KOMPAS.com – Dari mana Anda paling sering mengakses berita saat ini? Dari situs media atau dari jejaring sosial semacam Twitter dan Facebook?
Jika jawabannya yang kedua, maka analisa Editor-At-Large Techcrunch Josh Constine akan relevan untuk ditelaah. Secara gamblang, Constine menyebut Facebook dan Twitter sebagai perongrong eksistensi media massa.
Menurut dia, kedua platform itu perlahan tapi pasti bakal menyerap seluruh kebutuhan internet pengguna. Situs media hanya disisakan peran secuil.
“Mereka (Twitter dan Facebook) tak akan membiarkan orang-orang beranjak,” kata dia, sebagaimana dihimpun KompasTekno, Senin (19/10/2015).
Awalnya, peran Facebook dan Twitter hanya sebatas menjembatani situs media dengan pembaca. Situs media bahkan membuat akun Facebook dan Twitter untuk menyebarkan tautan artikelnya.
Namun, Facebook dan Twitter tak ingin selamanya jadi loket take-away makanan. Mereka ingin pula jadi restoran tempat orang membeli kudapan dan nongkrong berjam-jam.
Keinginan itu lebih mudah diwujudkan sebab kedua platform telah lama berinvestasi membangun kebiasaan netizen untuk memperoleh informasi awal dari media sosial.
Secara singkat, dulu netizen ke Twitter dan Facebook untuk tahu informasi terbaru. Tapi, untuk tahu kelengkapan informasi beserta foto-foto yang lebih beragam, netizen masih butuh berkunjung ke situs media.
Nantinya, dan bahkan telah dimulai kini, Twitter dan Facebook menyediakan pengalaman antarmuka yang mumpuni atas suatu berita. Netizen bisa mengetahui informasi lengkap dari kedua platform tanpa harus berkunjung ke situs media.
Facebook “Instant Articles” dan Twitter ”Moments”
Keseriusan Facebook dan Twitter sebagai jejaring sosial sekaligus penyedia informasi paling lengkap dan komperhensif dimulai tahun ini. Dalam waktu tak terpaut jauh, Twitter menghadirkan “Moments” dan Facebook meluncurkan “Instant Articles”.
Tujuannya sama, menjadi agregator berita paling lengkap dan paling dibutuhkan, sehingga netizen tak perlu beranjak ke mana-mana.
Melaui Moments, netizen dapat mengakses berita dengan tampilan serupa koran. Konten dikumpulkan dan diakurasi sedemikian rupa dengan penonjolan pada sektor visual.
Misalnya pengguna ingin melihat berita terkait piala dunia. Cukup eksplor tagar #WorldCup pada Moments yang saat ini baru berfungsi maksimal di perangkat iOS.
Semua foto, video dan teks yang dipenggal-penggal, bakal terpampang di layar ponsel atau tablet. Pengguna cukup menggeser ke kanan untuk mengeksplor lebih jauh.
Selain Moments, adapula Instant Articles. Fitur di Facebook ini juga baru bisa dijajal melalui perangkat iOS.
Sejauh ini, Instant Articles telah menggandeng beberapa media besar. Antara lain The New York Times, National Geographic, BuzzFeed, NBC News, The Guardian, BBC News, Spiegel Online dan Bild.
Kerjasama itu memungkinkan Instant Articles menghimpun berita dari media-media tersebut untuk kemudian dipublikasikan ke platform-nya.
Jadi, Instant Articles bertindak sebagai agregator berita dari media-media yang diajak bermitra. Pengguna bisa membaca berita lengkap dari situs-situs berita itu, tanpa harus beranjak dari satu situs ke situs lain.
Terlebih lagi, Facebook menyediakan tampilan yang simpel tanpa ada embel-embel iklan di samping-samping artikel, layaknya di situs-situs berita.
“Facebook mencoba fokus ke pengalaman konsumen menjajal berita,” kata Kepala Iklan Facebook Andrew Bosworth.
Dengan ini, Facebook menjadikan dirinya sebagai wadah penghimpun segala berita yang dicari pengguna. Memang, di bawah artikel yang tertera pada Instant Articles, Facebook mematrikan tautan ke sumber aslinya. Namun, untuk apa pengguna membaca artikel yang dua kali?
Dari satu perspektif, memang Moments dan Instant Articles membawa hawa segar bagi pengguna.
Kedua fitur itu menyembunyikan iklan, promo dan menyajikan berita lengkap pada satu wadah. Netizen tak perlu riwet dengan berbagai tautan dan berbagai kunjungan ke situs-situs berbeda.
Pun begitu, menurut Constine, Facebook dan Twitter perlu mengkaji ulang fitur agregator beritanya agar lebih manusiawi bagi para organisasi media. Sebab, bagaimanapun kedua platform tetap mengandalkan konten yang diproduksi situs media.
Yang terjadi saat ini, kedua platform mendulang trafik yang padat dan bisa mempopulerkan brand apapun. Para situs media mau tak mau harus bekerjasama dengan kedua platform untuk mendapat atensi masyarakat, walau tak signifikan.
Jika tidak, kompetitor mereka akan bermitra dengan kedua platform itu. Situs-situs media yang bersikukuh menolak kerjasama dengan Facebook dan Twitter inilah yang bakal lebih cepat kehilangan eksistensi.
Jika tak ada kebijakan lain untuk mempertahankan eksistensi situs media, maka ke depan para produsen berita hanya akan jadi ghost writer “penulis hantu” bagi Facebook dan Twitter. Mereka menulis dan memproduksi berita, tapi tak terakui kehadirannya.