Tabunya Resiprositas “Nyumbang” pada Masyarakat Desa di Kudus Setelah Kedatang Islam

  1. Pendahuluan

Resiprositas merupakan suatu sistem atau cara yang dilakukan oleh masyarakat tradisional peasent untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Resiprositas ini erat kaitannya dengan perekonomian, hal ini dikarenakan untuk memenuhi kebutuhannya manusia akan melakukan suatu kegiatan yaitu kegiatan ekonomi.

Resiprositas adalah suatu sistem pertukaran timbal balik barang/jasa antar individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Sistem resiprositas ini menganut asas gotong royong dan kekeluargaan sehingga tidak ada aturan khusus yang mengikat dalam pelaksanaannya. Artinya pelaku dari resiprositas harus dengan sendirinya sadar akan tanggung jawabnya, sehingga pelaku bisa saja melanggar dari resiprositas tersebut. Dalam hal ini memang tidak ada aturan atau hukuman khusus yang disepakati bagi mereka yang menghianati resiprositas yag mengikat tersebut. Namun sanksi sosiallah yang akan menjadi hukuman bagi si pelaku.

Resiprositas telah mengalami pergeseran sejak datangnya Islam terutama di daerah yang dekat dengan tokoh-tokoh penyebar Islam. Hal ini terjedi pula di sebagian besar wilayah Kudus. Masyarakat Kudus tidak lagi mengenal banyak resiprositas semenjak islam datang. Islam telah merubah pandangan masyarakat mengenai resiprositas ini, mereka diajarkan untuk bershodaqoh (beramal) dengan ikhlas. Artinya jika membantu atau memberi sesuatu harus ikhlas tanpa pamrih berharap imbalan, namun bagi yang dibantu atau diberi selayaknya harus bersikap baik dan memberi yang lebih. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Islam tidak menghapus atau menghilangkan resiprositas yang ada, melainkan hanya merubah dengan dipadukan dengan budaya islam, sehingga seakan-akan resiprositas ini telah hilang.

Walaupun demikian tidak semua resiprositas yang ada hilang, hanya resiprositas “nyumbang” yang dirubah berdasarkan budaya Islam. Resiprositas yang masih berlaku diantaranya adalah “sinoman”. Sinoman adalah suatu pertukaran barang yang dilakukan berdasarkan perjanjian kedua belah pihak dalam jangka waktu yang lama bedasarkan kesepakatan. Barang yang ditukarkan harus sama dan/atau memiliki nilai yang sebanding. Namun disini tidak akan dibahas mengenai ”sinoman”, namun lebih pada “nyumbang” yang telah berpadu dengan budaya Islam.

  1. Pembahasan

Masyarakat desa sangat erat kaitannya dengan sifat kekeluargaan, tolong menolong, dan gotong royong. Sifat ini pula yang dimiliki olah masyarakat desa di Kudus. Masyarakat desa Kudus akan membantu tentangga, kerabat, dan temannya ketika mengalami selulitan. Begitu pula yang dilakukan pada tetngga, kerabat, atau teman yang mempunyai hajat besar. Mereka akan membantu menyokong beban yang dikeluarkan untuk hajat tersebut dengan menyumbang. suatu ketika jika orang yang menyumbang memiliki hajat orang yang disumbang akan mebantu dengan menyumbang pula. Hal ini lah yang melatar belakangi munculnya resiprisitas.

Seiring perkembangan zaman, rasa gotng-royang dan kekeluargaan tersebut mulai luntur dan berakibat pula pada kelunturan keikhlasan masyarakat dalam menyumbang. dari situ menimbulkan adanya perjanjian-perjanjian antara pemilik hajat dengan penyumbang dimana pemilik hajat harus mengembalikan sumbangan dari penyumbang sesuai dengan sumabangan yang diberikan oleh penyumbang. Untuk mengingat hal tersebut, pemilik hajat akan mencatat barang bawaaan/sumbangan dari penyumbang.

Setelah kedatang Islam resiprositas arahkan untuk kembali pada asas awal yang mengutamakan asas keikhlasan dengan doktrin-doktrin ajarannya. Islam mengubah persepsi masyarakat yang mengharapkan imbalan dari apa yang telah dikeluarkan. Dalam ajaran Islam, masyarakat diajrkan untuk tolong menolong dengan ikhlas tanpa pamrih mengharap imbalan apapun, namun juga mengajarkan bagi yang mendapat bantuan hendaknya berprilaku baik dan jika mampu ia dapat kembali membantu dengan lebih dari apa yang telah diterima sebelumnya. Walaupun demikian tetap saja tidak boleh diharapkan imbalan ketika menyumbang.

Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Kudus yang mendapat julukan “Kota Santri” yang memiliki banyak tokoh agama Islam. Masyarakat Kudus tidak lagi memberlakukan “nyumbang” suatu resiprositas, namun sebagai suatu amal atau shodaqoh. Masyarakat beranggapan bahwa “nyumbang” bukan hanya kewajiban sosial namun juga kewajiban agama yang dianut yaitu Islam. Ketika mereka menyumbang bukan hanya melaksankan kewajiban sosial tetapi juga melaksanakan kewajiban atau perintah agama.

