Berani Memotret Punggung? Ini yang Patut Diperhatikan

Berani Memotret Punggung? Ini yang Patut DiperhatikanDesa Vollendam terlihat dari geladak ruang kemudi kapal. (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta – Tidak banyak foto-foto yang berani memperlihatkan subjek dengan posisi munggungin kamera (backpose). Sebab, foto-foto tersebut dinilai kurang eye catching meski pada satu dua alasan justru dicari untuk menimbulkan kesan misterius atau memancing rasa penasaran orang.

Sebagai sebuah pilihan, foto backpose ini memang tidak ada salahnya sebagai cara bertutur yang berbeda. Asalkan tepat dengan takaran yang akurat, maka foto-foto punggung tetap membuat greget dan emosi yang kuat. Apa-apa saja yang patut diperhatikan?

Pertama, pastikan foto backpose ini betul-betul perlu dan mempunyai alasan yang bisa dijelaskan. Misalkan untuk menonjolkan detail kostum/fashion pada bagian belakang yang unik. Atau sebaliknya, justru menyembunyikan sesuatu di bagian depan sehingga cukup difoto dari belakang seperti pada foto nude art.

Kedua, jika ingin memotong batas antara subjek dengan ‘pembaca’ atau audiens, cara backpose menjadi pilihan yang apik. Pembaca seperti diajak menjadi satu ruang dengan subjek yang ada dalam foto. Seolah-olah audiens tidak hanya diajak untuk menguntit kamera melainkan terlibat aktif dalam adegan tersebut sehingga emosi pembaca lebih terlibat dengan utuh.

Keterangan foto: Romantisme KPop di distrik Gangnam, Seoul. (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Berbeda halnya dengan subjek yang menghadap kamera seluruhnya. Maka ada batas antara posisi subjek dengan audiens sehingga foto yang dihasilkan kurang intim. Persis panggung teater Broadway yang sebaik apapun karakter yang dimainkan, tetap mempunyai jarak: Anda pemain-saya penonton.

Ketiga, jepretlah subjek yang munggungin kamera dengan proporsional. Proporsional ini bisa dikatakan sesuai dengan cerita dan gol yang diinginkan. Apakah akan menghabiskan lebih dari separuh bidang foto ataukah hanya 2/3 bagian.

Tidak perlu berlebihan sekaligus tidak pula terlalu hemat. Gunakan intuisi dan nalar kreatif untuk membuat cerita dan komposisi dengan takaran yang tepat.

Keterangan foto: Memanggul atap rumbia, Nias Sumatera Utara. (Foto: Ari Saputra/detikcom).

Keempat, kelemahan foto punggung itu tidak bisa mengeksplorasi karakter wajah dan ekpresi. Bahkan bahasa mata pun tidak. Penggantinya, maksimalkan bahasa tubuh (gesture) dengan total, teliti, detil dan momen yang tepat.

Pengaruh gesture ini sangat dominan membangun cerita. Dari ujung rambut sampai mata kaki mempunyai makna yang tidak sama. Orang yang sedang sedang cemas dan terburu-buru tentu mempunyai gesture yang berbeda dengan orang yang sedang santai atau gembira. Rasakan momen itu dan terjemahkan dalam bahasa gambar sesuai karakter masing-masing.

Sebab fotografi sesuatu yang menyenangkan. Tidak hanya aktivitas memencet alat semata, melainkan turut membangun dan mendefinisikan dunia di sekelilingnya.

Keterangan foto: Menyusuri kanal Otaru, Jepang. (Foto: Ari Saputra/detikcom).

Keterangan foto: Turis dengan baju Kimono di Ashakusa Temple, Tokyo. (Foto: Ari Saputra/detikcom).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: