliki kebudayaan, sisi lain budaya globalisasi cukup erat kaitannya dengan perubahan kebudayaan  tersebut.

Dalam arus globalisasi, tidak luput juga membicarakan negara-negara maju, bekembang, dunia pertama, kedua dan ketiga. Sebab, keberadaan negara-negara tersebut turut menentukan kemana arah arus globalisasi nantinya. Sebagaimana yang dikatakan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o, menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika, sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya.[4] Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, dulu dipaksakan lewat imperialisme dan kini dilakukan dalam bentuk yang lebih meluas dengan nama globalisasi.

Globalisasi secara defenitif memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Globalisasi menyentuh berbagai aspek kehidupan, antara lain seni. Dalam rangka mengamati dan meneliti proses globalisasi dalam dunia seni, baru-baru ini di Teheran, Iran, telah diselenggarakan sebuah seminar internasional dengan tema “Seni dan Globalisasi”. Seminar ini dihadiri oleh 20 cendikiawan Iran dan 23 cendikiawan asing dari 15 negara, antara lain Perancis, Tunisia, Russia, Nigeria, Turki, Zimbabwe, Kenya, Italia, Cina, Lebanon, Mesir, Afrika Selatan, Kanada, dan Tanzania.

Banyak tanggapan dari budayawan Indonesia. Tanggapan-tanggapan itu tentunya berhubungan dengan pesan yang dapat diambil dari seminar itu. Salah seorang budayawan yang menyatakan harapannya agar seminar ini berhasil mendefinisikan dengan baik berbagai kesempatan dan ancaman yang akan melanda manusia pada era globalisasi. Selain itu, peserta seminar hendaknya mencari jalan praktis dalam meningkatkan kemampuan seni dan budaya pribumi, agar mampu berdiri kokoh di dalam tatanan baru dunia. Salah seorang peneliti Iran yang aktif dalam bidang budaya tradisional, meyakini bahwa dalam era globalisasi ini bangsa-bangsa harus memproduksi karya-karya budaya yang sesuai dengan tuntutan pasar dunia. Dalam hal ini sudah waktunya para budayawan Indonesia harus menggali  dan menemukan keistimewaan-keistimewaan budaya yang terkandung dalam nilai-nilai ideologi pancasila, lalu memperkenalkannya kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat bangsa-bangsa lain umumnya.

  1. Dampak Globalisasi Terhadap Seni dan Budaya

Mengenai globalisasi dalam kerangka Barat yang ingin menyamakan budaya masyarakat yang ada di dunia ini, dapat dicurigai bahwa hal itu merupakan satu campur tangan terhadap hukum alam dan penciptaan. Pada dasarnya, proses globalisasi yang alami haruslah sesuai dengan yang disebut oleh Al-Quran, yaitu “bahwa Allah menciptakan manusia dalam berbagai bangsa dan suku, supaya mereka lebih saling mengenal antara satu sama lain”. Namun globalisasi telah menimbulkan masalah kepada proses ini karena berusaha memaksakan satu budaya agar diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda, dan itu artinya kebudayaan pribumi (Indonesia) bangsa-bangsa saat ini menjadi tersingkir dan tidak mendapatkan ruang artikulasinya.[5]

Proses globalisasi yang seimbang dengan kehidupan manusia dan sepanjang sejarah manusia, memang selalu terdapat upaya manusia untuk mendekatkan diri antara satu sama lain dan mencari titik persamaan. Tetapi, di sepanjang 30 tahun terakhir, negara-negara Barat berusaha memaksa masyarakat dunia untuk menerima nilai-nilai Barat secara mutlak. Hal itu sangat berbahaya dan jika terus berkelanjutan, proses ini akan menyebabkan hegemoni Barat dan Amerika terhadap negara-negara lain.[6]

Selanjutnya, globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada seni dan kebudayaan kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dan kebudayaan Indonesia menemukan identitasnya. Tapi kerena masuknya budaya globalisasi, kebudayaan kita terreduksi oleh arus budaya yang lebih besar. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Indonesia yang percaya kepada kekuatan akar budaya tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni dan kebudayaan bisa menjadi benteng pertahanan identitas dan tradisi kita selanjutnya.

  1. Globalisasi dan Tantangan  Masa Depan Budaya Indonesia

Melihat budaya Indonesia dalam arus globalisasi, sedikit dan banyaknya pasti mengalami perubahan. Untuk mempertahankan identitas keindonesian, perlu kiranya kita memikirkan kembali konsepsi kebudayaan Indonesia. Sekedar sebuah refleksi, budaya Indonesia seharusnya dapat ditentukan bagaimana ciri khas pola laku, fikir dan moraliras bangsa ini semestinya. Untuk memenuhi hal tersebut, maka diperlukan pengkajian ulang kebudayaan yang identik dengan masyarakat dan realitas social di Negara ini.