“Nyumbang” sebagai kewajiban sosial telah lahir lebih dulu daripada sebagai perintah agama. Sebagai manusia sosial, orang tidak dapat hidup sendiri, sehingga ia harus melakukan hal-hal sosial agar dapat diterima dalam kehidupan sosial tersebut. Berdasarkan hal tersebut “Nyumbang” sebagai kewajiban sosial dapat diartikan bahwa masyarakat harus melakukan kegitan “Nyumbang” untuk membantu kegiatan atau hajat yang diadakan oleh tuan rumah yang dapat menjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu terdapat fungsi laten dimana prosesi “nyumbang” dapat menguntungkan dari segi ekonomi. Masyarakat juga percaya jika ia rajin menyumbang kelak ia akan mendapat sumbangan yang banyak pula, dan ketika butuh pertolongan ia akan cepat mendapat pertolongan sekalipun dengan orang yang tidak dikenal. Dampak sosial yang muncul ketika orang melakukan kewajiban sosial akan menumbuhkan rasa sosial orang lain pada dirinya sehingga mudah diterima dalam masyarakat.

Sedangkan “nyumbang” agama adalah suatu anjuran agama untuk bershodaqoh, infak, dll untuk membantu oarang lain yang membutuhkan bantuan. Menurut pandangan masyarakat kudus, ketika mereka menyumbang mereka tidak akan kehilangan apa yang telah dikeluarkan. Mereka percaya akan mendapat balasan dari Tuhan yang lebih, walaupun secara fisik hartanya telah berkurang namun mereka percaya bahwa itu tidak berkurang namun hanya “dipinjam” dan akan kembali dengan lebih banyak. Jadi mereka melakukan kegitan “nyumbang” secara ikhlas dengan tidak berharap imbalan karena mereka percaya apa yang dikeluarkan akan kembali sekalipaun datangnya dari orang lain misalnya dengan mendapat pekerjaan yang mudah, mendapat gaji tambahan, dll. Ketika orang merasa bahwa ia tidak mendapat imbalan di dunia seperti yang dijanjikan agama tidak akan berkurang hartanya, mereka tetpa percaya bahwa apa yang dikeluarkan tidak mungkin sia-sia dan akan mendapat balasan di akhirat (setelah meninggal) yang jauh lebih baik. Masyarakat kudus yang taat beragama akan melaksanakan apa yang perintahkan oleh agama tersebut. Dalam ajaran Islam, selain diperintahkan untuk beramal (nyumbang) juga diajarkan untuk membalas amal kebaikan tersebut. Islam mengajarkan untuk membalas kebaikan yang diterima dengan lebih dan harus bersikap baik terhadap yang membantu.

Bagi sebagian masyarakat Kudus, mengharap balasan imbalan adalah hal yang hina, sehingga meraka tidak mengharapkan imbalan tersebut. Ketika mereka memiliki hajat mereka tidak mengharapkan orang datang berbondong-bondong dengan membawa berbagai bawaan. Yang masyarakat inginkan hanya do’a atas keselamatan dan kesuksesan dari hajat tersebut. Menurut ibu Umi, pada sebagian masyarakat kudus tidak begitu mengharapkan kehadiran orang untuk menyumbang, terserah mereka mau datang menyumbang, datang hanya untuk menengok atau bahkan tidak datang sekalipun, hal itu tidak begitu dipermasalahkan. Pada hakikatnya masyarakat setempat tidak mau merepotkan orang lain dan hanya memberi beban yang akan merepotkan, karena pada hakikatnya orang yang mempunyai hajat pasti sudah mempunyai persiapan dalam pelaksanaan hajat tersebut. Dengan atau tanpa sumbangan dari orang lain hajat tersebut akan tetap berjalan dan tidak akan ditunda atau dibatalan.

Namun bagi sebagian masyarakat Kudus yang lain, mengharapkan hak adalah hal yang wajar, karena ia telah mengeluarkan maka ia juga berhak untuk menerima. Walaupun demikian mereka tidak begitu berharap besar terhadap imbalan yang akan diterima, hanya sebatas untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis.

Bagi mereka yang tidak melakukan timbal balik dalam menyumbang, mereka tidak begitu mempermaslahkan namun menurut ibu Izza dalam pepatah jawa “digawe becik ora niteni” artinya sudah dibantu tapi tidak dihiraukan. Dengan kata lain orang tersebut udah dibaik-baikin dengan dibantu (nyumbang) ketika ia membutuhkan bantuan namun orang tersebut tidak peduli, tidak menghiraukan dan tidak mau berbalas budi atas apa yang telah dilakukan orang lain untuk membantunya. Dapat diartikan masyarakat masih mengharapkan imbalan dari yang disumbangan yang dikeluarkan walaupun dalam prosentase yang kecil. Masyarakat masih mengharapkan orang yang disumbang suatu saat jika ia memiliki hajat akan kembali disumbang dengan nilai yang sama. Namun jika pada kenyataannya orang yang telah disumbnag tidak menyumbang balik, masyarakat tidak begitu mempermaslahkan hal tersebut. Walaupun demikian, Mereka akan tetap dianggap dan dicibir sebagai orang yang tidak tau berterimakasih sebagai sanksi sosial dan masyarakat akan melakukan hal yang sama dengan tidak menyumbang ketika orang tersebut memiliki hajat lagi.

Jika dilihat, orang yang tidak mengharap imbalan dan yang menghrapa imbalan terdapat suatu struktur yang berbeda. Orang yang cenderung tidak mengharap imbalan adalah orang yang taat dalam beragama (religius) sehingga seluruh aturan yang ada dalam agama tersebut akan dijalankan dengan baik termasuk untuk Ikhlas dalam menyumbang. sebaliknya masyarakat yang cenderung mengharapkan imbalan adalah mereka yang abangan yang masih kental dengan ajaran kejawennya. Mereka memegang suatu pribahasa “gelem mangan ra gelem ngising” dan “wes digawe ora niteni”, sehingga mereka beranggapan jika tidak ada salahnya jika mereka mengharapkan akan balasan dari sumbangan yang mereka keluarkan. Hal yang wajar ketika ia menyumbang dan pada waktu yang lain ia akan disumbang karena itu adalah hukum alam, jika tidak mematuhi hukum alam maka akan celaka. Jika ditanya mereka akan menjawab ikhlas, namun mereka masih menggunakan asas kepantasan dan kepatutan.

Prosesi “nyumbang” yang dilakukan masyarakat Kudus hampir sama dengan prosesi “nyumbang” yang dilakukan pada masyarakat yang memberlakukan resiprositas. Masyarakat Kudus menyumbang dengan bahan pokok yang biasa dikonsumsi sehari hari seperti beras, gula, kelapa, minyak dll. Masyarakat Kudus tidak sepakat jika prosesi “nyumbang” tersebut disebut sebagai resiprositas, karena mereka melakukan hal tersebut atas dasar keikhlasan. Resiprositas yang berlaku dalam masyarakat Kudus adalah “sinoman” yang didalmnya terdapat perjanjian untuk dikembalikan layaknya utang-piutang. Sinoman yang dilakukan akan berupa barang yang dibutuhkan oleh tuan rumah yang punya hajat, jika hajatnya membangun rumah maka sinoman dapat berupa semen, pasir, genteng dll. Jika hajatnya pesta pernikahan maka sinoman dapat berupa beras, gula, rokok, kelapa, dll.

Dalam sebuah hajat biasanya terdapat sebuah sinoman, orang yang bersinoman tersebut tetap akan menyumbang diluar dari sinoman tersebut. Hal ini dilakukan karena masyarakat menganggap bahwa “nyumbang” dan ”sinoman itu berbeda”. “Nyumbang” adalah kewajiban sosial, sedangkan “sinoman” adalah sebuah kontrak utang piutang yang disepakati kedua belah pihak. Walaupun pada dasarnya keduanya bertujuan untuk membantu tuan rumah dalam menyelanggrakan hajat namun keduanya memiliki sistem yang berbeda.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat lihat bagaiamana resiprositas yang tetap berlaku dengan dibalut dengan budaya Islam. Islam seakan telah menghapus sistem resiprositas yang telah ada, namun pada hakikatnya resiprositas tersebut tetap ada secara terselubung/tabu dengan modifikasi islam. Nyumbang yang berlaku pada masyarakat Kudus tidak berlaku adanya tuntutan untuk mengembalikan sesuai dengan nilai yang telah diberikan atau yang merugikan pihak lain. “nyumbang” dalam masyarakat Kudus hanya dipandang sebagai suatu amalan yang harus dilakukan oleh setiap anggota masyarakat agar dapat terjalin hubungan yang harmonis. Bagi mereka yang tidak menyumbang setelah disumbang mereka akan mendapt hukuman sosial dengan dicibir dalam beberapa waktu.

  1. Simpulan

Resiprositas dianggap sebagai hal yang tabu dalam masyarakat tradisional di Kudus. Mereka diajarkan untuk ikhlas dan tidak pamrih dalam menyumbang dalam agama Islam, sehingga mereka tidak boleh mengharapkan imbalan karena akan mendapat imbalan dari Tuhan. Lebih dari itu, mereka juga diajarkan untuk bertimbal balik yang baik berterimakasih kepada yang mereka sumbang dengan kembai menyumbang, dan jika mampu sumbangannya harus lebih besar dari yang sebelumnya diberikan. Fakta yang berlaku dalam masyarakat adalah yang disumbang harus kembali menyumbang dan begitu alurnya. Sehingga secara tidak sadar masyarakat Kudus masih tetap melakukan resiprositas dalam menyumbang.

Tulisan ini dipublikasikan di antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: