Dia Teramat Malang

Di kala senja menyentuh, terlihat Untariah dan ibu Midhah, ibunya duduk di teras depan rumahnya. Mereka masih terbayang- bayang dengan sosok seorang Ayah, yang kemarin masih hadir d samping mereka, namun sekarang telah tiada. Rumah sederhana di ujung desa itu telah menjadi tempat berteduh mereka selama ini. Rumah yang semula ramai dengan gelak tawa Ayah dengan seisi rumah, sekarang sunyi bagai tanpa penghuni.
Untariah :bu, kita harus bangkit, kita harus lanjutkan hidup ini. Semuanya tidak boleh berhenti seperti ini setelah kepergian ayah. Perjalanan hidup kita masih panjang bu. Kita harus cerahkan masa depan Vina dan Cahya. (seru Untariah seketika di tengah lamunannya)
Ibu Midhah hanya terdiam dan menggeleng- gelengkan kepalanya dipeluknya yang berartikan keraguan dan ketidaksiapan melanjutkan hidup tanpa seorang suami di sampingnya. Dipeluknya foto keluarga yang terdiri atas ibu, ayah, Untariah, Vina, dan Cahya.
Untariah :(memecah keheningan) bagaimana kalau kita jual rumah ini saja bu, hitung- hitung buat modal awal untuk usaha kita bu. (serunya dengan kepastian dan senyuman).
Ibu tidak memberikan respon apapun, hanya air mata yang menetes di pipinya. Terlintas ibu teringat dengan sosok ayah. Ayah yang selalu memotovasi ibu, kini sosok ayah telah melekat di diri Untariah.
Untariah adalah siswa kelas 2 SMP, ia sebagai anak pertama di keluarga kecil ini. Ia mempunyai dua adik yang masih kecil, yaitu Vina dan Cahya yang masing- masing berumur 8 dan 2 tahun. Ayah mereka seorang tukang pos yang sekarang sudah meninggal karna serangan jantung.
Ibu Midhah :iya, memang semua itu bisa kita lakukan Tari. Tapi nanti kita mau tinggal di mana? Bagaimana juga dengan adik- adikmu? Mereka masih terlalu kecil untuk hidup di kolong jembatan. Kita juga di sini tidak mempunyai sanak saudara.
Vina :(datang dari dalam rumah) bu, ibu bukankah kita masih punya warisan rumah nenek ,,?yang di desa Memutung itu.
Ibu Midhah :iya nak, memang. Tinggal di sana ataupun di sini kan sama aja. Kita tetap tinggal sendiri.
Untariah :nah bagaimana kalau kita jual rumah ini dan kita tinggal di rumah nenek bu, kebetulan di sana juga kan dekat dengan tempat wisata puncak gunung slamet. Kita nantikan bisa buka usaha kecil- kecilan di sana bu.(katanya tiba- tiba).
Vina :iya bu, kita tinggal di sana saja. Cahya juga pasti mau kok kalu kita tinggal di sana, ya nggak?
Cahya :oh iya bu, atu ceneng talau tita tindal di cana.
Ibu Midhah berfikir sejenak, dan ia menjawab ide yang di lontarkan Tari dan seruan anak- anaknya.
Ibu Midhah :kalau memang kalian udah sepakat untuk tinggal di sana, ibu bisa apa lagi. Ibu akan turuti kemauan kalian, besok kita jual rumah ini dan kita tinggal di rumah nenek. Mungkin ini semua memang jalan yang harus kita tempuh.
Vina dan Cahya :horeee……
Cahya :cahya ceneng bu, nanti tita buat taman main ya bu.
Ibu Midhah hanya membalas seruan Cahya dengan senyuman manis.
Untariah :ibu harus kuat, ibu pasti bisa melupakan bayangan ayah. Kami juga yakin bu kalau ayah di sana pasti bangga dengan keputusan kita ini, pasti bu.
(semuanya masuk dalam rumah)
Keesokkan harinya ada sorang juragan tanah yang mendatangi rumah mereka, karena kabar akan di jualnya rumah tersebut sudah menyebar ke seluruh kampung tersebut.
Juragan :assalamu’alaikum bu, bu Midhah?
Ibu Midhah :wa’alaikumsalam. Eeh juragan, ada apa ya kok tumben datang kemari ?
Juragan :begini bu Midhah, apakah benar ibu akan menjual rumah ini? Jika berita itu benar saya bersedia membelinya bu, yang pasti dengan harga yang pantas.
Ibu Midhah :iya pak, memang benar. Ya sudah saya jual rumah ini kepada bapak. Saya minta waktu 3 hari pak untuk mengkosongkan rumah ini, dan semua surat- suratnya akan saya kasihkan nanti saat bapak membayarnya.
Juragan :ow..ya sudah bu, makasih atas kepercayaan ibu (berjabat tangan). Saya pamit permisi dulu bu. Assalamu’alaikum
Ibu Midhah :iya pak, sama- sama. Wa’alaikumsalam
Keesokkan harinya jam menunjukkan pukul 07.00, terdengar suara teriakan Vina dari dalam rumah.
Vina :(menghampiri ibu yang sedang menyapu teras depan) bu, mana juragannya? Kok datangnya lama
Ibu Midhah :sabar nak, mungkin sebentar lagi juga datang. Nak apa adikmu sudah bangun? Kalau belum tolong bangunkan dia, nanti tolong juga kamu mandikan dia biar kakakmu yang membuatkan sarapan
Vina :iya bu.(masuk rumah)
Tak lama kemudian terdengar suara knalpot motor juragan yang baik hati itu.
Juragan :pagi bu Midhah?
Ibu Midhah :iya pak, pagi juga
Juragan :gimana bu? Apa suratnya bisa saya terima sekarang? Ini saya bawakan uangnya kes.
Ibu Midhah :iya pak, bisa. Sebentar saya ambilkan
Juragan :iya bu
Ibu Midhah :ini pak surat- suratnya. Mohon di teliti kembali
Juragan :iya bu, ini juga uangnya. Bisa ibu hitung kembali
Ibu Midhah :sudah tidak prlu pak, saya percaya dengan bapak.
Juragan :ya sudah bu, kalau begitu saya pamit dulu kebetulan masih ada urusan. Assalamu’alaikum
Ibu Midhah :iya pak, makasih pak. Wa’alaikumsalam
Dua hari kemudian. Mereka sudah mengkosongkan rumah tersebut dan siap untuk pindah. Mereka menunggu kedatangan jurangan. Tak lama keudian
Juragan :assalamu’alaikum bu Midhah, gimana bu? Sudah dikosongkan rumahnya?
Ibu Midhah :iya pak, sudah. Kami sedang menunggu bapak. Ya sudah ini kuncinya pak, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum
Juragan :iya bu, wa’alaikumsalam.
Mereka melangkahkan kaki meninggalkan rumah tersebut. Dan perlahan- lahan hilang di balik semak. Bu Midhah sangat berat hati harus meninggalkan rumah tercintanya itu. Rumah yang dulunya di bangun dengan penuh kasih sekarang telah jatuh di tangan orang lain.
Setelah seharian mereka naik kereta, akhirnya mereka sampai di tempat yang mereka tuju yaitu Purwokerto. Untuk mencapai desa Memujung membutuhkan waktu hampir 3 jam. Mereka harus naik bus dua kali dan naik angkutan sekali.
Akhirnya mereka sampai di desa Memutung. Mereka beristirahat sejenak sambil melepas dahaga. Setelah tenaga- tenaga mereka pulih kembali mereka bergegas membersihkan rumah tua itu. Tak terasa seminggu mereka tinggal di sana, mereka sudah bisa membuka usaha kecil- kecilan, yaitu berjualan mendoan dan tempe yang di goreng dengan tepung. Karena modal yang mereka siapkan terlalu kecil di tambah lagi biaya untuk membeli susu buat Cahya dan biaya hidup mereka sehari-hari, uangnya sangat tidak cukup. Oleh karena itu Untariah harus putus sekolah karena kurangnya ekonomi. Sekarang ia bisa bantu- bantu ibunya berjualan mendoan dan tempe goreng di sekeliling tempat wisata puncak gunung Slamet tersebut.