Agar tercipta apa yang dinamakan ‘melek budaya’,[7] kita mestinya mengupayakan rekosntruksi kebudayaan Indonesia dengan menimbang beberapa hal; Pertama, meneliti dengan seksama gagasan-gagasan para pemikir kebudayaan Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Kedua, meneliti politik kebudayaan setiap rezim pemerintahan yang berkuasa di Indonesia, sejak semula kemerdekaan, Orde lama, Orde baru dan zaman reformasi yang meliputi konsepsi kebudayaan apa, konstruk kebudayaan seperti apa, oleh siapa, strategi kebudayaan macam apa saja yang digunakan, rancang proyeksi kebudayaan Indonesia yang bagaimana, sehingga sekarang kita perlu merekonstruksi. Ketiga, meneliti secara seksama nilai-nilai asli yang ada di masyarakat dan perubahan-perubahan pada masyarakat. Keempat, posisi Indonesia di tengah-tengah kepungan arus besar globalisasi dan ragam kuasa kebudayaan dunia.[8] apapun konsepsi tentang perubahan, rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang ditawarkan, apakah jawaban-jawaban kita untuk merekonstruksi kebudayaan nantinya secara riil benar-benar tepat, relevan, fungsional dan efektif terhadap masalah-masalah kita? Tugas para budayawan, intelektual adalah melakukan penelitian, lewat ragam cara, persfektif, pisau analisis dan formulasi, sosialisasi, gerak politis sosio-kultur, lalu merekomendasikan hasilnya kepada pemerintah, pemilik kekuasaan dan political will.

  • Strategi mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai budaya Indonesia

Dengan adanya arus gobalisasi yang sekarang semakin mengikis budaya lokal yang ada, perlu adanya sebuah cara atau strategi untuk mempertahankan dan menguatkan nilai-nilai budaya yang telah ada sejak dahulu. Oleh karena itu berikut strategi yang dapat kita ambil untuk menghadapi globalisasi :

  1. Pembangunan Jati Diri Bangsa

Jati diri bangsa sebagai nilai identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dan diinternalisasikan secara mendalam. Caranya, dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak dini kepada generasi muda. Pendidikan memegang peran penting di sini sehingga pengajaran budaya perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional yang diajarkan sejak sekolah dasar. Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai lama yang ketinggalan zaman sehingga harus ditinggalkan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia Internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi budaya ‘hamemayu hayuning bawana’ yang mengajarkan masyarakat untuk berbersikap dan berperilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja (Suryanti 2007).

Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi melestarikan dan mengembangkan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya yang senasib sepenanggungan di antara warga Indonesia. Karena itu, perlu dilakukan adanya revitalisasi budaya daerah dan penguatan budaya daerah. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (transcultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya (Saptadi 2008).

  1. Pemahaman Falsafah Budaya

Meningkatkan kualitas pendidik dan pemangku budaya secara berkelanjutan merupakan sebuah langkah penting untuk dilakukan. Pendidik yang berkompeten dan pemangku budaya yang menjiwai nilai-nilai budayanya adalah aset penting dalam proses pemahaman falsafah budaya. Pemangku budaya tentunya juga harus mengembangkan kesenian tradisional.

Pergerakan pentas-pentas budaya di berbagai wilayah wajib dilakukan dengan penjadwalan rutin kajian budaya . Semua itu tidak akan menimbulkan efek meluas tanpa adanya penggalangan jejaring antarpengembang kebudayaan di berbagai daerah. Jejaring itu juga harus diperkuat oleh peningkatan peran media cetak, elektronik dan visual dalam mempromosikan budaya lokal. Dalam melakukan itu, semua pihak harus dilibatkan. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok masyarakat, pemerhati budaya, akademisi, dan pengusaha bekerja sama dalam pengembangan budaya.

  1. Penerbitan Peraturan Daerah

Pada dasarnya budaya adalah sebuah karya, sehingga harus ada peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang pelestarian budaya dan harus dilakukan oleh semua pihak. Kebudayaan akan tetap lestari jika ada kepedulian tinggi dari masyarakat. Selama ini kepedulian itu belum tampak secara nyata, padahal ancaman sudah terlihat dengan jelas. Dalam perda, perlu diatur hak paten bagi karya-karya budaya leluhur agar tidak diklaim oleh Negara lain. Selain itu, masalah pendanaan juga harus diperhatikan karena untuk merawat sebuah budaya tentu membutuhkan anggaran meskipun bukan yang terpenting.

  1. Pemanfaatan Teknologi Informasi

Di era global, yang menguasai teknologi informasi kan memiliki peluang lebih besar dalam menguasai peradaban dibandingkan yang lemah dalam memanfaatkan teknologi informasi. Oleh karena itu, strategi yang harus dijalankan adalah memanfaatkan akses kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.

Budaya lokal yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan dengan perkembangan media komunikasi dan informasi, yang mana harus ada upaya untuk menjadikan media sebagai alat untuk memasarkan budaya lokal ke seluruh dunia. Jika hal ini dapat dmanfaatkandengan baik, maka daya tarik budaya lokal akan semakin tinggi sehingga dapat berpengaruh pada daya tarik pada bidang ekonomi dan investasi serta mampu meningkatkan peran kebudayaan lokal di pentas dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Ø       Berger, Asa, Artur. 2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontempore. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ø       Poespawardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ø       Karim, Abdul, Sukandi. 1999. Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik KebudayaanMenyongsong Satu Abad S. Takdir Alisyahbana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: