KOMPAS.com – Teknologi wireless charging mulai marak di tanah air. Beberapa produsen mulai menanamkan fitur pengisian daya tanpa kabel tersebut pada produk terbarunya.
Tak hanya itu. Wireless charging station atau alat pengisi daya nirkabel kini juga ada di beberapa jenis furnitur, seperti meja, lampu tidur, atau bahkan lemari hias.
Sebetulnya teknologi pengisian daya nirkabel bukan barang baru. Ilmuwan Amerika Serikat, Nikola Tesla, pada 1891 telah menjadi orang pertama yang mencoba teknologi transmisi energi nirkabel ini. Saat itu, dia sukses menyalakan lampu listrik tanpa kabel.
Kini, sistem tersebut meluas diadopsi karena dinilai lebih aman. Pasalnya, kemungkinan terjadi hubungan arus pendek atau korsleting dipastikan nol. Alat pengisi daya nirkabel juga dianggap lebih tahan lama karena kabel tak mudah rusak. Teknologi ini pun dinilai ramah lingkungan karena bersifat non-radiatif.
Cara kerjanya simpel. Teknologi wireless charging—disebut juga pengisian induksi—memanfaatkan medan elektromagnetik untuk memindahkan energi di antara dua perangkat. Peranti elektronik yang ingin di-charge tinggal diletakkan di atas alat pengisi daya nirkabel.
Saat alat itu dinyalakan, arus listrik menciptakan medan magnet dan menyalurkannya ke kumparan perangkat di atasnya. Kumparan yang terhubung dengan baterai itu kemudian menciptakan arus listrik. Pengisian daya pun dimulai dan akan terhenti ketika perangkat itu diangkat.
Namun, karena membutuhkan kumparan khusus, tak semua alat elektronik kompatibel dengan teknologi ini. Nah, supaya nantinya semua alat elektronik bisa menggunakan teknologi praktis itu, dibutuhkan standardisasi.
Saat ini, ada tiga patokan standar wireless charging, yaitu Qi standar, Power Matters Alliance (PMA), dan Aliance for Wireless Power (A4WP). Standar tersebut diharapkan mampu menciptakan ekosistem yang dapat menyokong pertumbuhan produk-produk berbasis wireless charging.
Aplikasi produk
Sebenarnya, hampir satu dekade lalu, beberapa produsen kendaraan bermotor mulai menjamah pemanfaatan pengisian daya nirkabel. Mobil mengisi daya secara induktif dengan memasukkan tuas charging ke wadah khusus di dalam mobil. Namun, karena membutuhkan banyak daya, pengaplikasian pada produk otomotif secara masif sepertinya masih harus menunggu.
Aplikasi pada produk lain yang lebih umum bisa ditemukan pada sikat gigi elektrik. Beberapa jenis sikat gigi memang masih bergantung pada baterai batangan biasa, tetapi ada juga yang sudah menggunakan pengisi daya nirkabel. Teknologi tersebut lebih aman digunakan karena katup baterai tertutup rapat sehingga tahan air. Cukup meletakkan sikat gigi di atas charger stand, maka baterai akan terisi secara otomatis.
Selain sikat gigi, kini teknologi wireless charging juga menjadi tren baru di dunia telekomunikasi. Beberapa produk smartphone sudah memanfaatkannya untuk mengurangi pemakaian kabel sehingga lebih praktis. Salah satu contohnya adalah Samsung Galaxy Note 5. Peranti ini sudah kompatibel dengan pengisi daya nirkabel jenis standar Qi dan PMA.
Terus tumbuh
Seiring penggunaan wireless charging yang semakin marak, banyak restoran dan kafe mulai menyediakan wireless charging station di gerai mereka. Salah satu restoran cepat saji di Amerika Serikat, misalnya, sudah menempatkan sekitar 600 station di gerainya. Di Inggris, salah satu kedai kopi berbasis waralaba juga sudah memasang 200 station di cabang-cabangnya.
Angka di atas pun dipastikan akan terus tumbuh. Seperti dikutip computerworld.com, penelitian Information Handling Services (IHS) menyebutkan, 80 persen responden yang pernah mereka survei menyatakan butuh wireless charging station di tempat umum. Penjualan peranti pengisian ulang baterai tanpa kabel ini di tataran global juga diyakini bakal sama melejitnya, menjadi 1,7 miliar unit pada 2023 dari 25 juta pada 2013.
Nah, siap menyambut gelombang teknologi wireless charging?