Pagi yang indah. Matahari bersinar cerah menimpa pohon- pohon cemra yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Slamet muncul di atas warna- warna hijau kebiruan alam di sekitarnya. Langit- langit bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan gunung tersebut.
Ternampak seorang gadis sedang asyik membidik keindahan alam tersebut, tanpa ragu Untariah menghampirinya untuk menawarkan dagangannya tersebut. Ia mendekati gadis tersebut dan membuka tutup baskomnya yang berisi mendoan dan tempe goreng.
Untariah :mendoan ndoro, masih anget
Susi :(melihat ke arah isi baskom) ini ada apa aja mbak?
Untariah :mendoan dan tempe goreng ndoro (mengamat- amati wajah Susi)
Susi mengambil dan menikmati mendoan yang berwarna kehitaman sambil berdiam diri.
Untariah :Susi ya? (cetus Untariah dengan menunjuk ke arah Susi)
Seketika Susi terkejut dengan perkataan Untariah.
Untariah :ayolah, Susi, seharusnya kau tidak melupakanku (lirih melemas sambil menundukkan kepala)
Susi mengingat-ingat sosok yang d depannya tersebut, bagaimana mungkin ada orang yang mengenal nama kecilnya di daerah yang jauh dari rumahnya.
Untariah :anda lupa sama saya? Untariah, teman sekelasmu dulu sewaktu SD
Susi tak percaya bahwa sosok di depannya itu adalah Tari, teman sekelasnya dulu sewaktu SD, seingatnya Tari dulu adalah sosok siswa yang pintar. Dalam persaingan pelajran Tari selalu dapat mengalahkan Susi. Banyak orang yang memuji otak Tari yang cemerlang.
Susi :(memecah kesunyian) oh iya, saya ingat. Saya sedang mendaki gunung di sini. Kami serombongan sudah dua hari berkemah di situ (menunjuk arah perkemahan), di bumi perkemahan milik PERHUTANI
Untariah :anda kelihatannya senang ya? Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya kesempatan untuk jalan- jalan menikmati hidup. Tapi saya..? rasanya semua sudah hilang…… anda ingat, ayah saya seorang tukang pos. ayahbmeninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula- mula kami jual rumah untuk modal, kami pindah ke desa Memutung. Di sini kami coba untuk buka warung, hasilnya pas- pasan, sementara kebutuhan makin besar. Akhirnya saya putuskan untuk berhebti sekolah dan mencoba mencari tambahan.
Susi :waah…..kamu sosok yang hebat. Aku tidak bisa membayangkan itu semua, aku kagum dengan ketegaranmu.
Untariah :sulit bagi saya untuk mencari pekerjaan, karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan ini, dan inilah akhirnya.
Susi :lalu agaimana dengan adik- adikmu?
Untariah :Alhamdulillah, sekarang mereka masih bersekolah, tapi mereka juga ikut membantu mencari tambahan, mengumpulkan daun cengkeh yang gugur di sekitar sini
Susi termanggung mendengarkan cerita perjalanan hidup yang di alami Untariah dan keluarganya.
Untariah :ini hari sabtu (seru Tari memecah kesunyian). Nanti, sebentar lagi pasti banyak yang datang ke taman Ria. Mudah- mudahan dapat uang banyak.
Untariah menutup baskomnya dan bersiap untuk pergi.
Untariah :saya harus pergi Susi, sampai ketemu lagi
Susu :hei, tunggu Tari aku belum bayar (menyerahkan semua uang yang ada di sakunya ).
Untariah :oh iya, makasih .
Untariah beranjak melangkahkan kakinya menyusuri semak- semak dan akhirnya hilang tertutup kabut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: