Peristiwa 10 November sebagai Spirit Perjuangan Santri di Masa Kini ada hari ini di tahun 1945 di Surabaya. Rakyat Surabaya sedang menunggu penghukuman yang dijanjikan Jenderal Manserg dari sekutu sebagai pembalasan atas tewasnya Mallaby. Sekutu menjanjikan penghukuman berat terhadap Surabaya dengan serangan dari darat, laut, dan udara. Pejuang Republik khususnya santri baru belajar menembak, tentara resmi pun jumlahnya hanya sedikit. Tapi semangat yang menyala-nyala dan kenekadan yang luar biasa telah menutup kelemahan itu. Pertempuran Surabaya adalah suatu rentetan peristiwa sejak September hingga November1945. Kejadian bermula dari insiden bendera di Hotel Yamato yang terkenal itu. Insiden ini menjadi pemicu dari awal gerakan rakyat Surabaya menyambut kemerdekaan. Dengan modal seadanya mereka rebut kempetai Jepang, lalu semua gudang senjata dan kantor-kantor milik Jepang diambil alih. Peristiwa berlanjut dengan mendaratnya sekutu pimpinan Brigjen Mallaby di Pelabuhan Surabaya yang ternyata diboncengi NICA. Hingga terjadilah pertempuran Surabaya yang pertama bulan Oktober1945 selama 3 hari. Pertempuran selama 3 hari 3 malam membuktikan kehebatan pemuda Surabaya. Mereka mampu melibas batalion yang baru saja memenangkan pertempuran melawan Jepang di Birma. Bahkan konon rakyat Surabaya telah membantai 1 kompi tentara Gurkha tanpa sisa. Konon katanya para santri dan pemuda Surabaya yang lain bertempur dengan sangat tidak terorganisir, namun semangatnya yang menyala inilah tipe orang Surabaya. Andai saja Soekarno tidak menyetujui perjanjian damai dengan sekutu di Surabaya dan pertempuran terus berlanjut. Mungkin sejarah akan mencatat batalion Sekutu yang telah mengalahkan Jepang di Birma dapat dihabisi oleh segerombolan orang yang baru belajar menembak. Sayang perjanjian damai dilaksanakan. Toh begitu tembak-menembak tetap terjadi. Buktinya Mallaby tewas di depan gedung Inferno (dibunuh tanpa sengaja oleh tentaranya sendiri). Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya agar menyerahkan senjata sambil mengangkat tangan pada tanggal 9 November 1945. Ancaman sekutu ditolak pejuang Republik dan terjadilah pertempuran yang berlangsung selama 3 minggu dan menewaskan 20.000 orang Indonesia baik tua muda, tentara atau rakyat biasa. Dan 3000 lebih dipihak sekutu (sekitar 600 diantaranya tentara Inggris) Peristiwa 10 November 1945 sangat terkait dengan resolusi jihad NU. jarang orang mengetahui bahwa peristiwa pertempuran yang sangat dahsyat nan heroik tersebut sebenarnya dipicu oleh resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang sekaligus sebagai Rais Aam PBNU saat itu. Resolusi jihad yang dikeluarkan NU tersebut telah menginspirasi segenap anak bangsa khususnya santri untuk berjuang mengangkat senjata guna mengusir penjajah yang hendak masuk kembali ke Indonesia. Kontribusi NU dan santri terhadap peristiwa tersebut bukan hanya sebatas mengeluarkan resolusi jihad yang terbukti berhasil melecut semangat juang bangsa Indonesia, namun para kiai Nu beserta santri-santrinya terjun secara langsung ke medan perang mengusir penjajah. Sejarah mencatat Sekutu berhasil menguasai Surabaya setelah bertempur selama 3 minggu. Namun bagi Indonesia umumnya dan bagi Surabaya khususnya hasil itu belum sepenuhnya menunjukkan bahwa kita kalah. Secara hasil mungkin kita kalah, tapi lihatlah bagaimana 2 Jenderal Inggris tewas selama bertempur di Surabaya. Padahal dalam PDII tidak ada satu pun Jenderal Inggris yang tewas. Peran besar santri dalam peristiwa 10 November di Surabaya seharusnya menjadi spirit perjuangan santri di masa kini. Tantangan santri saat ini jauh lebih besar dibandingkan dulu. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya pengaruh kuat globalisasi, westernisasi, paham hedonisme, maraknya sempalan islam di Indonesia, hingga situasi politik yang semakin tidak jelas. Semakin hari, masyarakat semakin gersang hingga memandang kebenaran dan kesalahan hampir mirip sehingga semakin kabur. Santri harus bisa berperan sebagai agent of change, yakni agen dari sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan moral masyarakat. Karena santri adalah identitas manusia yang selalu berkerabat dengan ilmu, pengetahuan, akhlaq dan senjata. Pertempuran 10 November Surabaya adalah salah satu peran besar santri bagi bangsa tinggal bagaimana santri membangun bangsa di era globalisasi. HEADLINE 1 Buletin Kholis Edisi November 2015 Antusias rekan-rekanita pada materi keaswajaan di acara MAKESTA2(10/10/2015) Opini istorisitas berdirinya IPNU sebagai Horganisasi yang menjadi jalan penyatuan elemen gerak kepelajaran di bawah peran besar dari Nahdlatul Ulama. Keragaman penamaan ini berlangsung sejak tahun 1936, hingga kesepakatan nama terjadi tanggal 24 Februari 1954 M atau 20 Jumadil Akhir 1373 H di Kota Semarang. Kesepakatan dan peresmian nama ”IPNU”, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama menjadikan organisasi ini resmi sebagai wadah berhimpun, mengembangkan diri, dan berkreasi bagi pelajar, mahasiswa, santri, dan remaja baik di pesantren, madrasah/sekolah maupun perguruan tinggi. Pijakan pada keyakinan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah menjadi dasar dari wadah dan induk yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, wadah organisasi pelajar putri Nahdlatul Ulama terbentuk dengan nama IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Hubungan IPNU dan IPPNU di sini sebagai mitra kerja dalam membina para kader. Pembentukan kader-kader muda NU yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap lingkungan dan memiliki wawasan kosmopolitan di tengah dinamika zaman yang terus berubah. Berbagai tugas untuk segera merespon problematika dalam ranah kepelajaran menanti IPNU dan IPPNU. Narkoba, free sex, tawuran, dan pelacuran yang melibatkan pelajar merupakan beberapa ancaman yang dihadapi generasi muda (baca: pelajar, santri dan mahasiswa) NU yang tinggal di kota-kota besar. Sedangkan masalah keterbatasan sarana belajar, menurunnya motivasi belajar, dan ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan sering menjadi problematika yang dihadapi pelajar yang berada di desa-desa. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan informasi menghasilkan interaksi global yang berlangsung di ranah budaya, pendidikan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tumbuhnya radikalime yang mulai menjangkau kalangan pelajar dapat menjadi ancaman jangka panjang berupa disintegrasi bangsa. Dengan melihat berbagai macam problematika yang dihadapi pelajar khususnya dari sudut pandang sosiologis dan geografis, pilihan strategi yang efektif dilakukan oleh IPNU dan IPPNU perlu didasarkan pada pengelolaan peran pada tingkat komisariat atau ranting. Artinya formulasi gerakan dan peran yang dilakukan berdasar otonomi. Bukan otonomi untuk membiarkan setiap tingkat 2 Buletin Kholis Edisi November 2015 berbuat sesukanya, melainkan otonomi dengan pengertian bekerja, berperan, mereformulasi diri dalam garis-garis umum yang sudah ditetapkan oleh pimpinan pusat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Penanaman nilai Islam aswaja termasuk tradisi pesantren seperti sholawatan, maulidan, tahlilan, istighatsah, manaqib, ziarah kubur, dan kajian kitab kuning tak boleh dilupakan generasi muda NU untuk melestarikan tradisi aswaja sekaligus membentengi diri dari godaan dunia yang menyilaukan. Kita harus menyadari bahwa generasi muda adalah pemegang estafet peradaban di masa yang akan datang. Dinamika zaman yang terus berubah memang memberikan tantangan tersendiri untuk tetap berdiri tegak menunjukkan identitas dan kualitas diri. Semoga IPNU dan IPPNU tetap teguh menjalankan amanah dalam menjadi wadah yang menumbuhkan generasi-generasi muda NU dalam peran-peran penting dan baik tak hanya sekarang tetapi juga di masa lalu seperti yang telah diteladankan oleh pendahulu kita. Dengan berpijak pada adagium yang sudah masyhur di kalangan pesantren ”al-Muhafadhatu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al- Jadid al-Ashlah” (mempertahankan nilai- nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti lebih baik). Sebuah prinsip yang mengandung banyak hikmah berharga bagi organisasi maupun individu dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. *) Ketua IPNU Komisariat Unnes tahun 2013 IPNU-IPPNU dalam Dinamika Zaman Oleh: Muhammad Kridaanto*) Redaksi Pimpinan Redaksi:Farid L.A, Editor:Afrida N.A, Layouter:Lulu M, Reporter:Anin R, Rovika A, Syafrudin, Fika Izza “Cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan calon kasta elite dalam masyarakat.” Prof. D.r KH. Tolchah Mansoer pendiri IPNU KYAI NADHIM Surat Terakhir dari Ayah Oleh: Akhmad Luthfi (PW IPNU-IPPNU Jateng) Anakku terkasih… Suatu saat nanti aku akan menjadi sangat renta. Dan aku tak lagi ramah bahkan mungkin…Tak mengenali diriku lagi. Ketika aku berantakan saat makan, dan tidak lagi dapat menggunakan pakaian dengan baik,Ingat waktu dimana aku mengajari semuanya padamu. Jika aku berbicara kepadamu, kemudian aku mengulanginya beberapa kali, dengarkanlah dan aku mohon jangan interupsi aku. Ketika kau masih kecil, aku selalu membacakan cerita berkali-kali. Cerita yang sama sampai kau terlelap. Ketika aku tak mampu lagi mandi sendiri, janganlah marahi aku atau tak mau membantuku. Karena dulu aku telah membantumu dengan ikhlas, sampai engkau mampu mandi sendiri. Ketika aku tak mengerti tentang teknologi, berikanlah aku kesempatan untuk memahaminya dan jangan berikan senyumanmu yang menyakitkanku. Aku telah mengajarkan semuanya padamu, untuk makan dengan baik, berpakaian dengan rapi, dan menjadikan hidupmu menyenangkan. Ketika saatnya nanti ingatanku sudah pikun atau pengucapanku mulai tak teratur, berikanlah waktumu agar aku bisa mengingat kembali. Jika aku tak mampu melakukannya, janganlah engkau gugup. Pada saat itu, yang terpenting bukanlah apa yang aku katakan. Yang terpenting adalah tunjukkanlah padaku, bahwa kau masih setia mendengarkanku. Jika aku tak mau makan, jangan paksa aku. Aku tahu persis kapan aku ingin makan atau tidak. Ketika kakiku mulai rapuh, jangan hanya tongkat yang kau berikan padaku.Tapi ‘berikan’ juga tangan dan bahumu sebagaimana yang aku lakukan padamu pada waktu kau baru pertama kali berjalan. Ketika saatnya nanti tiba dan aku katakan padamu bahwa aku takkan hidup lebih lama lagi, kumohon jangan marah, karena suatu saat nanti kau akan mengerti akan hal itu. Cobalah mengerti bahwa usiaku bukanlah kehidupanku,tetapi bagaimana aku bisa bertahan hidup. Suatu saat nanti kau akan temukan, mungkin dengan kesalahan yang kubuat, aku selalu memberikan yang terbaik bagimu, yang selalu mencoba untuk mempersiapkan jalan hidupmu. Kau tak perlu bersedih, marah, atau menganggap penting melihatku ada disisimu, karena engkau akan menjadi pewarisku. Berusahalah untuk mengerti dan membantuku, sama seperti aku membantumu di awal kehidupanmu. Bantu aku berjalan… Bantu aku mengakhiri jalanku dengan cinta dan kehangatan. Aku akan menebusnya dengan senyuman manis dan cintaku yang tulus dan selalu kuberikan padamu. Aku selalu mencintaimu, anakku,,, Ayah… :’) 3 Buletin Kholis Edisi November 2015 Semangat Nahdlatut Tujjar bagi Nahdliyyin untuk Indonesia atar Belakang berdirinya Nahdlatul Ulama L(NU) didahului dengan berdirinya lembaga-lembaga milik para ulama, baik di bidang pemikiran maupun ekonomi. Lembaga-lembaga tersebut kemudian dikenal dengan tiga tiyang penyangga yaitu Nahdlatul Wathan sebagai semangat nasionalisme yang berdiri pada tahun 1914, Nahdlatut Tujjar (1918) sebagai semangat pemberdayaan ekonomi, dan Tashwirul Afkar (1918) sebagai semangat pemikiran keilmuan dan keagamaan . Nahdlatul Wathan yang artinya kebangkitan tanah air merupakan organisasi pendidikan dan dakwah yang berfungsi untuk menyediakan sumber daya manusia yang berwatak religius dan nasionalis. Sumber daya demikian dibutuhkan untuk kepentingan kekuasaan (seperti kebutuhan akan pejabat birokrasi) maupun kepentingan kemasyarakatan secara luas. Nahdlatut Tujjar yang artinya kebangkitan para pedagang merupakan gerakan ekonomi yang bertujuan menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil. Sedangkan Tashwirul Afkar atau potret pemikiran adalah gerakan pemikiran yang berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk mengembangkan dan menerjemahkan pemikiran-pemikiran Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman yang terus berubah. Dengan demikian, NU sebenarnya bukan gerakan keagamaan dalam arti yang sempit, tetapi juga gerakan ekonomi, pemikiran dan pendidikan yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan. Berkaitan dengan pendirian Nahdlatut Tujjar, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problem-problem keumatan yang terkait erat dengan ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari kemudian mempelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan simpulsimpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial. Sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemukakan dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Selain itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan. Konsep Nahdlatut Tujjar merupakan konsep ekonomi mandiri yang dipelopori oleh para pendiri NU. seperti KH. A. Wahab Chasbullah memiliki perusahaan dalam bentuk CV. Karoenia yang bergerak di berbagai jenis usaha, seperti impor sepeda, distribusi beras dan usaha pelayaran dan KH. Achmad Syaikhu, seorang pengusaha sepatu terbesar di Surabaya. Setelah ketiga wadah perkumpulan tersebut melebur menjadi satu dalam NU, semangat Nahdlatut Tujjar (perekonomian) di masa sekarang sudah mulai diterapkan melalui gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU yang pada waktu itu berjumlah sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang misalnya pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Tak terhitung usaha kreatif pengembangan kemandirian ekonomi dilakukan oleh para aktivis lembaga, lajnah , dan badan otonom NU, maupun warga NU secara umum. Namun, melihat keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin lesu terutama rupiah yang terus melemah, semangat Nahdlatut Tujjar di kalangan Nahdhliyin seharusnya lebih ditingkatkan lagi, misalnya melalui industri kreatif inovatif dan mandiri yang mampu bersaing dan bertahan di ekonomi global. Jika dibandingkan dengan para ulama pendiri NU terdahulu yang mampu menyeimbangkan ketiga tiyang penyangga tersebut sehingga bisa bertahan dan mensejahterkan warga Indonesia khususnya warga NU di masa kolonial, semangat Nahdlatut Tujjar di kalangan Nahdhliyin belum maksimal berbeda dengan semangat Nahdhatul Wathan dan Nahdhatul Afkar yang mengalami perkembangan pesat baik secara struktural (manajemen organisasi) maupun kultural (secara basis massa)(Lulu M). Ekonomi 4 Buletin Kholis Edisi November 2015 Cerpen BELAJAR MENGINDAHKAN ATURAN Senja pagi hari ini seperti biasa, mengufuk dari arah timur dengan cahaya lembutnya menelisik celah-celah fentilasi kecil antar kamar yang berderet rapi. Menandakan rutinitas di pagi ini akan segera dilangsungkan. Biasanya mereka menyebutnya dengan mengaji bandongan, mengkaji kitab-kitab salaf sebagaimana mestinya. Ukuran bangunan yang digunakan mungkin sekitar 15×8 meter, tapi toh nyatanya orang-orang di dalamnya yang hampir berjumlah 400 tidak perlu bersusah payah berjejalan di bangunan aula tersebut karena paling-paling yang mengaji cuma berjumlah kurang dari 100 orang atau mungkin cuma seper-delapannya. Najwa Sabilla namanya, dia termasuk santri rajin di Ponpes yang ia tinggali sekarang, Ponpes Taskhilul Huda, Kabupaten Ungaran. Bila ditanya masalah kepintaran dalam hal baca kitab, Najwa lah orangmya. Dalam mengaji bandongan pun tidak pernah absen diikutinya, ia justru merasa kesal sekaligus prihatin kenapa bangunan aula sebesar itu cuma di tempati beberapa orang saja dan orang itu-itu saja. “Sebenarnya apa sih yang mereka cari di sini, cuma tempat bernaung dan makan?” Tanya Najwa kepada keempat sahabat terbaiknya, menurutnya. “Memang kenapa Naj? Dateng-dateng udah badmood.” Kata Aisyah menanggapi. “Aku tahu, dia itu sebel soalnya kalo ngaji bandongan yang berangkat sedikit banget. Betul tidak?” Timpal Kalisa. “Lagi-lagi kamu mempermasalahkan itu, udahlah Naj… Mereka itu udah dewasa, mereka pasti tahu mana yang seharusnya dilakukan atau tidak. Yah memang sih kita harusnya mengingatkan hal yang baik tapi kalo memang dari diri mereka aja udah gak mau, sampek berbusa kita ngomong pun gak bakal didengerin.” Kata Dini menanggapi. “Iya sih Din, bener juga.” Kata Najwa menyetujui. “Dan lagi ya Naj, disamping kamu berbusa karena kebanyakan ngomong tapi gak digubris, kamu juga bakal tersayat hatinya saat mereka bilang… ehm, ehm, Halah.. emang Najwa siapa? Pengurus bukan, tapi gayanya ngurus-ngurus.”Fara menambahi dengan ekspresi ter-alay-nya. Salah satu teman Najwa yang paling sering dinobatkan menjadi Ukhti Alay. “Dasar, gak perlu didramatisir… Hidup itu yang wajar aja..” Sontak kelima gadis itu saling cekikikan satu sama lain. Lucunya, perbincangan singkat dan guyonan itu terjadi disaat bandongan berlangsung tepat disaat sang Ustadz membacakan kitab ampuannya dan itu adalah suara paling keras karena santri yang lain sedang asyik bertamasya melanjutkan mimpi semalam. Usai mengaji bandongan, kebetulan hari itu hari Jum’at jadi mereka free dengan tugas sekolah. Mereka berkumpul, berbincang-bincang, berceloteh hal-hal aneh, dan lain sebagainya yang merupakan rutinitas keseharian mereka selain nyantri di Ma’had Taskhilul Huda. Tepat saat mereka saling berargumen hal-hal sepele, Mbak Qona’ah salah satu pengurus Ma’had Taskhilul Huda membawa secarik kertas full color kemudian ditempelkannya di madin dekat aula. Hal ini, langsung menarik banyak manusia untuk mendekat. “Ya Allah, Habib Syech di Simpang Lima nanti malam Naj, Ayo nonton..” Tutur Fara Sumringah. “Waa… harus nonton, jam 5? Waa… gak papa jadi pulangnya gak kemaleman.” Kata Najwa sangat bahagia. Najwa dan kawannya sangat suka sekali menghadiri acara sholawatan di manapun letaknya terlebih lagi di sini Habib Syech Assegaf-lah yang mengisi acaranya. Mereka tidak tanggung-tanggung meminjam motor dari teman laki-laki yang mereka kenal, dan berangkat lebih awal atau bahkan terpisah dari rombongan, dengan dalih agar bisa mendapat tempat dekat panggung. Itulah rencana mereka pada momen ini. Ba’da Dhuhur, Najwa dan keempat temannya sudah berada pada keputusan yang matang untuk mengahadiri acara tersebut. Mereka sudah mendapat pinjaman tiga motor dari teman laki-laki yang mereka kenal meski dengan berbagai persyaratan, mengisikan bensin salah satunya. Namun, waktu itu setelah jama’ah sholat dhuhur. Salah satu pengurus, Mbak Alya berkata bahwa santri ponpes Taskhilul Huda tidak diizinkan menonton acara tersebut karena acara tersebut akan selesai sekitar jam 10 malam dan dikarenakan pula pondok juga akan ada pengajian maulud nabi dengan pembicara super special yang harus diikuti santri sebagai tuan rumah. Mbak Alya juga menambahkan bahwa keputusan ini merupakan keputusan langsung dari Abah KH. Mamba’i selaku pengasuh Ponpes Taskhilul Huda. (Bersambung di hal.5) 5 Buletin Kholis Edisi November 2015 Ravika Agustina Najwa sangat kesal menggebu-gebu, ia seolah-olah tidak terima dengan keputusan tersebut. Pikirnya memang apa yang salah, toh mereka nantinya tidak berhura-hura disana melainkan saling menyerukan sunnah nabi yaitu bersholawat. “Kenapa sih? Pake acara dibatalin segala?” Kata Aisyah. “Gak papa, kita harus tetap berangkat, kita udah dapet motor, nanti keluarnya ba’da Ashar, Insya Allah gak bakal ketahuan. Misal ketahuan, bilang aja kita mau keluar kerja kelompok. Selesai” Ide Najwa. “Tapi Naj, ini keputusan dari Abah lho, takutnya nanti kita kenapa-kenapa soalnya secara tidak langsung kita gak dapat restu beliau.” Sambung Dini ragu. “Yang penting niatnya Din, kita kan gak hura-hura di sana, kita juga mengaji, bersholawat, sunnah nabi itu.” Kata Najwa menimpali. “Aku masih agak ragu Naj, maaf ya.. aku gak ikut kali ini. Nanti motornya aku bilangin ke Roni kalo gak jadi dipinjem.” Kata Dini. “Aku juga deh Naj..” Timpal Kalisa “Hih.. kalian ini, ya sudah terserahlah, yang nyesel kalian lho…” Sahut Fara. Akhirnya tepat ba’da sholat Ashar mereka berangkat menuju Simpang Lima yang jauhnya kurang lebih 35 km. Setelah hampir satu setengah jam, Najwa, Fara, dan Aisyah akhirnya tiba di Simpang Lima Kota Semarang. Orang-orang sudah beramai-ramai menjejali lapangan tempat acara tersebut diadakan, dengan panggung yang megah di tengah-tengahnya. Tepat jam 5, acara belum dibuka, masih pengecekan sound system dari panitia. Meski berdesak-desakan, tergeser-geser kekanan kiri, sudah biasa demi mendapat tempat duduk paling strategis bukan masalah besar bagi mereka. Waktu menunjukkan pukul 7, setelah sebelumnya break dulu untuk melaksanakan sholat Maghrib. Rombongan Habib Syech tak kunjung datang. Jenuh yang dirasakan karena hanya pemutaran sholawat dari salon-salon besar dengan suara super maksimal, hamparan manusia sejauh mata memandang, makin membuat bosan lebih-lebih pusing di kepala. Pukul 8, acara belum juga dimulai. 15 menit kemudian, pengumuman dari panitia, sebuah permohonan maaf ternyata Habib Syech beserta rombongan tidak bisa hadir. Seketika riuh suara ratusan manusia bergemuruh, kecewa dirasakan Najwa, Fara, dan Aisyah, sehingga mereka memutuskan untuk pulang secepatnya. Satu setengah jam perjalanan pulang, ketiga gadis itu akhirnya sampai di pondok, acara pengajian di pondok sudah selesai seperempat jam yang lalu. Untungnya, pintu depan masih terbuka lebar karena biasanya ditutup pukul 9 tepat. Najwa, masuk kekamarnya dengan langkah gontai sembari memasang wajah paling kusut yang pernah ia punya. “Gimana acaranya Naj?” Tanya Dini. “Nyebelin banget, rombongan Habib Syech gak jadi datang, tiga jam nunggu di sana cuma lihat hamparan manusia sama suara salon yang bikin pusing.” Jawab Najwa kesal. “Hahaha… Malangnya nian nasibmu Naj, oh ya.. tadi kamu bilang kalau aku bakal nyesel karena gak menghadiri pengajian Habib Syech kan?” Kata Dini sedikit menyeringai. “Iya Naj, pembicara yang super special yang dijanjikan pengurus datang, dan kamu tahu siapa?” Kalisa berkata dengan senyum berbinar. “Lha emang siapa tho pembicaranya?” Jawab Najwa penasaran. “ Kayaknya kamu yang bakalan nyesel deh Naj, beliau adalah orang yang paling kamu nantikan kehadirannya selama dua bulan belakangan ini.” Jawab Dini puas. “Ya Allah, jangan-jangan…” Imbuh Najwa. “Ya Naj, Ustadz Felix Siauw…” Jawab Dini dan Kalisa kompak. “Astaghfirullahal’adzim…” Najwa berseru pada hal yang terjadi kepadanya. Suatu hal yang seharusnya mudah didapatkan tanpa melanggar keputusan yang ditetapkan. _^-^_ 6 Buletin Kholis Edisi November 2015
Sumber :
Https://attachment.fbsbx.com/file_download.php?id=187575168247917&eid=ASt14O5b6a5NaRq_pxC4hxINlU-nudVSmod1htzgiHX1Yn3w-b-C39-tiDMHYD7fHe4&inline=1&ext=1447946478&hash=ASuJ0L7w9TyBL84q