Jakarta – Pemerintah mencanangkan 100 juta kader bela negara dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Tapi tenang, itu bukan berarti kader sipil harus angkat senjata.
Meski ditatar oleh anggota TNI, bukan berarti para kader bela negara ini belajar total ala militer. Bela negara bukanlah wajib militer dan harus angkat senjata.
“Oh nggak ada nembak. Memang ada pelajaran tentang pengenalan senjata. Itu agar mereka ngerti saja. Bela negara lebih pada wawasan kebangsaan. Ada juga pelajaran beladiri, Yong Moo Do,” ungkap Danrindam Jaya/Jayakarta Kolonel Inf Iwan Setiawan saat berbincang dengan detikcom di Mako Rindam Jaya, Jl Condet Raya No.55, Pasar Rebo, Jaktim, Selasa (13/10/2015).
foto: Elza/Danrindam Jaya Kolonel Inf Iwan
|
Rindam Jaya merupakan salah satu lokasi tempat akan digelarnya program bela negara Kemhan. Sebenarnya pendidikan bela negara sudah sering dilakukan di lokasi ini bagi pihak-pihak yang menginginkannya. Seperti dari perusahaan swasta, instansi pemerintahan, dan juga dari dunia civitas akademi.
“Kalau dari instansi ya semuanya, mulai dari level bawah, menengah, atau atasan. Iya bener, atasan-atasan juga ikut,” kata iwan.
Kegiatan bela negara yang selama ini sudah dilakukan adalah memberikan pelajaran mengenai kedisplinan. Itu dimulai dari hal-hal kecil sejak bangun hingga tidur kembali.
“Abis bangun nanti mereka merapikan PUDD (peraturan urusan dinas dalam). Kasur harus dirapikan lagi, seprai sampai kencang posisinya. Lemari juga harus rapi. Lalu kemudian ke kamar mandi, sembahyang, senam, mandi, makan, apel,” jelas mantan Danpusdik Kopassus itu.
Setelah apel, peserta bela negara lalu melakukan kegiatan, baik yang bersifat teori maupun praktek. Di sela-sela latihan, bahkan pelatih juga menyediakan snack atau camilan bagi peserta.
“Setelah isoma. Jam 1 kegiatan sampai jam 17.00 balik ke barak istirahat dan sembahyang. Balik jam 19.00 kegiatan malam. apel malam lalu tidur. Memang kegiatan full,” ucap Iwan.
Pendidikan bukan melulu harus yang bersifat serius. Para peserta juga diajarkan bagaimana membuat yel-yel, bernyanyi, untuk melatih kekompakan.
Pelatihan fisik pun juga perlu memperhatikan unsur cuaca. Jika panas menyengat, kegiatan akan dialihkan untuk berada di dalam ruangan. Ada tandanya, yakni jika bendera berwarna hitam, pelatihan fisik harus ditunda dulu.
“Itu ada aturannya dari orang kesehatan. Mereka yang lebih tahu. Misalnya lebih dari 32 derajat celcius bendera hitam, tapi saya nggak tahu aturan pasnya. Kalau kita hanya lihat bendera aja,” ujar salah seorang pelatih bela negara, Serma Tri Sukisworo di lokasi pelatihan bela negara yang berada di dalam kompleks Mako Rindam Jaya
Jika bendera merah berarti aktivitas dikurangi, lebih pada pembinaan di tempat. Untuk kuning pun demikian. Bendera hijau yang baru aman. Di beberapa lokasi memang terlihat sejumlah alat ukur termometer.
“Kalau kegiatan jasmani harus selalu koordinasi dengan dokter atau tim kesehatan. Misal kita bilang ‘dok, sekarang boleh nggak kita mainkan ini?’ kadang dokter tentuin ‘boleh tapi di tempat teduh’ atau kadang sama sekali nggak boleh. Jadi kegiatan fisik itu dialihkan ke sore hari,” terang Tri.
Seperti yang siang ini terjadi, peserta bela negara BPJS tidak jadi berkegiatan lari. Namun karena bendera hitam, peserta kemudian mendapatkan bimbingan pengasuhan dari Serma Tri dan rekannya, Pelda Joko Kesolo, di dalam ruangan. Materinya adalah jaga serambi yang berarti tugas piket bergantian saat jam tidur.
Sama halnya seperti Danrindam, Tri juga mengatakan untuk bela negara tak ada pendidikan praktek menembakan senjata. Mengenai senjata hanya sebatas materi Pengetahuan Senjata Ringan (Penjatri) atau berbaris dengan membawa senjata tanpa ada amunisinya.
“Penjatri itu paling pengenalan karakteristik senjata seperti MI6, SS1, FN 46. Gimana cara membongkarnya, pengamanan, cara menggunakan senjata gimana. Tapi sebatas itu, prakteknya nggak,” beber Tri.
Selain kegiatan baris berbaris atau kedisiplinan, peserta bela negara juga akan mendapat materi teori. Seperti tentang kepemimpinan, kerukununan beragama, CMI (cara memberikan instruksi), cara berkomunikasi.
Untuk kegiatan jasmani seperti lari, renang, beladiri. Kemudian ada juga tentang sejarah perjuangan bangsa, lalu pelatihan taktik dan tenik seperti navigasi darat. Lalu juga ada ilmu medan, dan survival.
Kemudian ada pelatihan paling menarik yang dikenal dengan istilah hight to fighter. Peserta akan diminta turun tebing, luncuran (flying fox), lalu naik togle dan turun hesty. Ini dengan menggunakan tali di daerah dengan kecuraman yang tidak terlalu tinggi.
Ada juga pelajaran bagaimana menyebrang di sungai pakai tali, meniti tali, dan kegiatan outbond lainnya. Namun yang paling seru adalah ketika pada suatu momen, para peserta akan diajak ke luar Rindam dan melakukan Caraka malam atau yang umumnya dikenal dengan jurit malam.
“Paling seru caraka malam. Semua materi dipraktikan. Itu bikin kita lebih berani,” cerita seorang peserta bela negara BPJS, Ikhwan Bayu Darma (25).
Ikhwan merupakan kelompok gelombang pertama BPJS yang ikut program ini. Sudah 40 hari lamanya ia berada di Rindam Jaya. Hari ini adalah hari terakhir pendidikan bela negaranya.
“Besok penutupan. Paling sering materi mountenering dan survival. Kemarin Caraka malam Cihampea, seru banget. Kita di sini juga belajar cara penghormatan, beladiri Yong Moo Do. Kita dari nol baru tahu di sini. sekarang udah bisa banting lawan,” kata pria asal Jakarta ini.
Meski mengaku secara fisik energinya sangat terkuras, Ikhwan mengaku senang mengikuti bela negara. Banyak hal positif yang ia petik dari program ini.
“Kalau capek secara fisik sih iya, tapi bawa asyik aja. Awalnya emang kaget banget, karena kita dari sipil tahu-tahu diajarin secara militer. Tapi lama-lama biasa, sekarang udah enak semua,” tuturnya.
“Banyak positifnya, bisa bikin kita disiplin. Hormat sama yang lebih senior. Terus jadi makin banyak kawan. Ini kan kami dari BPJS seluruh Indonesia. Bisa saling kenal satu sama lain,” pungkas Ikhwan.
Sumber : Detik.com